Pers Indonesia Kehilangan Idealisme

Minggu, 09 November 2008

TjiptaLesmana

Pers Indonesia adalah pers perjuangan, tulis Rosihan Anwar tahun 1950-an. Pers ikut berjuang melawan penjajah Belanda. Pada tahun 1980, tema pers perjuangan dikumandangkan lagi oleh wartawan senior mantan Pemimpin Redaksi harian “Pe- doman” itu.

Bahkan Rosihan menegaskan sampai kapan pun, pers Indonesia tidak boleh meninggalkan cirinya sebagai pers perjuangan. Berjuang melawan apa setelah tidak ada penjajah? Jawab Rosihan: pers harus berjuang menegakkan kebenaran dan keadilan.

Berjuang, apa pun objek yang diperjuangkan, tentu, memerlukan idealisme. Fakta menunjukkan bahwa setelah terjadi konglomerasi pers dan setelah banyak kalangan pebisnis besar terjun dalam dunia pers, idealisme pers Indonesia semakin luntur. Pada era reformasi, sepak-terjang sebagian pers kita malah tidak “karuan”.

Karakteristik pers Indonesia - umumnya- pada era reformasi adalah: (a) suka mencari sensasi; (b) tidak substantif dalam pemberitaan dan (c) tidak lagi berjuang untuk menegakkan keadilan serta kebenaran.

Masih ingat skandal sex Yahya Zaini dan Eva Maria? Ketika itu, hampir semua penerbitan pers mengekspos berita ini besar-besaran. Padahal, apa arti seorang Yahya Zaini dalam pentas perpolitikan di Indonesia? Ketika itu pers seakan lupa bahwa ada banyak permasalahan serius yang dihadapi bangsa dan negara.

Kasus lumpur panas Lapindo pun “terkubur” oleh skandal Yahya. Padahal, lumpur panas Lapindo sebuah kasus serius, karena membawa kerugian dahsyat terhadap rakyat, di samping menghancurkan banyak infrastuktur penting seperti kereta api dan PLN. Dalam konteks ini, saya melihat pers telah masuk dalam perangkap pihak-pihak tertentu.

Orang-orang yang punya kewenangan di news room tanpa disadari telah digiring ke medan lain semata-mata untuk mengalihkan perhatian publik dari masalah yang lebih serus. Boleh jadi, skandal Yahya Zaini sengaja dibikin pihak tertentu untuk menohok Partai Golkar. Jangan lupa, skandal ini mencuat ti- dak lama setelah Istana dipermalukan oleh masalah UKP3R dengan suara lantang Golkar -termasuk Ketua Umum Jusuf Kalla- yang menghajar habis-habisan UKP3R.

Anehnya, ada pers yang melansir bahwa kasus ala Yahya Zaini sebenarnya juga menimpa sejumlah wakil rakyat. Hanya saja, Yahya sedang sial dan menjadi korban. Tiba-tiba muncul pula berita bahwa salah satu petinggi DPR juga punya “WIL” -wanita idaman lain. Sayang, setelah berita dibantah oleh yang bersangkutan, follow-up-nya sirna sama sekali.

Sementara pers kita memang berpenampilan seperti koran kuning. Ya, pers liberal -dalam sejarahnya di Inggris- memang kadang diidentikkan dengan koran kuning. Hantam kiri kanan tanpa bukti jelas dan menohok privacy seseorang.

Kurang Substantif

Sebagian pers kita malas, atau sengaja tidak mau, menulis berita secara serius. Banyak sekali permasalahan bangsa yang mestinya diangkat sungguh-sungguh, antara lain, melalui investigative reporting. Soal impor gelap barang-barang eks RRC, misalnya. Bukankah ini masalah serius sebagai salah satu penyebab matinya sekian banyak industri dan pabrik di dalam negeri? Produk elektronika, tekstil, keramik dan lain-lain eks RRC masuk secara gelap seperti air bah.

emerintah -terutama Departemen Perdagangan dan Bea Cukai- tidak berdaya sama sekali. Di depan mata telanjang, produk itu malang-melintang di mal-mal, mematikan produk sejenis buatan dalam negeri.

Dan setiap kali ada pabrik yang tutup, berapa pengangguran yang ditimbulkannya? Sayang, pers tidak tergerak untuk melacak dan membongkarnya habis-habisan.

Mana pula komitmen pers untuk ikut memerangi terorisme? Konflik Poso, misalnya, sebenarnya sudah memasuki lampu merah. Kekuatan kelompok bersenjata sudah menguat, menguasai ratusan senjata dari berbagai jenis dan merek. Kasus ini sudah masu dalam domain terorisme, sebab kelompok-kelompok bersenjata itu terus-menerus meneror masyarakat, dan membunuh lawan-lawan yang tidak berdosa.

Dalam meramu berita seputar Poso, sebagian wartawan kita lebih suka mendengar pihak LSM dan kelompok tertentu yang punya kepentingan dengan konflik Poso daripada aparat keamanan. Kalau aparat mengatakan bahwa jaringan terorisme Poso terkait erat dengan jaringan terorisme lain di Filipina, Malaysia atau bagian lain In- donesia, pers adakalanya tidak percaya.

Bahkan sumber lain yang mengatakan bahwa konflik Poso tidak lebih buatan oknum TNI di-blow-up. Pers juga ikut-kutan mengekspos masalah HAM, bukan ikut membantu aparat mengejar para teroris. Pers seolah tidak punya tanggung jawab moral untuk menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik In-donesia.

Menjelang kedatangan Presiden George Bush tempo hari, hampir semua pers nasional “menggebuki” pemerintah Yu- dhoyono yang seolah-olah diperbudak untuk melakukan apa saja -termasuk membangun helipad di Kebun Raya Bogor– demi memuaskan Washington.

Orang lupa bahwa Presiden RI mempunyai hak untuk mengundang kepala negara mana pun karena terkait dengan kepentingan nasional. Orang juga lupa bahwa sebagai negara adi-daya, di mana-mana Amerika memang menuntut optimal security arrangement terhadap pemerintah negara yang mau menerima kunjungan presidennya.

Bush bukan semata-mata Presiden AS, tapi seakan-akan “Presiden Dunia” karena kepentingan AS yang merajalela di seantero dunia…… Dan hampir tidak ada pers yang menulis bahwa seluruh biaya pembangunan helipad di Kebun Raya Bogor ditanggung oleh pemerintah AS. Banyak sekali kalangan yang ketiban rejeki dari kedatangan Bush dan rombongannya.

Kebenaran

Meski sudah hampir 9 tahun bereksperimen dengan teori libertarian, pers Indonesia tampaknya makin jauh dari pers perjuangan untuk menegakkan kebenaran dan keadilan. Masalahnya, pers kita cenderung cepat emosional, tapi juga cepat melupakan persoalan……

Dua tahun yang lampau, pers mengekspos habis-habisan skandal korupsi di Komisi Pemilihan Umum (KPU). Penangkapan Mulyana W Kusuma dan Prof Nazaruddin Syamsuddin menjadi klimaks dari press coverage itu. KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) dipotretkan sebagai pahlawan yang hebat.

Namun, ketika sejumlah anggota KPU lain tidak disentuh oleh KPK, ketika Hamid Awaluddin dibiarkan lolos -walaupun 3 saksi mengatakan dengan tegas bahwa ia hadir dalam pertemuan di KPU yang menentukan harga segel- ketika itulah anti-klimaks dari berita seputar KPU. Pers Indonesia betul-betul kehabisan semangat dan motivasi! Pers hanya bisa ikut-ikutan menyangi lagu berjudul “Tebang Pilih”.

Banyak sekali kasus hukum yang semula dimunculkan pers dengan berapi-api, tapi kemudian lenyap. Contoh: penggebrekan KPK di kantor Mahkamah Agung. Ketika itu, Ketua MA Bagir Manan, seolah sudah menjadi “tersangka”.

Lalu, kasus dugaan korupsi di tubuh Polri seperti kasus BNI 1946 yang terasa sekali “tebang pilih”. Ketika ada petinggi Polri yang mengatakan bahwa kesaksian seorang penyidik tentang cek untuk Kapolri tidak lebih “mimpi”, pers pun diam seribu bahasa.

Bagaimana pula kelanjutan dari terbongkarnya sejumlah rekening pejabat Polri yang misterius dan pembelian alat komunikasi senilai ratusan miliar rupiah? Kenapa pers tidak terus mengejar Kapolri untuk dimintakan kejelasannya?

Dalam era reformasi, yang mengungkung sementara penerbitan pers tidak lagi pengusaha, tapi juga politisi. Sebagian pers kita, jujur saja, sudah partisan sifatnya. Sejumlah wartawan bekerja hanya sebagai batu loncatan menuju “jalan politik” yang sudah diincar sejak awal.

Ada wartawan yang tiba-tiba menjadi anggota DPR. Ada pula presenter radio yang kemudian menjadi anggota Dewan Perwakilan Daerah. Televisi pun tidak semuanya impartial atau objektif, sebab sudah sarat akan kepentingan politik tertentu.

Beberapa kali saya diminta ikut dalam talk-shows, tapi dengan catatan tidak boleh menyerang politisi ini. Atau sebaliknya, saya diminta mendukung politisi itu. Ketika saya menolak, maka saya pun di-black-list oleh media tsb.

Chris Frost, seorang pengajar senior pada Departemen Jurnalistik University of Central Lancashire (Inggris) dalam bukunya (”Media Ethics and Self Regulation“) mengakui bahwa penerbitan pers sulit memegang teguh prinsip impartiality.

Toh, menurut Frost, pers memiliki kewajiban untuk memberitakan kebenaran, “and this should limit the amount of slanting possible, although there is no obligation on a newspaper to present all sides of an argument”. (hal.139).

Slanting news -berita yang sudah dibelokkan- tampaknya sudah menjadi salah satu potret pers Indonesia pada era reformasi ini. Faktor uang dan kekuasaan menjadi penyebabnya.

Kalau sudah demikian, bagaimana lagi kita bisa berbica- ra tentang pers pejuangan? Inilah wajah pers Indonesia keti- ka memperingati Hari Pers Nasional….!

Penulis adalah pengajar “Hukum Pers” Universitas Pelita Harapan

Last modified: 9/2/07

http://danielpinem.wordpress.com/pemikiran-indonesia-februari-2007-2/


SUARA PEMBARUAN DAILY

Read More...