Membongkar Korupsi Direksi BNI

Selasa, 22 Juli 2008

13-Mar-2006, 01/01/THN-06


Sepandai pandai direksi Bank BNI menyimpan bangkai, bau busuknya pasti tercium juga. Pemeo klasik ini, agaknya, tak lama lagi bakal jadi kenyataan menyusul gencarnya penyidikan ”babak kedua” terhadap kasus pembobolan duit negara Rp 1,7 triliun yang terjadi di Bank BNI Cabang Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Bukan rahasia, inilah kasus – lebih dikenal dengan sebutan kasus letter of credit (L/C) BNI – yang memecahkan rekor lantaran tercatat sebagai peristiwa pembobolan bank terbesar dalam sejarah perbankan Indonesia.

Dalam ”babak pertama”, kendati penyidiknya sendiri satu per satu ikut masuk bui karena kasus suap, sejumlah tokoh memang berhasil dijebloskan ke penjara. Namun, so pasti, itu bukan akhir cerita. Maklum, dari Rp 1,7 triliun yang amblas digondol rampok, baru Rp 1 miliar yang berhasil ditarik kembali oleh negara. Yakni, duit dari kantung salah satu tersangka: Jeffrey Basso, direktur utama PT Tri Ranu Caraka Pasifik. Padahal, sesaat setelah menyidik kasus yang mulai mencuat ke permukaan pada Oktober 2003, Mabes Polri mengklaim telah mengantungi 154 nama yang ikut menerima aliran dana.

Hal lain yang mencolok dalam penyidikan ”babak pertama”, yakni terkait fakta: tidak satu pun pejabat BNI pada tingkatan divisi dan direksi di Kantor Pusat yang tersentuh tangan hukum. Itu sebabnya, pada penyidikan ”babak kedua”, fokus dan target utama justru diarahkan ke bos-bos bank pelat merah itu. Tak kurang dari Kapolri Jenderal Polisi Sutanto sudah memberi sinyal ihwal ini. ”Akan ada tersangka baru, termasuk dari kalangan Divisi Internasional Kantor Pusat,” ujar Kapolri, akhir Februari lalu.

Jenderal Sutanto pasti tidak sedang menggertak. Pasalnya, dari penelusuran Investigasi, dugaan seputar keterlibatan jajaran Divisi Internasional dan Direksi BNI memang sangat kental. Buku Pedoman dan Tata Kerja Internal BNI, misalnya, dengan terang benderang menyatakan bahwa fungsi kontrol dan pengawasan transaksi devisa adalah tanggung jawab Divisi Internasional. Kalau fungsi ini dilaksakan secara benar dan bertanggung jawab, haqul yakin, pembobolan diskonto wesel ekspor yang merugikan keuangan BNI triliunan rupiah itu masih berpeluang dicegah.

Dokumen yang diperoleh Investigasi juga menemukan indikasi kuat, direksi sudah tahu sejak jauh-jauh hari bahwa brankasnya dibobol. Ihwal ini, antara lain, terkait dengan dilakukannya penyisihan kerugian sebelum kasus L/C Gramarindo meledak. Aparat penyidik juga harus mendalami lagi fakta bahwa instrumen L/C itu ternyata otentik, karena disampaikan dengan menggunakan sistem SWIFT melalui advising bank lembaga perbankan besar di Jakarta. Sistem ini menunjuk kerja dari suatu jaringan yang dapat menciptakan instrumen perbankan lainnya, namun berpotensi mengancam industri perbankan nasional.


Modus sederhana
Sekadar mengingatkan, kasus pembobolan bank dengan modus sederhana ini berawal dari ditemukannya penggelontoran dana sebesar Rp 1,7 triliun melalui wesel ekspor berjangka kepada Grup Gramarindo dan Grup Petindo, yang dijamin dengan L/C dari bank-bank di Swiss, Kenya, dan Cook Islands.

Modusnya memang tak rumit. Dengan surat jaminan di tangan, pengusaha kedua grup itu mendatangi Kantor Cabang Utama BNI Kebayoran Baru. Mereka lalu mengajukan permohonan fasilitas L/C untuk mengekspor pasir kuarsa dan minyak residu ke Kongo dan Kenya. Belakangan diketahui, sebagian ekspor tersebut ternyata fiktif. Celakanya, tanpa pengecekan lebih jauh, BNI Kebayoran Baru langsung mengucurkan dana triliunan itu secara bertahap selama periode Juli 2002 s.d. Juli 2003.

Dari penyidikan terdahulu, sebanyak 15 orang telah dijatuhi hukuman. Selain para pengusaha hitam dari kedua grup itu, praktis hanya pejabat BNI di kantor cabang saja yang masuk bui. Mereka, antara lain, mantan Kepala Customer Service Luar Negeri BNI Kebayoran Baru Edi Santoso, yang diganjar penjara seumur hidup; mantan Kepala Cabang BNI Kebayoran Baru Kusadiyuwono, yang divonis 16 tahun; serta mantan Kepala Cabang BNI Kebayoran Baru Nirwan Ali, yang divonis delapan tahun penjara.

Sementara dari pihak swasta, hanya Adrian Herling Woworuntu, bos PT Gramarindo, yang dijatuhi hukuman seumur hidup. Selebihnya, Rudy Sutopo (dirut PT Mahesa), Ollah Agam (dirut PT Sagared Team), dan Adrian P. Lumowa (dirut PT Magnetiq Usaha Esa), masing-masing diganjar hukuman 15 tahun penjara.

Di samping yang sudah divonis, sebenarnya masih ada Maria Pauline Lumowa. Namun, sejauh ini, warga negara Belanda yang disebut-sebut sebagai otak pembobolan itu belum berhasil dimejahijaukan. Ia bahkan masih bebas berkeliaran di sejumlah negara, utamanya Singapura, yang memang tak memiliki perjanjian ekstradisi dengan Indonesia. Jeffrey Basso, tersangka yang mengembalikan duit semiliar ke kas negara, saat ini pun masih bisa makan enak dan tidur nyenyak. Masa penahanannya telah habis, sementara penyidikan belum tuntas.

Yang tak kalah nyaman, karena sama sekali belum tersentuh tangan hukum, itu tadi: para pejabat BNI di tingkat kepala divisi hingga direksi. Ini dimungkinkan, karena penyidikan ”babak pertama” kasus ini sengaja dilokalisir hanya menjerat pejabat kantor cabang saja. Kesengajaan melokalisir kasus, antara lain terekam dari pengakuan terdakwa Rudy Sutopo yang disampaikan dalam Sidang Komisi Kode Etik dan Profesi Mabes Polri.


Dalam kesaksiannya, Rudy mengaku telah dimintai dana sebesar Rp 250 juta oleh penyidik. Kalau dia oke, penyidik berjanji akan membuat skenario bahwa otak pelaku pembobolan BNI Kebayoran Baru adalah Edi Santosa. Dalam sidang yang sama, Rudy Sutopo juga mengaku sempat diancam akan ditembak penyidik. (lihat: Investigasi, Edisi Perkenalan, Februari 2006).

Kini, tim penyidik baru Mabes Polri tampaknya sudah menemukan ”roh” dari seluruh rangkaian kejahatan pembobolan BNI yang sebenarnya. Ini antara lain bercermin dari bebasnya Jeffrey Basso, yang ditahan sejak 29 Oktober 2003. Jeffrey bebas, karena polisi – yang melakukan penyidikan pada babak pertama – menyerahkan berkas perkara kepada jaksa hanya sehari menjelang masa penahanannya habis.

Dengan waktu yang dibikin mepet, jaksa tentu tak bisa mempelajari berkas tersebut, sehingga mengembalikan ke polisi. Jeffrey pun dilepas. Hal serupa terjadi pada Judi Basso dan Adrian Waworuntu. Kita tahu, kesempatan menghirup udara bebas di luar tahanan itu kemudian dimanfaatkan Adrian untuk lari ke Amerika Serikat, meski akhirnya pulang ke tanah air untuk ”menyerahkan diri”.

Tak mau kejeblos di lubang yang sama, sebagaimana dialami penyidik babak pertama, Mabes Polri kini menjalin kerja sama dengan jaksa-jaksa andal dari Gedung Bundar Kejaksaan Agung. Kedua tim aparat penegak hukum itu saling bahu-membahu. Dimulai dengan membuka berkas-berkas lama, mereka lalu menyatukannya kembali secara menyeluruh untuk mengurai kasus yang kusut masai ini. Saking seriusnya, diskusi tim acap dilakukan hingga larut malam. ”Apakah akan mengarah ke direksi, kita lihat nanti,” cetus seorang penyidik, ketika ditemui Investigasi, pekan lalu.

Penyidik ini menambahkan, tim kepolisian yang diasisteni oleh Pidsus Kejaksaan Agung ini memang ibarat melakukan penyidikan babak kedua. Babak pertama sudah tamat, karena penyidiknya sudah jelas-jelas ”dibeli” oleh para tersangka dan petinggi BNI. Hasilnya pun sangat buruk bagi citra polisi, terlebih setelah Komisaris Jenderal Suyitno Landung, Brigadir Jenderal Samuel Ismoko, dan Komisaris Besar Irman Santosa dipenjara, lantaran dituding menerima suap.

Kerja sama Mabes Polri-Kejaksaan Agung, tentu, patut disambut dengan prasangka positif. Mudah-mudahan, tak keburu layu sebelum berkembang. Intinya, mereka harus mampu membuat adonan berkualitas, ditambah bumbu-bumbu bukti bermutu tinggi, sebelum akhirnya dihidangkan ke majelis hakim.

Berdasarkan dokumen yang diperoleh Investigasi, ada sejumlah ”jaring” yang tampaknya tengah disiapkan penyidik untuk menjerat direksi lama maupun baru. Jaring-jaring tersebut, antara lain, terkait dengan masalah pengawasan. Benar, mantan dirut BNI Saefuddien Hasan pernah beberapa kali diperiksa di Mabes Polri sebagai saksi pelapor. Namun, hingga kini, ia masih ”aman”. Selama ini, Saefuddien selalu berkelit bahwa transaksi yang dilakukan BNI Cabang Kebayoran Baru tidak terdeteksi oleh Kantor Pusat.

Saefuddien berdalih, BNI menerapkan branch banking. Artinya, cabang diberi otonomi penuh dalam pemberian fasilitas kredit dan segala fasilitas yang melibatkan cash outflow bank. Sementara, karena tak punya nasabah, peranan kantor pusat lebih difokuskan pada supporting, pembinaan, pengawasan, serta kontrol atas semua transaksi devisa, pengelolaan, dan pemantauan posisi likuiditas secara terkonsolidasi. Saefuddien bahkan menyatakan, pembobolan L/C itu tak dilaporkan ke Divisi Internasional BNI di Kantor Pusat.

Benar? Tunggu dulu. Kalau ”teori” itu tetap dipakai, bukan mustahil, pengacara para direksi lama harus sudah bersiap untuk membuat pembelaan bagi kliennya sedari sekarang. Pasalnya, branch banking kini dianggap bukan segala-galanya. Sistem ini tetap harus diimbangi dengan pengawasan secara struktural dan fungsional. Artinya, ada pengawasan yang dilakukan berjenjang.

Pada Oktober 2002, misalnya, Satuan Pengawas Internal (SPI) Bank BNI telah membentuk tim untuk mengaudit Cabang Kebayoran Baru. Dari audit tersebut diketahui, sejak Juni 2002 BNI Kebayoran Baru telah melakukan 11 transaksi diskonto wesel ekspor berjangka dengan kondisi pembayaran di muka, walaupun terdapat discrepancies dan diskonto dilakukan sebelum ada akseptasi dari bank penerbit. Masalahnya, hasil audit SPI tersebut dianggap tidak signifikan.

Kecuali itu, dalam pemeriksaan berkala yang dilakukan kontrol intern cabang pada Agustus 2002 dan Februari 2003, ditemukan 34 L/C senilai US$ 36 juta (sekitar Rp 324 miliar) yang telah jatuh tempo. Namun, tidak ada reimbursment dari bank penerbit. Padahal, menurut aturan BNI, temuan seperti itu wajib dilaporkan kepada Kepala Wilayah X, Kepala Cabang, SPI Kantor Pusat, dan Direktur Kepatuhan. Artinya, Direktur Kepatuhan pasti telah mengetahui masalah ini dan seharusnya telah membuat langkah-langkah pengamanan. Namun, dalam kenyataan, hal itu justru didiamkan.

Tak kurang dari Deputi Gubernur BI (saat itu) Anwar Nasution, pernah mengkonfirmasikan bahwa kontrol internal Bank BNI sudah melaporkan adanya kasus tersebut pada tahun 2001 dan 2003. Anwar berpikir, laporan tersebut akan ditindaklanjuti oleh Direktur Kepatuhan. Konfirmasi Anwar bisa diartikan: Direktur Kepatuhan BNI sudah menerima laporan dan mengetahui adanya L/C bodong ini sejak awal.

Selain itu, selama Juni 2003, cabang diketahui telah dua kali melakukan negosiasi wesel ekspor dalam mata uang euro, masing-masing sebesar 17 juta dan 6,5 juta. Negosiasi dilakukan dengan mengkredit rekening nasabah dalam euro dengan jangka waktu sembilan bulan. Secara teoretis, transaksi yang mencapai 23,5 juta euro itu pasti sangat berpengaruh terhadap posisi valuta asing BNI. Anehnya, kondisi ini pun dianggap hanya urusan cabang. Padahal, BNI bisa rugi besar akibat risiko kurs, jika tidak terdeteksi oleh Divisi Treasury Kantor Pusat.

Masalah lain, setiap transaksi wesel ekspor di cabang tentu terhubung dengan komputer yang on line secara realtime ke Kantor Pusat. In put data dilakukan cabang setiap hari dan ditutup pada jam 16.30. Dengan demikian, data ini bisa diakses oleh

Divisi Internasional di Kantor Pusat. Sudah begitu, Edi Santoso sendiri pernah mengakui, transaksi yang ia lakukan dilaporkan setiap hari melalui jaringan komputer yang memang sudah on line.

Metode pelaporan seperti ini sebenarnya juga lazim dilakukan oleh bank-bank lain. Pasalnya, itu tadi, sebagian besar transaksi pasti berpengaruh terhadap posisi likuiditas bank yang bersangkutan. Jadi, sekalipun konsep branch banking – yang selama ini dijadikan alasan direksi – merupakan kewenangan cabang, tapi alur proses pembukuan dan laporan menyangkut devisa dilakukan dan dilihat oleh Kantor Pusat. Dus, sulit dipercaya jika pembobolan bank ini tak diketahui oleh pejabat di atas kepala cabang.

Fakta lain yang tak kalah menarik: dari total dana Rp 1,7 triliun yang diberikan kepada Gramarindo, diketahui baru Rp 500 miliar yang dibayarkan kembali ke BNI. Itu pun bukan berasal dari bank penerbit L/C, melainkan dari kegiatan gali lubang tutup lubang. Maksudnya? Begitu ada utang dari pengucuran sebelumnya yang jatuh tempo, mereka membayarnya dengan dana BNI sendiri – yang cair pada periode Juli 2002 s.d. Juli 2003 – melalui BNI Cabang New York (BNI NY).

Aktor yang membayar tagihan wesel ekspor berjangka itu, antara lain, Cadmus Pasific, Aditya Putra Pratama, Supreme Impex, dan Oenam Marbel. Mereka membayar ke BNI NY sesuai dengan jumlah L/C yang jatuh tempo.

Seharusnya, bila ada pembayaran yang bukan berasal dari bank penerbit L/C, akan terdapat lubang pada pos rekening nostro di BNI NY. Dan, jika itu terjadi, Divisi Internasional Kantor Pusat bisa dengan segera menyelisik ke rak valas kantor pusat atau cabang, apakah ada pendebitan rekening pos tagihan wesel ekspor berjangka. Namun, metode pengecekan ini tidak dilakukan oleh Divisi Internasional.

Penyisihan kerugian

Masalah lain yang juga bisa menyeret direksi lama adalah praktik penyisihan kerugian. Praktik ini terungkap dari hasil audit Pricewaterhouse Coupers (PwC) terhadap tagihan wesel ekspor dan tagihan lainnya pada tahun 2001, 2002, dan 2003. Pos wesel ekspor dan tagihan lainnya didefinisikan dan terdiri atas tagihan dan transaksi L/C, serta dokumen-dokumen kepada nasabah importir dan eksportir. Wesel ekspor itu sendiri termasuk kategori aktiva berisiko, dan bank harus menyisihkan kerugian dengan mendebit biaya.

Menurut hasil audit PwC, tagihan wesel ekspor maupun tagihan valas BNI tercatat sebesar Rp 3,079 triliun pada 2001 dan Rp 1,181 triliun pada 2002. Menariknya, semua dinyatakan lancar. Tidak sedikit pun tagihan yang tersendat, apalagi macet. Luar biasa bukan?

Lebih luar biasa lagi, manajemen menyisihkan kerugian sebesar Rp 541,8 miliar pada 2001 dan Rp 345,4 miliar pada 2002. Padahal, berdasarkan ketentuan BI, penyisihan kerugian kategori lancar hanya satu persen atau hanya Rp 30 miliar pada 2001 dan Rp 11,8 miliar pada 2002. Dari sini, jelas terlihat, antara peraturan BI dan kebijakan manajemen terdapat selisih sebesar Rp 511,8 miliar (2001) dan Rp 333,6 miliar (2002).

Kalau dirunut ke belakang, pada periode 2002, di BNI Kebayoran Baru telah terjadi gagal bayar atas wesel-wesel PT Mahesa sebesar US$ 5,4 juta (Rp 48,6 miliar), PT Petindo US$ 8,8 juta (Rp 79,2 miliar), dan PT Prasetya Cipta Tulada US$ 1,5 juta (Rp 13,5 miliar). Besar kemungkinan, penyisihan kerugian sebesar Rp 345,4 miliar pada 2002 itu erat terkait dengan transaksi ketiga perusahaan tersebut.

Setelah ditambah dengan penyisihan kerugian pada 2003 sebesar Rp 1,2 triliun, maka total penyisihan kerugian tagihan wesel ekspor selama tiga tahun itu totalnya mencapai Rp 2,1 triliun. Penyisihan kerugian pada 2003 terjadi pada bulan Juni atau tiga bulan sebelum kasus L/C bodong Gramarindo terungkap. Artinya, direksi tahu kalau bank yang dipimpinnya bobol sebesar Rp 1,2 triliun oleh ulah Adrian Woworuntu Cs.

Selain itu, dalam laporan likuiditas perbedaan jatuh tempo (liquidy maturity gap) pada 2002, terlihat bahwa pos wesel ekspor dan tagihan lain yang jatuh tempo di bawah sebulan besarnya mencapai Rp 830 miliar dari total Rp 1,18 triliun (75 persen). Ini pun menunjukkan, manajemen BNI telah mengetahui bahwa, pada akhir 2002, ada 75 persen tagihan wesel ekspor yang telah jatuh tempo dan bersifat on demand.

Tak cukup dengan hanya menyelisik peran para direksi BNI era Saefuddien Hasan, aparat penyidik pun mengisyaratkan hendak membidik direksi baru yang dipimpin dirut Sigit Pramono. Seperti diketahui, Sigit diputuskan menggantikan Saefuddien pada Desember 2003 dalam forum rapat umum pemegang saham luar biasa (RUPSLB) BNI. Begitu ditunjuk menjadi nakhoda, Sigit memang langsung dihadang dengan sejumlah masalah. Selain motivasi karyawan yang menurun, sisi keuangan juga terpengaruh akibat skandal L/C itu. Sedemikian parahnya, keuntungan BNI pada tahun itu hanya bergerak di kisaran Rp 800 miliar.

Ketika menerima tongkat komando, di hadapan peserta RUPSLB Sigit meminta agar BNI menyisihkan kerugian sebesar Rp 941 miliar untuk menutupi pembobolan ini. Usulan Sigit disetujui. Namun, berdasarkan hasil audit keuangan tahun 2003, nilai yang disisihkan Sigit ternyata lebih besar, yakni: Rp 1,429 triliun atau ada selisih Rp 489 miliar dari yang disepakati RUPSLB. Dari jumlah itu, sebagian bahkan sudah dialokasikan untuk penyisihan pada Juni 2003 sebesar Rp 1,2 triliun, yang dilakukan direksi lama.

Penyelisikan tampaknya tak berhenti di sini. Belakangan diketahui, BNI masih menambah mencadangkan penyisihan kerugihan sebesar Rp 164 miliar. Sehingga, total penyisihan kerugian untuk wesel ekspor dan tagihan lain sejak 2001 hingga 2004 besarnya mencapai Rp 2,48 triliun.

Masalah lain yang bisa membuat Sigit sibuk diperiksa penyidik, yakni menyangkut penghapusbukuan kerugian akibat L/C bodong Gramarindo sebesar Rp 1,5 triliun pada Desember 2004. Padahal, kita tahu, kasus Gramarindo hanya membuat BNI merugi Rp 1,2 triliun. Angka yang Rp 1,5 triliun diperoleh dari hasil audit Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Sisa yang sebesar Rp 500 miliar telah dibayar lewat BNI NY.

Melihat angka-angka itu, muncul dugaan, pos akunting wesel ekspor dan tagihan lain telah dijadikan ”kendaraan” untuk mengeluarkan dana sebagai pinjaman, dengan dalih transaksi ekspor maupun impor yang menggunakan L/C maupun instrumen lainnya.

Atau, adakah selisih itu digunakan untuk membungkam penyidik? Bukan mustahil, meski tetap harus diselidiki. Sebab, bercermin pada penyidikan ”babak pertama”, penyidik Polri ketika itu benar-benar kebanjiran rezeki haram. Selaku Kepala Unit II/Perbankan dan Pencucian Uang Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Mabes Polri, Kombes Irman Santosa misalnya, diketahui telah menerima bejibun upeti dari berbagai sumber. Termasuk, dari Direktur Kepatuhan BNI Mohammad Arsjad.

Pertanyaannya, kini, mampukah tim penyidik baru menyeret direksi lama dan baru BNI sebagai tersangka? Sumber Investigasi di Mabes Polri menggeleng. Ia mengaku tak yakin bila direksi bisa diusut. Alasannya? ”Susah untuk membuka mulut Arsjad,” katanya. Sumber ini tahu pasti, banyak orang yang terlibat kasus ini. Dan, jika Arsjad mau buka mulut, rasanya, semua kekusutan ini menjadi lebih mudah diurai. Sayang, Dirut BNI Sigit Pramono belum bersedia memberikan keterangan. ”No comment-lah untuk hal ini,” ujarnya singkat, kepada Investigasi.

Soal Maria Pauline

Satu lagi pekerjaan rumah penyidik, yakni: membawa pulang Maria Lumowa ke Indonesia, agar kasus ini menjadi lebih terang. Seperti diketahui, Pauline pernah mengatakan, dirinya hanya menerima dana sebesar US$ 40 juta (Rp 360 miliar). Sisanya, ia berharap, ada keterbukaan dari pihak BNI utuk mengungkapkan.

Pauline sendiri pernah berusaha menunjukkan ”niat baik”. Antara lain, dengan menulis surat yang dikirim kepada Kapolri Jenderal Sutanto melalui pengacaranya, O.C. Kaligis. Dalam surat bernomor 1802/OCK.IX/2005 itu, Pauline meminta Kapolri untuk menyelidiki alur dana dari Gramarindo Grup ke BNI dengan memeriksa rekening BNI di BNI NY.

Untuk keperluan itu, Pauline juga menyatakan kesiapannya bertemu dua penyidik Mabes Polri: Brigjen Pol. Gorries Mere dan Kombes Benny Mamoto di Belanda. Terakhir, Pauline meminta agar kasus ini ditangani secara perdata. Ia bahkan menegaskan tak mau bekerja sama bila sifatnya pidana. Menyangkut permintaan ini, sudah pasti, sulit untuk dikabulkan. ”Ini kan kasus L/C, bukan kredit macet. Kalau kredit macet, pasti ada jaminannya dan bisa disita,” ungkap anggota DPR RI Dradjat H. Wibowo.

Menurut Drajat, masalah L/C bodong ini terlebih dulu harus dibuktikan kejahatannya di pengadilan. Artinya, harus ada keputusan pengadilan yang bersifat tetap, seperti dalam kasus orang mencuri uang. ”Kalau uangnya dipakai untuk beli televisi, itu bisa dikategorikan hasil kejahatan dan bisa disita sementara,” Drajat mencontohkan. Lantas, setelah kejahatan mencurinya divonis hakim, barang tersebut bisa dilelang.

Mengenai konsep branch banking, mantan komisaris BNI ini melihat, keputusan-keputusan sudah didelegasikan ke kantor-kantor cabang. Apakah hasilnya bisa menyeret direksi, itu tergantung hasil penyidikan polisi. ”Saya tidak tahu, apakah direksi mengetahui transaksi ini. Saya tidak ingin memberikan penilaian apakah direksi terlibat atau tidak, karena sudah masuk wilayah hukum,” paparnya.

Jadi? Apa boleh buat, rakyat kini hanya bisa menunggu keberanian aparat penegak hukum untuk mempertegas jejak-jejak korup para direksi BNI itu.


Direksi lama:

- Direksi seharusnya mengetahui masalah wesel ekspor berjangka di BNI Cabang Kebayoran Baru. Sebab, setiap transaksi selalu dimasukkan dalam komputer yang bisa dilihat oleh kantor pusat.

- Direktur Kepatuhan tidak menindaklanjuti temuan kontrol interen cabang atas 34 L/C yang jatuh tempo. Kasus ini juga tidak dilaporkan kepada Bank Indonesia.

- Transaksi dalam mata uang euro yang besar tidak diketahui.

- Tagihan wesel ekspor ditransfer ke BNI Cabang New York. Akibatnya, pos rekening nostro di BNI New York bolong-bolong. Seharusnya, divisi internasional mengecek hal ini ke rak valas kantor pusat atau cabang.

- Penyisihan kerugian pada 2001 dan 2002 lebih dari satu persen. Padahal, tagihannya lancar. Pada Juni 2003, disisihkan kerugian sebesar Rp 1,2 triliun untuk mencadangkan kerugian L/C bodong itu. Artinya, direksi tahu, L/C itu bermasalah sebelum perkara ini mencuat pada Oktober 2003.

Direksi baru

- Menyisihkan kerugian sebesar Rp 1,4 triliun. Padahal yang disetujui RUPSLB hanya Rp 941 miliar.

- Menghapus buku Rp 1,5 triliun. Padahal, kerugian hanya Rp 1,2 triliun.

http://www.investigasi.com/news_view.asp?id=71&rubrik=1


Read More...