Menyikapi Skandal L/C Ekspor BNI

Sabtu, 19 Juli 2008

Djoko Retnadi

SKANDAL letter of credit (L/C) ekspor Bank BNI senilai Rp 1,7 triliun menyiratkan tiga hal yang perlu mendapatkan perhatian di masa mendatang. Ketiga hal tersebut adalah :

pertama, tanggung jawab direksi sebuah bank jika terjadi kesalahan yang dilakukan jajaran pegawai di tingkat bawah.

Kedua, bagaimanakah cara menjamin implementasi tata kelola (good corporate governance/GCG) pada sebuah perusahaan dapat terlaksana dengan baik.

Ketiga, bagaimanakah seyogianya sistem pengawasan intern bank untuk mencegah agar pegawai di tingkat paling bawah tidak melakukan kecurangan yang akan berakibat pada kerugian bank. Pengawasan intern ini harus dirancang agar dapat mencegah potensi kerugian bank yang dapat dilakukan oleh pegawai di semua lini, bahkan dengan cara yang paling sederhana dan kasar (vulgar) sekalipun.

MENGIKUTI pemberitaan media belakangan ini, jelas modus operandi pembobolan L/C ekspor Bank BNI tampaknya sangat sederhana dan cukup kasar. Skandal yang terjadi terkesan sangat "kuno" karena sumber masalah dari skandal tersebut adalah adanya permainan yang melibatkan orang dalam. Karena menyangkut perilaku dan sikap mental pegawai, maka persoalan pengawasan internal tampaknya menjadi kurang bermakna. Dalam kasus L/C ekspor Bank BNI, jelas sekali para pejabat yang seharusnya melaksanakan pengawasan melekat justru mengabaikannya.

Kewenangan penyelesaian transaksi L/C ekspor, berapa pun nilainya menjadi kewenangan penuh pejabat di kantor cabang Bank BNI. Akibatnya, sekali pejabat puncak di kantor cabang tersebut memiliki kepentingan pribadi yang bertentangan dengan kepentingan perusahaan, maka akan cukup sulit atau memerlukan waktu relatif lama bagi pihak di luar kantor cabang untuk dapat mendeteksi adanya kecurangan tersebut. Sistem dan prosedur yang berlaku di Bank BNI ini sebenarnya berlaku secara umum di perbankan nasional.

Lebih-lebih transaksi L/C ekspor yang bersifat berjangka (usance L/C), tanpa adanya diskonto terhadap wesel ekspor tersebut maka bank tidak akan memiliki kewajiban efektif hingga masa jatuh tempo wesel berjangka tersebut. Alat kontrol pencatatan wesel ekspor berjangka yang belum terbayar adalah berupa buku catatan L/C ekspor yang belum dibayar (register) (biasanya buku ini sudah tidak dipelihara lagi karena adanya sistem komputerisasi) dan rekening administratif L/C ekspor yang belum terbayar (off balance sheet account). Karena minimnya alat kontrol L/C yang belum terbayar, tidak mustahil pihak auditor internal cukup sulit memantau eksistensi transaksi L/C ekspor berjangka ini.

Skandal L/C ekspor Bank BNI ini sebenarnya tidak terlalu ruwet. Sebagaimana praktik umum perbankan, L/C ekspor merupakan transaksi umum yang dianggap berisiko rendah karena risiko yang melekat padanya adalah risiko operasional. Artinya, sepanjang petugas bank melakukan transaksi sesuai pedoman yang ditetapkan, transaksi tersebut seharusnya tidak akan menjadi masalah. Masalah akan terjadi, misalnya, karena adanya kesalahan dalam membaca prosedur. Namun dalam hal kesalahan karena adanya unsur kesengajaan, transaksi bank yang rawan terhadap pembobolan oleh petugas bank sangat banyak, tidak terbatas hanya L/C ekspor saja.

Sebagai contoh, sama halnya soal prosedur pelayanan pembukaan simpanan deposito. Sampai saat ini tidak ada satu bank pun yang melibatkan direksi bank untuk melayani pembukaan deposito, berapa pun jumlah uang yang akan disimpan oleh nasabah. Tindakan paling jauh yang dilakukan petugas bank adalah mengonfirmasikan ke kantor pusat bank soal negosiasi suku bunga yang diberikan dan akan adanya tambahan likuiditas untuk keperluan manajemen likuiditas bank secara keseluruhan.

Adapun soal pelayanan transaksi pembukaan deposito, seluruhnya diserahkan kepada petugas di kantor cabang. Pemimpin cabang sebagai pejabat tertinggi di jajaran kantor cabang berwenang untuk menandatangani bilyet deposito berapa pun jumlahnya. Dapat dibayangkan jika petugas bank tidak tertib mengikuti prosedur pembukaan deposito dan justru menyalahgunakan transaksi tersebut (misalnya menerbitkan bilyet deposito aspal), tidak mustahil bank akan kebobolan dalam jumlah yang signifikan.

Memang seperti itulah karakteristik transaksi yang dianggap hanya mengandung risiko operasional. Karena frekuensi transaksi sangat tinggi, maka sepanjang prosedur transaksi ditaati sepenuhnya oleh petugas bank, bank tidak akan mengalami masalah. Dari uraian tadi jelas bahwa kasus L/C Bank BNI hanyalah satu kasus kecil di antara ribuan potensi kasus transaksi lain (selain L/C ekspor) yang mungkin terjadi jika petugas bank ikut bermain di dalam transaksi bank.

Tangung jawab direksi

Sebagai pihak yang ditugasi oleh pemilik untuk mengelola bank, jelas bahwa segala sesuatu yang terjadi terhadap bank yang mereka kelola, direksi harus bertanggung jawab sepenuhnya. Namun demikian, tanggung jawab direksi harus dilihat dalam konteks korporat. Artinya, direksi tidak dapat disalahkan dalam kasus transaksi pembobolan L/C ekspor tersebut, namun secara finansial direksi bertanggung jawab terhadap kerugian yang diderita Bank BNI. Kesalahan utama direksi Bank BNI terletak pada pemilihan pemimpin cabang yang ternyata tidak dapat mengemban amanah yang didelegasikan direksi Bank BNI.

Dengan demikian, hal yang harus diperbaiki direksi Bank BNI adalah bagaimana mengurangi potensi pegawai berlaku merugikan perusahaan. Selain itu, pengawasan internal mungkin perlu juga diperbaiki, namun di dalam praktik, peningkatan pengawasan internal ini acapkali berseberangan dengan keinginan bank dalam meningkatkan kualitas layanan. Adanya semacam service control trade off jelas memerlukan seni tersendiri untuk mengelolanya agar tercapai kondisi yang optimal. Bisa dibayangkan, betapa repotnya direksi bank jika setiap kali ada transaksi pembukaan deposito, pembukaan L/C ekspor, penerimaan setoran tabungan, dan sebagainya harus memberikan persetujuannya. Akhirnya, pemberian delegasi wewenang oleh direksi bank kepada jajaran di bawahnya memang harus didukung kondisi menguntungkan, baik dari sisi direksi maupun pegawai yang akan diberikan wewenang.

Praktik GCG

Menarik sekali apa yang diucapkan Ross Wraight, Chief Executve Standard Australia, bahwa "di masa mendatang, berbagai skandal penipuan dan korupsi dalam sebuah organisasi akan dilihat sebagai cermin kegagalan sebuah organisasi dalam memenuhi kewajiban tata kelola perusahaan yang baik, good corporate governance". Berkaca pada kasus L/C ekspor Bank BNI, jelas sekali bahwa implementasi GCG sampai saat ini belum seluruhnya merasuk pada sebagian kecil jajaran pegawai Bank BNI. Selain masih minimnya perundang-undangan yang mengatur mengenai tata kelola perusahaan yang baik, kondisi eksternal yang dihadapi oleh seluruh pegawai Bank BNI jelas sangat mempengaruhi perilaku mereka.

Praktik GCG di negara tetangga terdekat seperti Australia diatur dengan rinci. Dikenal adanya Australian Standard (AS), yaitu berbagai ketentuan standar yang harus dipenuhi seluruh institusi bisnis. Dikenal pula adanya AS 800 yang mengatur Good Corporate Governance Principles, AS 8001 tentang Fraud and Corruption Control, AS 8002 tentang Organisational Codes and Conduct, AS 8003 tentang Corporate and Social Responsibility, dan AS 8004 tentang Whistleblower Protection Program for Entities.

Berkaitan code of conduct, masih menurut Wraight, "sebuah organisasi yang memiliki corporate conduct sangat buruk akan menemukan permasalahan serius seperti adanya manajer yang memperjualbelikan informasi untuk memperoleh keuntungan finansial maupun hadiah atau entertain yang sangat tidak dapat ditolerir. Tindakan ini dapat menimbulkan beban pada perusahaan, integritas perusahaan, dan menurunkan reputasi perusahaan".

Pengawasan intern

Pengawasan intern bank pada umumnya bekerja secara berkala dan memeriksa transaksi dengan menggunakan sistem sampling. Dengan demikian, tidak ada jaminan bahwa sebagus apa pun sistem pengawasan internal dilakukan, bank tidak akan kebobolan. Tidak mungkin bagi sebuah bank untuk melakukan pengawasan intern dengan meneliti seluruh populasi yang terjadi. Selain akan memakan biaya dan waktu, cara seperti ini akan sangat mengganggu unit operasional yang bertugas melayani nasabah. Menyadari kondisi tersebut, tidak salah jika secara umum bank menerapkan sistem pengawasan melekat di dalam unit kerja tersebut.

Artinya, bank tidak boleh membiarkan seorang petugas melayani sebuah transaksi secara sendirian. Dalam melakukan suatu transaksi, seorang pegawai bank akan diawasi atasannya. Bahkan, dalam sistem pengawasan melekat di beberapa bank, pengawasan tersebut melibatkan sedikitnya tiga pejabat bank, yaitu maker, checker, dan signer. Namun, apalah artinya pengawasan jika yang diawasi ternyata secara kompak melanggar prosedur, tidak ada lagi pihak yang dapat mendeteksi pelanggaran.

Beberapa catatan

Kasus L/C ekspor Bank BNI hanyalah satu skandal dari beribu potensi skandal yang mungkin terjadi di perbankan. Potensi kerugian bank tidak terbatas pada transaksi L/C ekspor saja, namun menyangkut sebagian besar transaksi keuangan yang dilakukan di kantor cabang. Tuntutan adanya pengawasan intern yang semakin ketat dirasakan kurang menjawab persoalan pada aspek kelancaran pelayanan dan efisiensi operasional kantor cabang. Lebih-lebih bagi sebuah kantor cabang yang memiliki transaksi ribuan setiap harinya. Salah satu cara mengurangi potensi risiko kerugian bank akibat pelanggaran prosedur oleh petugas bank di jajaran paling bawah adalah perlu peninjauan kembali berbagai prosedur yang mengandung kerawanan.

Jelas bahwa bank harus memperhatikan kualitas layanan. Jangan sampai karena ingin menegakkan prosedur secara ketat akhirnya pelayanan nasabah menjadi terlambat dan menyebabkan petugas pelayanan menjadi stres berat. Hal ini jelas akan menciptakan suasana kerja yang kurang kondusif, khususnya bagi pegawai yang tidak memiliki itikad buruk.

Dalam kasus L/C ekspor Bank BNI, mengingat transaksi L/C sampai saat ini hanya diawasi melalui rekening administratif (off balance sheet account), kiranya perlu ditinjau kembali perilaku berbagai transaksi bank yang akan menimbulkan pos kontijensi. Tidak ada salahnya, mengingat transaksi L/C ekspor selama ini tidak sebanyak transaksi untuk setoran dan penarikan uang di teller, kewenangan melakukan transaksi pemimpin cabang seyogianya dibatasi. Contohnya jika terdapat L/C ekspor dalam nilai tertentu, negosiasi dan kelengkapan dokumen seyogianya dilaporkan ke pejabat di atas pemimpin cabang sebelum bank melakukan pembayaran.

Kebijakan semacam itu perlu juga diterapkan untuk transaksi lain yang kemungkinan akan menimbulkan kerugian bagi bank apabila petugas bank di jajaran paling bawah ikut bermain dalam transaksi itu.

Djoko Retnadi Kepala Riset Grup Bank BRI, Kantor Pusat Jakarta

http://64.203.71.11/kompas-cetak/0311/06/finansial/673274.htm

0 komentar:

Posting Komentar