[1/2/05]
Berdasarkan teori hukum dan doktrin, saksi ahli dimungkinkan memaparkan fakta tentang peristiwa hukum, disamping kapasitasnya memberikan keterangan ahli.
Pada persidangan terdakwa kasus pembobolan BNI, beberapa waktu lalu, penasehat hukum Adrian Herling Woworuntu sempat mempersoalkan keterangan yang diberikan oleh Garda T. Paripurna dan Edwin Nurhadi, analis dari Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).
Dalam memberikan keterangan tersebut analis PPATK bertindak sebagai saksi ahli dan juga saksi yang memaparkan fakta. Menurut tim penasehat hukum Adrian, kesaksian kedua analis PPATK itu tidak seharusnya diterima, karena dengan dua kapasitas demikian, maka keterangan mereka menjadi bias dan rancu. Namun hakim berpendapat pemberian kesaksian semacam itu dimungkinkan dengan adanya preseden sebelumnya.
Menurut T. Nasrullah, pakar hukum acara pidana dari FH Universitas Indonesia, tidak ada kerancuan pada kesaksian semacam itu. Sebab ahli-ahli dimungkinkan memberikan keterangan, setelah melihat benda atau surat, yang kemudian diterjemahkan berdasarkan keahliannya.
Dia mencontohkan pada kesaksian beberapa pejabat Bank Indonesia (BI) dalam persidangan kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Dia menilai, pejabat BI sangat berkompeten menafsirkan peraturan BI. Sehingga sangat tepat, apabila diminta keterangan mengenai suatu fakta yang ada dikaitkan dengan penafsirannya tentang peraturan BI.
“Dia melihat suatu dokumen atau bukti, kemudian dia berpendapat berdasarkan keahliannya apakah perbuatan itu melanggar ketentuan atau tidak,” ujar Nasrullah kepada hukumonline, Sabtu (29/1).
Menurut Nasrullah, KUHAP memang tidak mengatur secara detil tentang kesaksian semacam ini. Namun dengan penerjemahan melalui keilmuan hukum, dengan teori hukum dan doktrin terhadap ketentuan pasal 1 angka 28 jo Pasal 186 KUHAP, hal ini dimungkinkan. Selain itu, Nasrullah menegaskan bahwa semangat dalam hukum pidana adalah semangat menegakan kebenaran materil.
Sedangkan Mudzakkir, akademisi Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta berpendapat, seharusnya PPATK memberi keterangan atas perbuatan pelanggaran yang dilakukan dalam perkara tersebut. Menurutnya, apabila seseorang terlibat dengan fakta atas suatu peristiwa itu, sebaiknya memberikan kesaksian mengenai fakta tersebut. Untuk keterangan ahli bisa didapat dari ahli lainnya.
Mudzakkir khawatir, sebagai saksi ahli pendapat PPATK akan dipengaruhi oleh fakta yang ada. Atau sebaliknya kesaksian atas fakta dipengaruhi oleh pandangan keahlian. Padahal pemaparan suatu fakta harus disampaikan apa adanya, karena fakta itu tidak bisa ditafsirkan terlebih dahulu. Sedangkan bagi seorang ahli, fakta itu bisa ditafsirkan dahulu. Mudzakkir menilai hal ini adalah persoalan etika dalam hal keaslian dari kesaksian.
http://www.hukumonline.com/detail.asp?id=12125&cl=Berita
Seorang Saksi Ahli Berhak Menguraikan Fakta atas Peristiwa Hukum
You are here: Home > Berita Menyudutkan > Seorang Saksi Ahli Berhak Menguraikan Fakta atas Peristiwa Hukum
Minggu, 13 Juli 2008Diposting oleh KORUPTOR PALSU di Minggu, Juli 13, 2008
Label: Berita Menyudutkan
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
1 komentar:
MENGGUGAT PUTUSAN SESAT HAKIM BEJAT
Putusan PN. Jkt. Pst No.Put.G/2000/PN.Jkt.Pst membatalkan Klausula Baku yang digunakan Pelaku Usaha. Putusan ini telah dijadikan yurisprudensi.
Sebaliknya, putusan PN Surakarta No.13/Pdt.G/2006/PN.Ska justru menggunakan Klausula Baku untuk menolak gugatan. Padahal di samping tidak memiliki Seritifikat Jaminan Fidusia, Pelaku Usaha/Tergugat (PT. Tunas Financindo Sarana) terindikasi melakukan suap di Polda Jateng.
Ajaib. Di zaman terbuka ini masih ada saja hakim yang berlagak 'bodoh', lalu seenaknya membodohi dan menyesatkan masyarakat, sambil berlindung di bawah 'dokumen dan rahasia negara'.
Statemen "Hukum negara Indonesia berdiri diatas pondasi suap" (KAI) dan "Ratusan rekening liar terbanyak dimiliki oknum-oknum MA" (KPK); adalah bukti nyata moral sebagian hakim negara ini sudah terlampau sesat dan bejat. Dan nekatnya hakim bejat ini menyesatkan masyarakat konsumen Indonesia ini tentu berdasarkan asumsi bahwa masyarakat akan "trimo" terhadap putusan tersebut.
Keadaan ini tentu tidak boleh dibiarkan saja. Masyarakat konsumen yang sangat dirugikan mestinya mengajukan "Perlawanan Pihak Ketiga" untuk menelanjangi kebusukan peradilan ini.
Siapa yang akan mulai??
David
HP. (0274)9345675
Posting Komentar