Jika RI Mau Keluar dari Daftar Hitam FATF, Kasus BNI Harus Diselesaikan

Kamis, 17 Juli 2008

Jakarta, Kompas - Satuan tugas internasional yang memantau penanganan masalah pencucian uang di tiap negara, Financial Action Task Force on Money Laundering (FATF), menekankan, Indonesia harus menyelesaikan beberapa kasus besar, termasuk kasus pembobolan Bank Negara Indonesia, jika Indonesia ingin keluar dari daftar hitam FATF. FATF mengharapkan, orang-orang yang bersalah dan terkait dalam kasus pembobolan Bank BNI dihukum.


Keberhasilan atas penanganan kasus pembobolan Bank BNI akan menjadi nilai tambah (credit point) yang amat berarti bagi Indonesia untuk keluar dari daftar hitam FATF. Hal itu dikemukakan Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Yunus Husein, Rabu (23/6).



Yunus, pekan lalu, menghadiri pertemuan FATF di Seoul, Korea Selatan, yang merupakan pertemuan tahunan Asia Pacific Group on Money Laundering dan pertemuan bilateral PPATK dengan FATF. Karena peserta kedua pertemuan itu sama, pertemuan tersebut disatukan.



"Mereka bilang, ?Kalau Anda mau hebat benar, cepat-cepat bebas dari daftar hitam FATF, kasus-kasus besar seperti Bank BNI harus segera diselesaikan dan orang-orang yang bersalah benar-benar dihukum.? FATF ingin melihat contoh penerapan Undang-Undang (UU) Antipencucian Uang, jangan cuma ngomong doang," kata Yunus.



Sejak bulan April, Indonesia masuk daftar hitam FATF bersama Kepulauan Cook, Nigeria, Guatemala, Myanmar, Nauru, dan Filipina. Konsekuensi dari masuk daftar hitam FATF adalah besarnya berbagai biaya operasional dalam transaksi internasional. Bulan Juli mendatang, sidang plenonya, FATF akan membahas negara-negara yang ada di daftar hitam itu.



Menurut Yunus, sejumlah negara yang berpengaruh di FATF, termasuk AS, menyatakan kalau kasus pembobolan Bank BNI berhasil diungkap tuntas serta penegakan hukum atas kasus tersebut berjalan dengan bagus, keberhasilan itu dapat menjadi credit point untuk Indonesia. "Ini bisa membantu memberikan citra yang bagus bahwa implementasi UU Antipencucian Uang sudah baik, enggak main-main," katanya.



Pada bagian lain, Yunus meluruskan berita Kompas berjudul "Hanya Lima Persen Transaksi Mencurigakan yang Diproses" (Kompas,17/6). Yunus menjelaskan, dari 700 laporan transaksi keuangan mencurigakan (LTKM) yang disampaikan penyedia jasa keuangan, 99 kasus yang terdiri atas 271 LKTM telah disampaikan ke penyidik.



Surat DPR



Sementara itu, seusai rapat tertutup Panitia Kerja (Panja) DPR tentang Bank BNI dan Bank Rakyat Indonesia (BRI), Deputi Senior Gubernur Bank Indonesia (BI) Anwar Nasution mengatakan, BI sudah melakukan pemeriksaan atas sejumlah rekening yang diperkirakan menerima dana dari pembobolan Bank BNI melalui surat kredit (L/C) fiktif Bank BNI.



Akan tetapi, BI sampai saat ini belum dapat memberikan hasil pemeriksaan aliran dana itu kepada Panja Bank BNI dan Bank BRI. "Jelas kami bisa memberikan aliran dana itu. Namun, yang diperlukan adalah surat dari DPR agar BI dapat dilindungi secara hukum untuk membuka rekening itu. BI memang ada kewenangan membuka, tetapi untuk menyerahkannya ke DPR kami minta supaya mereka yang bertanggung jawab jika sudah diberikan kepada DPR," katanya.



Ditanya berapa rekening yang sudah diperiksa dan sampai di level berapa aliran dananya, Anwar tak mau mengungkapkan. "Kami tahu aliran dana itu. Akan tetapi, bagaimana alasannya dari aliran dana itu ditransfer ke sana, itu polisi yang memeriksa. Dari mana dananya, apakah mungkin dia berjualan apa, BI tidak tahu alasannya apa, dan dari mana dananya. BI itu bukan penegak hukum yang melakukan pemeriksaan sampai ke situ," lanjutnya.



Anwar menegaskan, surat permintaan ke BI itu harus ditandatangani Ketua DPR. "Maksudnya, kalau ada apa-apa dengan data yang dikirimkan BI, itu menjadi tanggung jawab DPR," ujarnya. Sedangkan anggota Panja Bank BNI Anthony Zedra Abidin menyatakan, dalam rapat Panja Bank BNI itu ada tiga hal yang diminta DPR kepada polisi, BI, maupun direksi Bank BNI.



"Pertama, supaya pemeriksaan polisi berjalan dengan efektif. Karena, selama ini yang masih ditahan polisi justru pelaku-pelaku dari Bank BNI, akan tetapi mereka yang menerima aliran dana masih berkeliaran. Ada kesan bahwa pemeriksaannya lamban," katanya.



"Kedua, bagaimana supaya tingkat pengembalian dari dana sebesar Rp 1,7 triliun yang dibobol lewat L/C fiktif itu bisa dikembalikan secara optimal. Sampai saat ini recovery rate-nya masih nol. Itu yang sangat menyakitkan. Yang ketiga, BI harus memperbaiki lagi secara serius sistem pengawasan perbankan," ujarnya. (fey/har)





http://www.ppatk.go.id/berita.php?nid=141

0 komentar:

Posting Komentar