Suap Polisi di Kasus BNI (2), Bejibun Kasus Tak Terurus

Kamis, 17 Juli 2008

Ismoko Widyaya - detikinet

Jakarta - Suap atau korupsi di tubuh Polri bukanlah barang baru, bahkan sudah menjadi rahasia umum yang semua orang maklum. Istilah prit jigo, salam tempel dan lapanenam adalah penggambaran betapa luasnya suap melanda polisi. "Tak usaha lapor polisi bila kambing hilang, entar sapi ikut amblas," demikian kalimat canda memperingatkan.
Sejumlah perkara korupsi yang dilaporkan ke kepolisian menguap begitu saja, tidak ada penjelasan sejauh mana proses pengusutannya. Misalnya kasus kepemilikan rumah mantan Jaksa Agung MA Rachman di Cinere yang tidak dilaporkan ke KPKPN.

Kasus-kasus lainnya yang juga tidak jelas kabar beritanya adalah, dugaan suap DPR dalam kasus Purabarutama, suap DPR untuk kasus divestasi Bank Niaga, rekening 502, serta dugaan suap BPPN kepada anggota Komisi IX DPR.

Buruknya penanganan korupsi yang dilakukan kepolisian diperparah dengan praktek korupsi dan kolusi aparat kepolisian sendiri. Tengok saja hasil penelitian dari mahasiswa Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) mengenai korupsi di tubuh kepolisian.

Hasil penelitian itu menunjukkan korupsi dalam tubuh Polri dibagi dua, yakni korupsi internal dan eksternal. Korupsi internal adalah korupsi yang tidak melibatkan masyarakat di luar kepolisian. Conoh yang sering terjadi adalah jual beli jabatan, korupsi pada perekrutan anggota kepolisian, dan penyaluran anggaran Polri.

Sedangkan korupsi eksternal, adalah korupsi yang langsung melibatkan kepentingan masyarakat dan penyalahgunaan wewenang. Sayangnya hasil penelitian ini tidak direspon dengan baik oleh pimpinan Polri. Yang terjadi justru intimidasi terhadap para siswa IPTK tersebut.

Data ICW juga menyebutkan, selama 2004 sejumlah anggota kepolisian pernah diperiksa karena dugaan suap. Mereka antara lain, AKP Hamade, terkait suap Rp 500 juta dari calon siswa Bintara magang angkatan 2004 di Sulawesi Tenggara.

AKBP SA dan BA serta AKP AK, diperiksa karena diduga kuat membantu pembuatan paspor terpidana korupsi Sudjiono Timan. Sudjiono berhasil kabur keluar negeri padahal dirinya dalam status cekal.

Kapolda Metro Jaya, Irjen Pol Firman Ghani juga sempat mengalami hal yang sama. Kali ini tentang masalah pembangunan gedung detasemen 88 yang diduga mendapat bantuan dari pihak swasta.

Persoalan besar yang menghambat upaya pemberantasan korupsi di kepolisian adalah masalah strukturat dan kultural. Persoalan struktural, seringkali provost atau inspektorat Polri tidak berkutik ketika berhadapan dengan seorang polisi bermasalah karena berpangkat lebih tinggi.

Sementara persoalan kultural, polisi enggan memeriksa sesama rekan seprofesi. Ini bisa terjadi karena semangan untuk melindungi korps (espirit de corps) yang berlebihan. Dapat dikatakan sangat langka menemukan anggota polisi yang dijebloskan ke penjara karena korupsi.

"Permasalahan utama justru tidak adanya keseriusan untuk membenahi sistem dan memberantas korupsi di tubuh polri sendiri," kata Wakil Koordinator ICW, Luky Djani kepada detikcom.

Pengawasan oleh atas yang berhak menghukum (ankum) juga masih lemah. Dalam sejumlah kasus, atasan malah kerap melindungi anak buahnya yang terlibat korupsi. Hal ini bisa jadi karena dia sendiri menerima setoran dari anak buahnya itu. Lembaga pengawasan atau inspektirat Polri juga tidak berfungsi baik. Mereka hanya menangani polisi yang bertindak kriminal, namun tidak untuk perbuatan korupsi.

Di luar semua itu, memang tidak bisa dipungkiri ada persoalan lain yang bukan tidak mungkin ikut menyuburkan korupsi di tubuh Polri. Persoalan itu adalah minimnya anggaran yang diterima Polri. Sebagai contoh, anggaran untuk menuntaskan kasus kecil hanya Rp 7.500. Sedangkan untuk kasus-kasus yang digolongkan besar juga tidak lebih dari Rp 250.000. Belum lagi persoalan gaji atau kesejahteraan yang masih jauh dari angka ideal.

Kondisi ini tentunya harus menjadi perhatian semua pihak. Karena tak hanya polisi saja yang fasilitas dan gajinya kecil, petugas negara yang lain juga. Namun meluaskan suap dan korupsi di kalangan polisi seduah demikian luas sehingga ada pameo, "hanya polisi tidur yang tidak bisa disuap."

Kapan pameo yang pernah diucapkan oleh Kapolri Jenderal Da'i Bachtiar saat melayat meninggalnya mantan Kapolri Hoegeng beberapa bulan silam, itu lenyap dari masyarakat kita?

( diks )
http://jkt1.detikinet.com/index.php/detik.read/tahun/2005/bulan/01/tgl/20/time/140311/idnews/276617/idkanal/10

0 komentar:

Posting Komentar