PPATK Menilai Adrian Melakukan Money Laundering

Minggu, 13 Juli 2008

[28/1/05]

PPATK mendeteksi adanya penarikan dana berulang kali dari rekening milik Adrian, setelah menerima dana hasil diskonto BNI.



Sidang lanjutan terdakwa pembobol BNI, Adrian Herling Waworuntu kembali digelar di PN Jakarta Selatan (27/1). Dalam persidangan ini JPU menghadirkan tujuh saksi. Dua diantaranya adalah saksi ahli dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).



Kedua saksi tersebut adalah Garda T. Paripurna dan Edwin Nurhadi, analis PPATK. Selain kapasitasnya sebagai saksi ahli, mereka juga diminta keterangannya selaku analis transaksi keuangan pada terjadinya kasus pembobolan BNI.



Dalam kesaksiannya, Edwin mengatakan aliran dana yang berasal dari hasil diskonto BNI cabang Kebayoran Baru, masuk ke dalam rekening PT Gramarindo, dan diteruskan ke delapan anak perusahaan, termasuk PT Sagared Team. Dari situlah ditemukan adanya aliran dana ke rekening milik Adrian dan ke beberapa rekening di luar negeri.



Garda menambahkan, setelah aliran dana dari diskonto tersebut masuk ke rekening Adrian, PPATK menemukan adanya penarikan dana berulang kali pada rekening tersebut. Berdasarkan fakta inilah, Garda –- dalam kapasitasnya sebagai saksi ahli--menilai Adrian dikategorikan melakukan tindak pidana pencucian uang, sesuai ketentuan Pasal 3 UU No. 25/2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (money laundering).



“Apabila seseorang menerima uang yang jumlahnya sangat besar dan berasal dari berbagai transaksi, sedangkan dia tidak memiliki hubungan bisnis yang jelas atau economic reason, maka dia patut menduga bahwa uang tersebut didapat dari suatu perbuatan melawan hukum,” tegas Garda.



Tim penasehat hukum Adrian, LLM Samosir, sempat mengajukan keberatan atas keterangan dari PPATK yang dinilai sangat bias. “Saksi tidak sepatutnya memberikan keterangan dalam dua kapasitas yang berbeda, di satu sisi sebagai ahli, di sisi lain berupaya memaparkan fakta.”



Menanggapi hal tersebut, majelis hakim yang diketuai oleh Roki Panjaitan menolak keberatan penasehat hukum. Hakim berpendapat, sudah pernah ada preseden sebelumnya, perihal kesaksian semacam ini. Kesaksian serupa pernah dilakukan oleh Prof. Muladi dalam perkara lain. Namun, majelis hakim tidak tidak menjelaskan lebih jauh mengenai perkara yang dimaksud, serta dasar hukumnya.



Penasehat hukum juga mempersoalkan pernyataan PPATK yang mengatakan bahwa penandatanganan personal guarantee oleh Adrian sebagai perbuatan perbantuan, berdasarkan ketentuan Pasal 3 ayat 2 UU jo. Pasal 55 KUHP. Menurut tim penasehat hukum, personal guarantee itu dilakukan secara sah menurut ketentuan hukum yang berlaku.



Menurut Garda memang ada dua hal yang berbeda dalam kasus ini. Di satu sisi adanya penjaminan, namun ada dugaan pencucian uang. “Harus dilihat secara integrated (kesatuan, red). Ada bisnis-bisnis halal, yang kemudian menjadi tidak halal pada saat dimasuki pencucian uang,” tandasnya kepada hukumonline. Dalam hal ini, Garda menilai penjaminan Adrian tidaklah dipandang terpisah dari dugaan pencucian uang.



Personal guarantee

Dalam pemeriksaan saksi kali ini juga dipersoalkan Akta Pengakuan Utang. Saat akta dibuat, disertakan pernyataan Adrian sebagai penjamin yang bertanggung jawab apabila utang Gramarindo tidak bisa terbayar (personal guarantee). Dengan kondisi tersebut, kata saksi Heru Sarjono, menunjukkan bahwa Adrian adalah key person pada kasus ini. Dikatakannya, kedudukan Adrian sebagai penjamin mengindikasikan bahwa Adrian yang mengendalikan dana hasil pembobolan BNI.



Namun pernyataan saksi ini ditolak oleh penasehat hukum Adrian. Pasalnya, saksi tidak bisa menjelaskan berapa jumlah dana yang dikendalikan Adrian. Terlebih lagi, saksi tidak bisa menjelaskan tentang indikasi yang dimaksudnya. Menurutnya indikasi semacam itu hanya berkembang dalam praktek perbankan saja, dan tidak diatur dalam peraturan.



Selain saksi dari PPATK, saksi lain yang dihadirkan adalah Direktur Utama PT Dimas Drilindo, Frank Sigar (adik ipar Adrian), Kepala Kantor Wilayah X BNI Jakarta Selatan, Heru Sarjono (adik kandung Edy Santoso, terpidana kasus BNI-red), serta dua orang notaris, Adlan dan Rizal. Sedangkan satu saksi lainnya yang tidak hadir dalam persidangan adalah Bradly, direktur PT Bradly, perusahaan pengangkutan yang merupakan rekan bisnis PT Gramarindo. Namun kesaksian Bradly hanya dibacakan oleh JPU.

(CR)



http://www.hukumonline.com/detail.asp?id=12106&cl=Berita

0 komentar:

Posting Komentar