Suap Polisi di Kasus BNI (1), Dari Penyidik ke Terperiksa

Kamis, 17 Juli 2008

Kamis, 20/01/2005 13:05 WIB

Djoko Tjiptono - detikinet
Jakarta - Di pengujung 2003, Bank Nasional Indonesia (BNI) dibobol Rp 1,7 triliun. Modusnya memanfaatkan surat kredit (L/C). Mulai dari L/C yang diterbitkan bukan dari bank koresponden, syarat-syarat L/C tak dipenuhi, diskonto yang dilakukan sebelum akseptasi opening bank (bank pembuka L/C), sampai dengan pemalsuan dokumen L/C.
Semua itu bisa terjadi karena tidak diterapkannya sistem manajemen risiko yang baik. Manajemen risiko ini mencakup pengawasan aktif dewan komisaris dan direksi, kecukupan kebijakan, prosedur dan penetapan limit, kecukupan proses identifikasi, pengukuran, pemantauan dan pengendalian risiko, serta sistem informasi manajemen risiko dan sistem pengendalian internal yang menyeluruh.

Kasus bobolnya Rp 1,7 triliun itu dilaporkan oleh BNI ke Mabes Polri pada Oktober 2003. Diduga, dana bobolan tersebut mengalir ke ratusan rekening bank perusahaan milik para pelaku.

Nama-nama yang menjadi tersangka pelaku dalam kasus ini antara lain, Kepala Cabang BNI Kebayoran Baru, Koesadiyuwono, mantan Kepala Pelayanan Luar Negeri BNI Kebayoran Baru, Edi Santoso, bekas Kepala Operasional Bank BNI Cabang Kebayoran Baru, Nirwan Ali, Andrian Herling Waworuntu, dan Maria Pauline Lumowa. Dua nama terakir adalah bos PT Gramarindo Group.

Untuk menuntaskan kasus ini, Mabes Polri kemudian membentuk tim penyidik yang dipimpian Brigjen Samuel Ismoko. Ismoko sendiri saa tiu adalah Direktur II Ekonomi Khusus Bareskrim Mabes Polri.

Mengungkap kasus kejahatan perbankan ini bukan perkara yang mudah. Banyak pasal di undang-undang perbangkan maupun ketenuan pidana yang abu-abu sehingga mudah ditafsirkan dan diplintir ke mana-mana. Para pelaku juga bukan orang sembarangan, selain mahir memmanfaatkan luabng-lubang peraturan, mereka juga diback-up oleh orang-orang kuat.

Tidak semua tersangka kasus pembobolan BNI termasuk mahkluk yang mudah dijinakkan. Misalnya saja Adrian Waworuntu. Dengan alasan sakit berkali-kali dia menolak diperiksa, bahkan akhirnya pria ini sempat minggat keluar negeri. Padahal status keimigrasian Adrian saat itu dalam posisi dicekal. Sedangkan tersangka lainnya, Maria Pauline Lumowo atau akrab disapa Erry, sampai saat ini masih bebas merdeka.

Adrian yang akhirnya bisa didapatkan kembali oleh penyidik, malah membikin repot Ismoko. Dia mengaku telah memberi upeti kepada Ismoko atas 'kerjasamanya'. Selama menjadi tahanan Mabes Polri, Adrian memang diperlakukan berbeda dengan tahanan lainnya. Dia tidak pernah ditahan di ruang tahanan tetapi ditempatkan di ruang pemeriksaan yang berkasur empuk plus AC. Tidak lupa, biar tidak bete ruangan itu juga dilengkapi TV.

Respon Mabes Polri terhadap isu suap ini lumayan cepat. Mabes Polri segera bertindak dengan memutasi mereka yang dicurigai terlibat suap, termasuk Ismoko. Dia digeser menjadi Kepala Biro Pembinaan Operasi Polri.

Aroma suap itu sangat kuat. Buktinya, Mabes Polri akhirnya menggelar sidang Kode Etik Profesi. Ismoko dituduh melakukan tiga pelanggaran, yaitu Pasal 4 huruf b dan Pasal 5 huruf b Kode Etik Profesi Polri. Ia dianggap memberikan perlakuan khusus dengan tidak menempatkan 10 tersangka dari Grup Gramarindo, Mahesa, Petindo di Rutan Polri, padahal tiga tersangka pejabat BNI ditempatkan di rutan.

Kedua, Pasal 5 huruf g dan Pasal 3 huruf a Kode Etik Profesi Polri atas dugaan suap US$ 20 ribu dari tersangka utama Adrian Waworuntu dan menerima laptop, lima ponsel, lima kipas angin, satu TV 29 inci, satu TV 24 inci, DVD karaoke, dan mesin fotokopi.

Ketiga, Pasal 7 huruf g dan Pasal 9 ayat 2 Kode Etik Profesi Polri. Ismoko dianggap tidak tanggap dan lamban karena tak bisa menyerahkan Adrian Waworuntu kepada Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta ketika berkas penyidikannya sudah lengkap.

Rudy Sutopo, salah seorang tersangka kasus BNI yang menjadi saksi dalam sidang Kode Etik itu mengatakan, dirinya pernah mentransfer Rp 500 juta untuk tim penyidik BNI termasuk Ismoko. Transfer itu dilakukan lewat Ishak, seorang makelar kasus. Rudy adalah orang yang pertama kali membuka kasus suap ini pada Oktober lalu.

Ismoko sendiri membantah semua tudingan itu. Menurut Ismoko, dirinya tidak pernah menerima apa pun dari para tersangka, termasuk Adrian. Ismoko menegaskan, semua tudingan itu adalah fitnah belaka.

Namun soal penempatan tersangka yang berbeda diakui oleh Ismoko. Tetapi, kata Ismoko, hal itu sebagai upaya persuasif sehingga tersangka bersedia menyerahkan aset secara sukarela dan menjelaskan kasusnya secara detail. Apa yang dilakukannya itu semata-mata untuk kepentingan yang lebih tinggi.

Memang persidangan kode etik ini masih berjalan, belum ada keputusan apapun. Biarkan sidang ini terus berjalan secara transparan agar semuanya jelas. Toh bukan baru kali ini saja seorang polisi diperiksa karena dituduh menerima suap.

( diks )

http://jkt1.detikinet.com/read/2005/01/20/130525/276605/10/dari-penyidik-ke-terperiksa

0 komentar:

Posting Komentar