L/C Fiktif Disetujui BNI Pusat

Sabtu, 19 Juli 2008

Klarifikasi Kacab yang Dipecat

SEMARANG- Mantan Kepala Cabang (Kacab) BNI Magelang Tuti Andrasih mengemukakan, pihaknya menyetujui letter of credit (L/C) senilai 7,5 juta dolar AS setelah mendapat persetujuan dari Divisi Internasional Bank BNI Pusat. Oleh kantor pusat, L/C tersebut dinyatakan tidak bermasalah dan layak untuk dicairkan.

"L/C-nya setelah dicek oleh kantor pusat secara teliti memang asli dan sudah diperiksa dengan perangkat canggih yang dimiliki BNI. Artinya, kalau kantor pusat meneruskan ke cabang berarti tidak ada masalah," ungkap dia didampingi mantan Manajer Operasional BNI Magelang Indarto Kusumo di kantor Suara Merdeka Jalan Kaligawe, kemarin.

Seperti diberitakan (SM, 14/1), Dirut BNI Sigit Pramono memecat Tuti Andrasih dan Indarto Kusumo terkait dengan kasus pembobolan dengan modus L/C senilai Rp 24 miliar. Saat kasus terjadi pada periode Februari-Desember 2003, keduanya masih menjabat sebagai kepala cabang dan manajer operasional.

Tuti mengatakan, pihaknya sebelumnya juga tidak mengetahui jika dokumen ekspor yang digunakan dalam proses mendapatkan L/C ternyata palsu. Itu baru diketahuinya setelah dicek oleh tim dari Kanwil Jateng dan Pusat di Tanjungpriok yang ternyata tidak ada kegiatan ekspor sebagaimana tertera di dokumen L/C. Pengecekan dilakukan pada akhir 2003.

"Dari sinilah kemudian saya baru menyadari, bahwa ada kesalahan, kami telah ditipu oleh eksportir tersebut. Dalam hal ini saya merasa dijebak, padahal awalnya orangnya baik," ujar dia.

Berusaha Menagih

Meski demikian, dia bersama tim di BNI Magelang terus berusaha menagih agar kreditnya bisa terbayar. Upaya itu membawa hasil. Dari 11 dokumen senilai Rp 7,5 juta dolar AS yang telah dicairkan, sudah terbayar 4,3 juta dolar AS. Sisanya, 3,6 juta dolar AS, belum terbayar.

"Pada 22 Oktober 2003, saya ditelepon Biro Hukum BNI bahwa ada outstanding 3,6 juta dolar AS belum terbayar," jelasnya.

Dia mengungkapkan, jumlah nilai tersebut terdiri atas lima dokumen. Perinciannya, 1 dokumen jatuh tempo pada November 2003, 2 dokumen jatuh tempo Februari 2004, dan 2 dokumen jatuh tempo Maret 2004. Dengan berbagai cara, timnya dapat menagih kredit 500.000 dolar AS.

Dengan demikian, ungkap dia, jumlah yang belum terbayar hingga sekarang Rp 3,1 juta dolar AS atau lebih kurang Rp 21 miliar (bukan Rp 24 miliar seperti diberitakan sebelumnya). Adapun waktu jatuh tempo pembayaran L/C tersebut adalah Februari dan Maret mendatang.

"Saya juga tidak tahu, kenapa masalah ini dilaporkan ke polisi, sedangkan kami masih berusaha keras agar eksportir segera menyelesaikan kewajibannya."

Padahal, lanjut Tuti, eksportir dari PT PC dengan perusahaan terkait, yakni PT MT, PT PK, dan PT GP berjanji menyelesaikan kewajiban paling lambat akhir Januari ini. "Karena kasusnya sudah ditangani polisi, dokumen ekspor diblokir. Ini menjadikan dilema bagi saya, pada sisi lain mereka (eksportir-Red) mau menyelesaikan, namun pada sisi lain dokumennya tidak bisa keluar karena sudah ditangani polisi," jelasnya.

Lebih jauh dia menjelaskan, setelah mendapat kabar dari Biro Hukum pada Oktober 2003, pihaknya langsung mengamankan jaminan dengan membuat surat hipotek senilai Rp 30 miliar dan dengan diikat hak tanggungan Rp 28 miliar. "Jadi sebelum ini terjadi, kami telah mengambil alih dokumen surat pernyataan untuk menjaminkan harta bendanya. Klausul itu kemudian kami hipotekkan. Dasarnya, surat-surat dan sertifikat atas tanah dan bangunan di sejumlah tempat di Jakarta sudah dicek dan benar adanya."

Bila melihat jaminan tersebut, dia menjelaskan, sebenarnya masih lebih besar dari nilai utang yang belum terbayar. "Saya sampai sekarang juga tidak tahu kenapa dilaporkan ke polisi," ujarnya.

Ketika didesak nama pengusaha eksportirnya, Tuti belum bersedia menyebutkan. "Saya harus minta izin dengan mereka, kalau tidak nanti saya salah lagi."

Tuti membantah, jika nasabah eksportir yang kini membuat dia bermasalah ada kaitannya dengan perusahaan yang terlibat kasus L/C fiktif di BNI Cabang Kebayoran Baru Jakarta.

"Dia (eksportir-Red) memang pernah bekerja sama dengan perusahaan yang terkait kasus di BNI Kabayoran Baru, tetapi saat menjadi nasabah kami sudah berdiri sendiri," jelasnya.

Terlacak Lagi

Sementara itu, satu lagi perseroan terbatas (PT) fiktif yang digunakan untuk membobol Bank BNI Cabang Magelang Rp 24 miliar, terkuak identitasnya. Yaitu, PT Gema Usaha Putra Jawa (GUPJ) yang beralamat di Jl Raden Saleh 1, Kelurahan Potrobangsan, Kota Magelang.

Kelihatannya alamat ini dipakai pula untuk kantor PT Maestro Interbuana (MI) yang juga perusahaan fiktif seperti yang diungkapkan sumber Suara Merdeka, beberapa hari lalu. Karena itu, tidak tertutup kemungkinan satu alamat dipakai untuk dua kantor.

Sebuah perusahaan fiktif lagi yang sudah terungkap identitasnya adalah PT Prasetya Cipta Tulada (PCT) yang beralamat di Jl Pahlawan 16, Prajenan, Mertoyudan, Kabupaten Magelang. Dengan demikian, tinggal sebuah PT lagi yang hingga sekarang belum terkuak identitasnya.

Munculnya nama PT GUPJ setelah Suara Merdeka berhasil menghubungi pengelola rumah di Jl Raden Saleh 1. Rumah itu ternyata milik Yayasan Kesehatan Kristen untuk Masyarakat Umum (Yakkum). "Yang menyewa rumah bukan PT MI, melainkan PT GUPJ," ujar Ketua Yakkum, Darto BA, Rabu kemarin.

Pernah Ditegur

Ternyata yang menjabat Direktur PT GUPJ sama dengan Direktur PT PCT yakni Hikmat Subiadinata (37). Kemungkinan dia pula yang menjabat sebagai Direktur PT MI ataupun direktur sebuah perusahaan fiktif lainnya yang belum terungkap identitasnya. Yang berbeda antara PT GUPJ dan PT PCT hanya alamat direkturnya.

Ketika mengontrak rumah untuk kantor PT PCT, Hikmat Subiadinata beralamat di Plaza GRI 14 th Floor, Jl HR Rasuna Said Blok X-2 No 1 Jakarta. Saat menandatangani kontrak sewa rumah untuk kantor PT GUPJ, dia beralamat di Jl Pejompongan III/1, Bendungan Hilir, Jakarta Pusat.

Darto menerangkan, rumah milik Yakkum itu disewa selama setahun mulai 16 Mei 2003 hingga 15 Mei 2004 dengan harga Rp 8 juta. Penandatanganan perjanjian sewa-menyewa dilakukan di depan notaris Elizabeth Sri Murtiwi. "Saya belum pernah ketemu dengan Hikmat karena yang menangani karyawan Yakkum," tuturnya.

Mulanya Darto mendapat laporan dari karyawan tersebut, rumah di Jl Raden Saleh 1 akan disewa untuk kantor sebuah perusahaan. Urusan tersebut diserahkan kepada bawahannya itu. Karena tidak pernah bertemu Hikmat, Darto tidak tahu rumah itu akan dipakai untuk kantor perusahaan apa. "Yang saya heran, rumah sudah disewa kok kosong terus, tidak ada kegiatan," ujarnya.

Setelah kasus bobolnya Bank BNI Magelang dimuat surat kabar, baru dia tahu rumah itu ternyata dikontrak sebagai kantor perusahaan fiktif.

Sementara itu, Ketua RT 2 RW 1 Kelurahan Potrobangsan Drs Edy Sutrisno menerangkan, rumah itu ramai pada Juni - Juli 2003. Namun ruangan dalam rumah dibiarkan kosong tanpa perabotan. Yang ada hanya sebuah lemari estalase aluminium.

"Sebagai Ketua RT, saya pernah menegurnya karena sudah beberapa hari tidak melaporkan kepindahannya. Ketika saya tanya mau dipakai untuk apa rumah ini, salah seorang penghuni mengatakan, untuk berjualan handphone. Heran saya, mau membuka usaha kok tidak mengurus surat-surat seperti HO dan sebagainya. Kalau mau mengurus izin dia kan harus minta surat pengantar dari saya sebagai Ketua RT."

Sesudah bulan Juli rumah itu mulai sepi. Lemari etalase aluminium juga sudah tidak kelihatan lagi. Penjagaan rumah kosong itu diserahkan kepada seorang penunggu. Diduga karena tidak dibayar, penjaga rumah lalu menghilang.

"Sejak awal saya sudah curiga, mau usaha handphone kok tidak buka-buka. Lemari etalase juga tidak nambah, sejak awal cuma satu terus. Jadi keadaannya sejak awal memang sudah janggal," tegasnya.

Kalau digunakan untuk kantor sebuah PT, tambah Edy, papan namanya kok tidak dipasang dan tidak ada karyawan yang bekerja setiap hari seperti layaknya sebuah perusahaan. (G2,P60-23,33jn)

http://www.suaramerdeka.com/harian/0401/15/nas1.htm

0 komentar:

Posting Komentar