Dirut Janji Bongkar Pembobolan BNI

Minggu, 06 Juli 2008

Suara Pembaruan, 28 Oktober 2003



SOLO - Direktur Utama Bank BNI Saifuddien Hasan menyesalkan pemberitaan sebuah media yang dianggap terlalu cepat mengekspose kasus pembobolan BNI sehingga pembobol yang sebenarnya telah dilaporkan ke polisi ketakutan dan mungkin sudah melarikan diri ke luar negeri.



Saifuddien berjanji akan membuka semua kasus pembobolan BNI kepada umum yang berkaitan dengan Letter of Credit (L/C) bermasalah dalam waktu dekat.



Hal tersebut dikemukakan Saifuddien seusai seminar yang dirangkai dengan peresmian kantor baru BNI cabang UNS dan Slamet Riyadi di Solo, Sabtu.



Dalam kasus L/C fiktif senilai Rp 1,7 triliun yang dikeluarkan BNI, Mabes Polri telah menahan dua tersangka, yaitu mantan Kepala Cabang BNI Kebayoran Baru Kusadiyowono dan Kepala Pelayanan Konsumen Luar Negeri BNI Kebayoran Baru Edi Santoso.



Menurut Wakil Kepala Badan Reserse dan Kriminal Mabes Polri Inspektur Jenderal Suyitno Landung, dalam kasus yang mengakibatkan kerugian sebesar Rp 1,2 triliun itu pemeriksaan masih berlanjut dan tidak tertutup kemungkinan adanya tersangka baru. Dia juga menyatakan bisa saja dana BNI yang dibobol itu mencapai Rp 6,5 triliun karena jumlah L/C yang tengah diperiksa polisi belum seluruhnya. (Pembaruan, 25/10).



Saifuddien menjelaskan, pihaknya ke depan akan melakukan perbaikan dalam penerbitan L/C untuk meminimalkan risiko yang kemungkinan terjadi seperti tunggakan pembayaran dari eksportir dan kemungkinan L/C yang dibayar terlebih dahulu oleh bank ketika ditagihkan ke bank koresponden di luar negeri tidak dibayar.



“Untuk customer, kita sarankan untuk mencari jalan keluar dengan menunjukkan kredit lainnya dulu, sehingga bank mengetahui dan dapat memberikan penilaian terhadap kredibilitasnya,” kata Saifuddien.



Sementara untuk debitor yang meminta diterbitkan L/C, harus melakukan acceptability dari bank yang ditunjuk kliennya sebagai bank koresponden di luar negeri.



“Kami ingin supaya uang yang kami berikan lebih dulu, ketika ditagihkan di bank luar negeri tidak ditolak,” kata Saifuddien.



Executive Vice President & Managing Director Bank BNI Eko Budiwiyono yang dikonfirmasi hari ini (27/10) menyatakan Direksi masih akan mengadakan rapat tentang langkah-langkah yang ditempuh BNI dalam menyelesaikan L/C bermasalah tersebut.



“Besok akan ada pernyataan kepada pers, tetapi bentuknya seperti apa masih akan dirapatkan,” kata Eko.



Kendala

Sementara itu, ekonom dari Universitas Indonesia Faisal Basri, mengatakan, Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) dinilai menjadi kendala dalam menangkap oknum-oknum yang selama ini menjadi pembobol bank, karena dalam beberapa kasus mereka telah dilaporkan ke Kepolisian dan Kejaksaan tetapi malah yang dikeluarkan adalah perintah untuk menghentikan perkaranya.



Menurut dia, kasus pembobolan bank dilakukan oleh oknum-oknum lama, namun selama ini ketika dilaporkan ke Kepolisian atau Kejaksaan, perkaranya selalu dihentikan.”Herannya kenapa tidak ada filter di bank untuk menangkap orang-orang ini, mungkin dia pakai nama lain,” kata Faisal.



Dia menduga, tidak adanya filter di bank khususnya bank BUMN, karena dalam pemberian kredit atau penerbitan L/C kadang kala perbankan mendapat tekanan dari pihak-pihak yang bersentuhan dengan birokrasi dan partai politik.



Dicontohkan, dalam kasus pemberian kredit kepada Indonesian Airlines oleh Bank Danamon sebetulnya jaminannya tidak bankable, tetapi karena ada tekanan dari tiga petinggi partai, sehingga akhirnya kredit dikucurkan ke perusahaan penerbangan yang telah bankrut tersebut.



Sebab itu, dia mengimbau agar bank-bank BUMN sebaiknya segera dilepas sahamnya ke publik, untuk mengurangi intervensi yang berlebihan dari birokrasi.



Sedangkan Ketua Sub Komisi Perbankan Komisi IX DPR Anthony Z Abidin berpendapat kasus ini bagi DPR bukan hal baru lagi. Sebelumnya, DPR sudah memperingati jajaran direksi BNI agar memperbaiki internal kontrolnya yang dinilai cukup lemah, sehingga mudah diintervensi.



“Kekhawatiran itu sudah cukup lama seharusnya bisa diantisipasi dan dicegah,” kata Anthony.



Sementara itu Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia, Anwar Nasution kepada wartawan di Jakarta, Sabtu (25/10), mengatakan kasus BNI harus diselidiki lebih jauh oleh polisi dan BI tentang siapa saja yang terlibat dan berapa kerugian yang pasti.



Namun, Anwar tidak menjelaskan sejauh mana hasil pemeriksaan yang tengah dilakukan tersebut. Dia hanya mengatakan ada indikasi pemalsuan L/C merupakan pelanggaran dan penyalahgunaan uang bank untuk kepentingan lain akibat internal control yang lemah. (BD/H-12)



Sumber : http://www.suarapembaruan.com/

http://www.ppatk.go.id/berita.php?nid=75



Read More...

Dirut BNI Bisa Jadi Tersangka

Jakarta, Sinar Harapan



Direktur Utama Bank BNI, Saefuddin Hasan bisa ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus pembobolan Bank BNI bila proses penyidikan lebih lanjut menunjukkan indikasi ke arah sana. Sampai saat ini ia masih diperiksa sebagai saksi.



Demikian dikatakan Direktur Reserse dan Kriminal Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia (Mabes Polri) Komjen Erwin Mappaseng, Jumat pagi. ”Siapa pun nanti bisa menjadi tersangka, termasuk Dirut BNI. Tapi sampai sekarang ini Dirut BNI statusnya masih sebagai saksi,” kata Erwin Mapasseng kepada wartawan usai menghadiri Penutupan Pendidikan Taruna Akpol Tahun 2003 di Akademi Kepolisian Semarang.



Erwin mengatakan pemanggilan Dirut BNI sebagai saksi kemarin untuk memperjelas kasus pembobolan dana tersebut sehingga kepolisian bisa secara komprehensif melihat kasus ini, di samping agar dapat menyelesaikan kasus ini secara tuntas.



Saat didesak kapan kemungkinan Dirut BNI ditetapkan sebagai tersangka, Erwin mengatakan semua kemungkinan itu bisa saja terjadi, kita lihat proses penyidikannya saja.



Sementara itu Direktur Pengawasan Bank II Aris Anwari, yang dihubungi SH, Jumat pagi mengatakan, seorang Dirut, secara kebijakan pasti mengetahui proses pencairan L/C. Namun, menurut dia, untuk mengetahui day to day operasional pencairan LC, tentu saja menjadi urusan dari masing masing pimpinan cabang atau pimpinan wilayahnya.



”Dirut pasti tahu kebijakan mengenai L/C, tapi dia memang tidak menangani secara langsung,” kata Aris. Dia menjelaskan, di bawah direktur utama, masih ada direktur, kepala divisi, pimpinan wilayah, dan pimpinan cabang.



Aris menambahkan, direktur utama, hanya akan turun tangan jika pada di tingkat direktur ke bawah tidak mampu untuk mengambil keputusan. ”Yang perlu ditarik kesimpulan adalah bagimana dan di mana terjadinya penyelewengan prosedur yang sudah ada, di mana penyimpangan kebijakan baku yang sudah ada itu,” katanya.



Klarifikasi

Sementara itu kuasa hukum Wiranto, Yan Djuanda, Kamis (11/12) mengungkapkan, tersangka Eddy Santoso telah melakukan klarifikasi menyangkut keterkaitan Wiranto dalam kasus pembobolan BNI. Sebelumnya, nama Wiranto dikaitkan dengan kasus BNI melalui tulisan Eddy Santoso. Klarifikasi keterkaitan Wiranto dalam kasus ini juga dilakukan Eddy melalui surat.



Yan Djuanda menepis adanya tekanan pada Eddy untuk melakukan klarifikasi. Ia mengatakan, meski belum mencabut gugatan terhadap Eddy dan kuasa hukumnya Herman Kadir, Wiranto dikatakan Yan telah memaafkan Eddy dan menilai tindakan yang dilakukan tersangka itu sebagai kekhilafan.

”Kita sama sekali tidak memberikan tekanan pada Eddy Santoso maupun kuasa hukumnya. Saya sudah berbicara dengan Pak Wiranto, dan beliau meminta untuk dilakukan pencabutan (gugatan terhadap Herman Kadir dan Eddy Santoso),” papar Yan kepada wartawan.



Klarifikasi itu sendiri dilakukan tanpa kehadiran Eddy Santoso. Herman Kadir, kuasa hukum Eddy membacakan surat pernyataan itu didampingi kuasa hukumnya, Zul Amali Pasaribu. Pihak Herman Kadir, selain itu juga meminta agar Wiranto memaafkan dan mencabut gugatannya atas dirinya dan kliennya atas kasus pencemaran nama baik.



Di surat itu, Eddy menegaskan bahwa ia tidak pernah memberikan pernyataan yang menyebutkan Wiranto menerima dana hasil pembobolan bank BNI. Ia membantah pula keterangannya terdahulu bahwa salah satu capres dari Partai Golkar itu pernah menjanjikan jabatan pada bank yang sama. Dengan klarifikasi itu, tersangka dan kuasa hukumnya meminta permasalahan antar mereka dengan Wiranto selesai.



Sebelumnya, Wiranto membantah dirinya terlibat langsung atau tidak langsung dengan para tersangka kasus pembobolan Bank BNI senilai Rp 1,7 triliun. Namun, tidak tertutup kemungkinan bahwa yang bersangkutan pernah bertemu dengan sebagian dari mereka dan tidak terkait sama sekali dengan kasus itu. (rik/yud/sam)



http://www.sinarharapan.co.id/berita/0312/12/sh03.html



Read More...

DPR: Meneg BUMN Jangan Lepas Tanggungjawab

Kasus BNI



Jakarta, 5 November 2003 16:14

Ketua Subkomisi Perbankan pada Komisi IX DPR RI Antony Z Abidin menyatakan, Meneg BUMN Laksamana Sukardi tidak bisa begitu saja lepas tanggung jawab dalam kasus pembobolan dana Rp 1,7 triliun dari Bank BNI Cabang Kebayoran Baru Jakarta Selatan, karena kasus itu menunjukkan lemahnya pengawasan yang menjadi tanggung jawab Meneg BUMN.



“Memecat orang itu bukan langkah benar. Yang terpenting adalah dia merasa bersalah atau tidak dalam kasus ini,” katanya di Jakarta, Rabu.



Dia mengatakan, Laksamana harus introspeksi diri apakah telah menjalankan tugasnya secara baik atau belum terutama dalam melakukan pengawasan terhadap BUMN-BUMN. Mengingat lingkup kerjanya adalah membenahi dan mengawasi BUMN, maka kasus BNI tersebut merupakan kegagalan Laksamana menjalankan tugas pengawasan.



“Kasus ini tidak selesai hanya dengan memecat orang. Seenaknya saja memecat orang, itu langkah keliru. Mestinya Laksamana juga mundur seperti terjadi di masyarakat yang berbudaya tinggi seperti di Jepang,” katanya.



Dia menilai, Laks mengetahui gagal dalam melakukan pengawasan sehingga BNI sebagai BUMN yang menjadi tangggung jawabnya bobol Rp 1,7 triliun. “Mestinya dia merasa malu ada BUMN yang kebobolan uang rakyat sebesar itu,” katanya.



Selain Laks, kata Antony, mestinya Dirut BNI Saefuddin Hassan juga mengundurkan diri karena malu kepada publik.



Mengenai siapa yang paling bertanggungjawab dalam kasus BNI, anggota Fraksi partai Golkar (FPG) DPR dari daerah pemilihan Jambi ini menjelaskan, kasus itu telah dipertanyakan Subkomisi Perbankan Komisi IX DPR kepada direksi BNI beberapa waktu lalu. Yang pertama ditanyakan adalah mekanisme pengawasan dan prosedur di BNI.



“Mereka menjelaskan tapi tidak memuaskan. Banyak keganjilan yang disampaikan, misalnya, LC digunakan untuk mengimpor pasir kuarsa. Padahal kita nggak perlu impor pasir itu,” katanya.



Komisi IX telah mempertanyakan mengapa kasus ini baru terungkap padahal kasusnya menyangkut uang senilai Rp 1,7 triliun. Setelah ditelusuri diduga ada unsur KKN sehingga transaksi sebesar itu tidak terkuak dalam waktu singkat, antara lain karena Kepala Cabang BNI Kebayoran Baru Jakarta Selatan merupakan saudara dekat salah satu pengawas di Kantor Pusat BNI.



Karena itu, buku panduan standar pengawasan yang ada tidak dijalankan. “Selain Meneg BUMN, Komisi IX meminta pertanggungjawaban direksi dan komisaris mengapa uang sebesar itu bisa hilang,” katanya.



Namun tidak seorang pun pejabat terkait kasus ini mau bertanggungjawab. karena itu, sejumlah anggota Komisi IX menjadi emosional menanggapi kasus itu. “Ada uang sebesar itu dimaling kok tidak diketahui dan tidak ada yang mau bertanggungjawab,” katanya.



Antony mengatakan, di semua bank ada mekanisme pengawasan internal yang namanya Satuan Kerja Audit Internal (SPAI) sehingga dengan adanya kasus ini maka pertanyakan apakah laporan SKAI itu dibaca atau tidak. Kemungkinan kalaupun ada laporan mengenai transaksi di BNI Kebayoran Baru itu, namun tidak dicermati.



Selain SKAI, di bank ada ada direktur kepatutan yang bertugas mengecek apakah transasksi sesuai UU dan rambu-rambu Bank Indonesia. Dalam kaitan ini, mestinya direktur ini tahu karena punya banyak staf dan punya mekanisme pengawasan. Di atas direksi ada komisaris yang bertanggungjawab terhadap semua resiko yang bisa merugikan bank. Komisaris berhak kapan saja bisa mendatangi semua lini



“Persoalannya komisaris bekerja sesuai ketentuan atau nggak,” katanya dan menambahkan Meneg BUMN juga punya orang yang mengurusi masalah bank karena itu dipertanyakan apakah orang itu bekerja baik atau tidak.



“Kalau dilihat dari kasus ini Meneng BUMN dan jajarannya tidak bekerja baik menjalankan tugasnya. karena itu, dia juga harus bertanggungjawab. Apa tanggung jawabnya. Kalau dikatakan mau memecat orang yang terlibat kasus itu; enak saja mau memecat orang,” katanya.



Antony mengatakan, kasus ini menunjukkan bukti bahwa di BNI memang banyak ketidakberesan. Bank Shinta pernah melakukan transfer dari BNI Kebayoran Baru senilai Rp 70 miliar dan BPD Bali mentransfer senilai Rp 270 miliar. “Nangislah bank-bank kecil itu karena Kantor Pusat BNI tidak mengakui transfer bank ini. BI kemudian menekan BNI sehingga dibayar,” katanya.



Komisi IX meminta agar uang itu dikembalikan. “Kalau Dirut BNI menyatakan bilang optimis, bagaimana mau dikembalikan malingnya ini pasti profesional. Malingnya sudah siapkan langkah melarikan diri. Tidak mengembalikan uang itu semua,” katanya. [Tma, Ant]



http://www.gatra.com/2003-11-05/artikel.php?id=32065

Read More...

Bank Dunia: Usut Tuntas Skandal Bank

Ekonomi Bisnis

09 Desember 2003



TEMPO Interaktif, Jakarta:Bank Dunia mendukung kemungkinan dibentuknya panitia khusus oleh Dewan Perwakilan Rakyat untuk menyelidiki skandal pembobolan PT Bank Negara Indonesia Tbk. (BNI) dan PT Bank Rakyat Indonesia Tbk. (BRI).



“Indonesia memang memerlukan (pansus) itu,” kata Ekonom Utama Bank Dunia untuk Indonesia Bert Hofman kepada Tempo News Room seusai acara pemaparan kondisi makroekonomi Indonesia 2003-2004 di Jakarta kemarin.



Menurut dia, salah satu upaya yang efektif dalam mengatasi permasalahan perbankan adalah dengan menciptakan keterbukaan yang lebih baik di Indonesia, agar ada fungsi kontrol terhadap segala hal.



“Dalam kasus BNI dan BRI kita bisa melihat bagaimana peran media membongkar kasus itu,” ujarnya. “Selanjutnya, tentu dibutuhkan peranan dari berbagai pihak, termasuk politikus.”



Hofman juga menyatakan, Bank Dunia prihatin dengan kasus yang menimpa kedua bank milik pemerintah ini. Karena itu, sudah selayaknya Bank Indonesia sebagai pengawas perbankan nasional dan pemerintah sebagai pemilik bank, mengambil tindakan. “Kita tinggal lihat dan tunggu (hasilnya),” katanya.



Di sisi lain, Bank Dunia dalam laporannya yang berjudul “Beyond Macroeconomic Stability” menyatakan perlunya langkah proaktif untuk meningkatkan sistem kontrol internal perbankan, terutama di bank pemerintah.



Langkah ini penting karena terbukti masih ada kesempatan bagi pegawai bank untuk melakukan kolusi dengan pihak ketiga. Persoalan ini, perlu diselesaikan sebab, kata Hofman, “Bisa menimbulkan keraguan apakah kasus ini menjadi problem satu bank atau menjangkiti perbankan Indonesia.”



Seperti diketahui, BNI telah kebobolan dana senilai Rp 1,7 triliun lewat pencairan wesel ekspor berjangka fiktif. Sementara itu, BRI baru-baru ini juga telah melaporkan telah kebobolan dana hampir Rp 300 miliar. Aksi pembobolan di kedua bank pelat merah itu dilakukan sejumlah pengusaha dengan melibatkan “orang dalam”.



Kemarin, Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta menahan dua tersangka pembobol BRI, yakni direktur dan komisaris PT Delta Makmur Eksperindo Yudi Kartolo dan Hartono. Hal ini diungkapkan oleh juru bicara Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta Haryono melalui telepon, Senin (8/12) malam.



Sampai tadi malam, Yudi dan Hartono masih menjalani pemeriksaan. “Rencananya, keduanya akan ditahan di Rutan Salemba cabang Jakarta Selatan,” kata Haryoto. Keduanya akan dituntut dengan Undang-Undang Antikorupsi. Mereka didakwa melakukan kejahatan bekerja sama dengan orang dalam BRI, yakni Kepala Cabang Atrium Senen, Kepala Cabang Pembantu Surya Kencana Bogor, dan Kepala Cabang Pembantu Tanah Abang.



Sementara itu, kemarin Komisi Perbankan DPR melakukan rapat dengar pendapat dengan manajemen BRI dan BNI. Dari sejumlah anggota Dewan terlontar keinginan untuk membentuk pansus atau panitia kerja untuk mengungkap skandal pembobolan bank ini.



Wakil Ketua Komisi Perbankan Faisal Baasyir termasuk yang mengusulkan soal itu. Usulan serupa juga datang dari Rizal Djalil dari Fraksi Reformasi, serta Dudhie Makmun Murod dan Max Moein dari Fraksi PDI Perjuangan.



Menurut Faisal, kasus ini bisa merusak kembali kepercayaan masyarakat terhadap perbankan. Padahal, katanya kepada pers seusai rapat dengar pendapat, “Perbaikan perbankan sudah memakan biaya yang tinggi.”



Atas dasar itu, kata dia, tengah dipertimbangkan pembentukan pansus atau panja. Namun, keputusan tentang hal ini baru akan diambil dalam rapat internal komisi setelah rapat lanjutan dengan manajemen BNI dan BRI besok.



Direktur Utama BNI Saifuddien Hasan dalam rapat dengar pendapat menjelaskan, dana yang sudah bisa diperoleh kembali senilai Rp 1,046 triliun atau 65 persen dari total dana yang dibobol (Rp 1,7 triliun). Yang masih diupayakan pengembaliannya senilai Rp 433 miliar.



Secara terpisah, Gubernur BI Burhanuddin Abdullah mengatakan, bank sentral akan memperketat pengawasan terhadap semua bank, terutama bank pemerintah. “Kami akan memakai semua kemungkinan untuk mengawasi semua bank,” katanya.



Ia menambahkan, BI juga akan meningkatkan pengawasan terhadap bank-bank besar yang kerusakannya bisa berdampak secara nasional.



Amal Ihsan/Budi Riza/Fitri Oktarini/Yandhrie/Sita - Tempo News Room



http://www.tempointeractive.com/hg/ekbis/2003/12/09/brk,20031209-11,id.html

Read More...

Dalang Pembobol BNI Ditangkap

SUARA PEMBARUAN DAILY



JAKARTA - Adrian Herling Waworuntu (53), pemilik PT Gramarindo yang diduga aktor intelektual skandal pembobolan L/C BNI senilai Rp 1,7 triliun, akhirnya ditangkap tanpa perlawanan di sebuah lokasi di Jakarta, Selasa (18/11) malam.



Kepala Bidang Penerangan Umum (Kabibpenum) Kombes Pol Zainuri Lubis membenarkan adanya penangkapan Adrian di Jakarta. Zainuri belum bersedia menyebutkan lokasi ditangkapnya pelaku penting kasus BNI itu.



“Penangkapan Adrian berkat informasi warga, kemudian berhasil dikembangkan petugas di lapangan. Sampai saat ini, yang bersangkutan masih dalam pemeriksaan intensif tim penyidik Bareskrim,” kata Zainuri kepada Pembaruan, Rabu (19/11) pagi.



Sebelum ditangkap, Adrian sempat masuk Daftar Pencarian Orang (DPO) karena sudah beberapa kali mendapat surat panggilan polisi untuk pemeriksaan, tetapi ia tidak pernah hadir. Bahkan polisi sempat minta bantuan Interpol untuk menangkap Adrian.



Sebenarnya, tempat persembunyian Adrian sudah lama diketahui pihak polisi. Namun untuk menangkapnya bukan pekerjaan mudah karena Adrian selalu dalam pengawalan ketat pengawalnya.



Mabes Polri kini juga terus memfokuskan untuk bisa menangkap dalang pembobol BNI lainnya, Maria Pauliene Lumowa yang juga Direktur PT Gramarindo Mega Indonesia. Maria disebut-sebut masih bersembunyi di Indonesia.



Menjawab soal pernyataan tertulis mantan kepala pelayanan nasabah luar negeri BNI cabang Kebayoran Baru, Edi Santoso bahwa Adrian sempat menjadi perantara pertemuan Edi dan sejumlah tersangka kasus BNI lainnya dengan mantan Panglima TNI Jenderal (purn) Wiranto, Zainuri mengatakan, sejak awal pemeriksaan, Edi Santoso tidak pernah mengungkapkan hal itu.



Bertemu Wiranto



Sementara itu, dalam pengakuan yang ia tulis dengan tangan, Edi mengakui dirinya bersama lima tersangka kasus pembobolan L/C Bank BNI cabang Kebayoran Baru sebelum menjalani pemeriksaan oleh penyidik Mabes Polri, dua kali bertemu dengan Wiranto di Jakarta.



Pertemuan para tersangka skandal BNI itu diprakarsai oleh Adrian Herling Waworuntu yang juga Direktur PT Sindho Group. Edi bertemu dengan Wiranto pertama pada akhir Maret 2003 atas ajakan Adrian di sebuah tempat di Jalan Talang Betutu, Jakarta Pusat.



Pertemuan kedua Edi bersama Wiranto beserta enam tersangka lainnya, terjadi pada April 2003 di daerah Kemang, Jakarta Selatan. Pertemuan kedua ini dihadiri antara lain, Direktur PT Tri Ranu Caraka Jeffry Baso, Direktur PT Gramarindo Mega Indonesia Olllah Abdullah Agam, Direktur PT Gramarindo Group, Maria Pauliene Lumowa, Edwin Sukowati, dan beberapa Ketua Partai politik dan pengusaha. Topik pembicaraan soal rencana Wiranto sebagai calon presiden (capres) tahun 2004. Edi telah meminta kepada tim pengacaranya untuk dapat memasukkan surat tersebut ke dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) kasusnya.



Menurut Edi, dirinya juga sempat dipertemukan Adrian dengan Menteri Pertanian Bungaran Saragih, di ruang VIP Bandara Soekarno-Hatta pada awal Maret 2003 dengan agenda pertemuan membahas rencana bisnis dan pengembangannya. Edi diperperkenalkan sebagai banker.



Untuk pertemuan dengan Wiranto, kata Edi, membahas soal kesiapan calon presiden (capres). Guna lancarnya persiapan capres maka Adrian dan Maria menyatakan siap menggalang penghimpunan dana mendukung pencalonan capres tersebut.



Adrian, Pauliene dan Jeffry juga beberapa kali menceritakan kepada Edi tentang hubungan mereka dengan Ibu Megawati, Bapak Taufik Kiemas, Menhub (Bpk Agum) Menperindag Rini MS Soewandi, Kepala BIN Hendro Priyono, Gubernur BI dan sejumlah anggota komisi di DPR.



Bahkan Edi akan disponsori oleh Adrian dan Maria untuk menjadi Direktur BNI. Edi menilai, para pengusaha tersebut mengenal baik para pejabat yang ia sebutkan di atas. Sehingga tidak mungkin mereka akan mengorbankan reputasinya untuk tujuan negatif, menjerumuskan atau menjebak Edi dan teman-temannya di kantor BNI.



Dari Malang, Jawa Timur, Wiranto membantah kenal dengan Edi Santoso “Saya sama sekali tidak tahu-menahu tentang pembobolan L/C BNI itu, apalagi sampai ikut terlibat dan saya juga tidak pernah merasa kenal dengan Edi Santoso.



Kalau ada yang mengatakan saya ada kaitan dengan mereka berarti ada yang berusaha menyeret saya masuk dalam kasus BNI ini, tapi nyatanya saya tidak terlibat,” kata Wiranto usai bertemu dengan Ketua Umum PBNU, Hasyim Muzadi di Pesantren Mahasiswa Al-Hikam, Malang, Selasa (18/11)malam.



Wiranto juga membantah dirinya pernah melakukan pertemuan secara khusus sebanyak dua kali di Jalan Talang Betutu maupun di Kemang dengan Edi Santoso maupun pihak lain yang berkaitan dengan L/C BNI. Apa pertemuan tersebut untuk penggalangan dana dalam rangka menyukseskan kampanye dirinya sebagai Presiden RI periode 2004-2009.



Ia juga membantah bahwa aliran dana untuk menyukseskan kampanye pencalonannya sebagai presiden selain dari LC BNI fiktif tersebut melalui penjualan rumah Tito Sulistio (tim sukses Wiranto). (G-5/Ant)



Salinan dari Pengakuan Tertulis Edi Santoso



Selama saya menangani transaksinya PT Gramarindo Group, saya diperkenalkan dengan pejabat dan mantan pejabat sebagai berikut.



Pada awal Maret 2003 Bapak Adrian Woworuntu mengenalkan saya dengan Menteri Pertanian Bapak Bungaran Saragih di Loby VIP Bandara Soekarno-Hatta Cengkareng. Pada pertemuan tersebut Bapak Adrian Waworuntu memaparkan bisnisnya dan rencana pengembangannya, dan mengenalkan saya sebagai bankernya.



Pada akhir Maret 2003 Bapak Adrian W mengenalkan saya dengan Bapak Jenderal Wiranto di kantornya Jl. Talang Betutu, Jakpus hanya perkenalan biasa.



Dalam bulan April 2003 Bp Adrian W dan Ibu Maria P mengundang saya dalam pertemuan dengan Bapak Jenderal Wiranto di daerah Kemang, bersama para pengusaha & Ketua Partai Politik kecil dengan topik pembicaraan mengenai rencana pencalonan Bapak Wiranto menyatakan siap menjadi capres tetapi tidak punya dana/modal untuk kampanye. Kemudian Bapak Adrian W dan Ibu Pauline menyatakan siap menggalang penghimpunan dana untuk mendukung pencalonan presiden tersebut. Pertemuan ini dihadiri ….Jenderal Wiranto, Adrian Waworuntu, Maria Pauline Nuwowa, Erwin Sukowati, Hari Lumowa, … Abon, Jefry Baso, dll.



Bapak Adrian W, Ibu Pauline dan Bapak Jefry Baso telah beberapa kali menceritakan kepada saya mengenai hubungan kedekatannya dengan para petinggi negara, antara lain Bapak Taufik Kiemas dan Ibu Megawati, Menhub ( Bapak Agum Gumelar), Menperindag (Ibu Rini Soewandi), Kabakin (Bapak Indropriyono), Bapak Kapolri (dicoret, lalu diganti Petinggi-petinggi Polri), Gubernur BI dan beberapa Komisi di DPR RI, dan lain-lain.



Pada suatu saat Bapak Adrian W dan Ibu Pauline, menyatakan kepada saya bahwa yang bersangkutan akan mensponsori saya agar dapat menjadi direktur BNI di kemudian hari.



Hal-hal di atas menurut hemat saya, yang bersangkutan benar-benar mengenal pejabat-pejabat dimaksud, dan menunjukkan bahwa reputasi yang bersangkutan sangat baik. Dalam benak saya menyatakan bahwa tidak mungkin yang bersangkutan akan mempertaruhkan reputasinya untuk tujuan-tujuan yang negatif dan menjerumuskan saya dan teman-teman di kantor saya, serta menjebak saya ke hal-hal yang saya alami sekarang.



Bukti-bukti di atas, langsung maupun tidak langsung mempunyai dampak psikologis terhadap cara kerja saya dalam menangani transaksi ekspor yang bersangkutan. Atau reputasi yang bersangkutan ternyata bertolak belakang dari yang saya perkirakan sebelumnya. u



Last modified: 19/11/03

http://www.suarapembaruan.com/News/2003/11/19/index.html

Read More...

IMPIAN TAKARI, MENGUASAI PASAR MARMER DUNIA

December 18, 2003 - Pertambangan

tampilannya, marmer yang ditambang dari Fatum Nutu, Kabupaten Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur, tidak diragukan lagi. Mutunya sangat baik dan dicari konsumen dunia. Bahkan, dari segi mutu itu pula, marmer Fatum Nutu bisa mengalahkan produk marmer yang dihasilkan di Carrara, Italia.



Dilukiskan dengan kata yang tepat. Namun, variabel yang menunjukkan bahwa marmer itu bermutu hanya dilihat dari corak, motif, urat, dan warna. Unsur-unsur itu pun terjadi karena proses alami, bukan hasil formasi mesin-mesin industri. Dari warna, misalnya, selain abu-abu bercampur putih, warna merah juga menggurat.



Tidak hanya itu, kalaupun ditambang terus-menerus, depositnya tidak akan habis dalam tempo 100 tahun ke depan. Tidak hanya di Fatum Nutu, dua lokasi lain di Kabupaten Kupang, yakni di Fatu Fliu dan Fatu Anaus, pun memberikan prospek yang sama dalam soal mutu dan deposit atau kandungannya.



Menurut penelitian, seluruh kandungan marmer di Pulau Timor memiliki tingkat mutu yang sama dan dipastikan dapat mengalahkan marmer kelas dunia yang selama ini dihasilkan Carrara. Inilah yang menarik PT Sagared Team Jakarta membangun pabrik di Takari, 75 kilometer dari Kupang, Maret 2003.



Didin Setiawan, Manajer Cabang Sagared Kupang, menjelaskan, investasi perusahaan itu kini telah lebih dari Rp 55 miliar, untuk operasional penambangan dan pembangunan empat buah pabrik. Realisasi fisik empat pabrik sekitar 85 persen dan satu pabrik di antaranya telah dilengkapi mesin yang perakitannya sudah 90 persen.



Tiga pabrik lain dijadwalkan pada tahun 2004 sudah terisi mesin. Biaya pembangunan empat pabrik serta pengadaan mesin pengolah bisa mencapai Rp 100 miliar. Sebab, biaya pembangunan empat pabrik saja mencapai Rp 21 miliar dan pengadaan mesin hingga pemasangannya sekitar Rp 15 miliar hingga Rp 20 miliar per unit.



“Namun, sampai saat ini nilai investasi yang sudah terealisasi sekitar Rp 55 miliar, terdiri atas empat bangunan pabrik Rp 21 miliar dan pengadaan serta pemasangan satu mesin pada salah satu pabrik sekitar Rp 35 miliar. Total investasi untuk empat pabrik dengan empat mesin bisa Rp 100 miliar,” kata Didin.



Mesin yang sudah terpasang dirakit dalam dua lines, yakni slab lines khusus mengolah marmer ukuran besar atau marmer block dan tile lines untuk ukuran sesuai selera atau permintaan pasar (konsumen). Dari Takari, marmer akan dipasarkan ke seluruh dunia melalui Pelabuhan Tenau, Kupang, atau Surabaya, dan Jakarta.



Dari segi penyerapan tenaga kerja, saat ini sudah 125 operator direkrut. Total kebutuhan tenaga kerja untuk setiap pabrik minimal 300 pekerja (operator) atau untuk empat pabrik akan menyerap sedikitnya 1.200 operator. Jumlah itu belum termasuk karyawan dan buruh yang akan bekerja di lokasi penambangan.



Tenaga kerja yang dibutuhkan itu cukup banyak dan akan jauh lebih banyak lagi jika rencana Sagared Team untuk menambah pabrik menjadi tujuh unit, seperti yang sudah direncanakan sebagai paket pembangunan tahap pertama. Total pabrik yang akan dibangun seluruhnya, kata Didin, mencapai 20 unit.



Jumlah pabrik sebanyak itu sungguh sangat besar untuk ukuran di Indonesia jika dibandingkan dengan di Trenggalek dan Tulungagung, Jawa Timur. Dengan merealisasikan pembangunan tujuh pabrik saja, Sagared Team dilaporkan akan menjadi salah satu penambang dan industrialis marmer terbesar di Asia Tenggara.



Didin yang juga Direktur Teknik dan Produksi di kantor pusat PT Sagared Team di Jakarta itu menuturkan keyakinannya akan manfaat investasi marmer di Takari. Dia optimistis, dalam tempo satu tahun atau paling lama dua tahun, usaha penambangan dan pabrik marmer itu bisa mencapai break even point (BEP).



“Optimisme itu didasarkan atas kalkulasi pasar. Kami sudah mengamati pasar dunia dan ternyata mutu marmer kita sangat digandrungi dunia, memiliki strong marketable. Mutunya, sekali lagi, bisa mengalahkan mutu marmer yang pernah ada di dunia, seperti yang dihasilkan Italia,” katanya.



Kini Sagared Team sudah menambang 1.000 meter kubik marmer dalam bentuk block dari Bukit Fatum Nutu di Timor Tengah Selatan (TTS). Sebagian di antaranya sudah diangkut ke lokasi pabrik di Takari dan siap masuk ke mesin pengolah. Sebanyak 125 operator disiapkan di sini, belum termasuk buruh di lokasi tambang.



SAYANG seribu kali sayang, ketika pembangunan prasarana dan sarana pabrik di Takari hampir 100 persen, Sagared Team diguncang skandal pembobolan Bank BNI sebesar Rp 1,7 triliun. Maria Pauliene Lumowa alias Ny Erry yang dituduh menjadi otak pembobol bank tersebut adalah pemilik Sagared Team.



Aliran dana ke Sagared Team Kupang dilaporkan terhenti karena dana di bank diblokir jajaran kepolisian. Pengadaan tiga mesin tambahan untuk mengisi tiga buah pabrik tersisa yang sudah dijadwal menjadi tidak pasti. Kegiatan penambangan di Fatum Nutu dan instalasi mesin di salah satu pabrik pun terhenti.



Empat orang Italia, tiga di antaranya bagian instalasi mesin, yakni Paulo, Alcide, dan Ivan Gianeti, serta Piola Severino dari bagian produksi dipulangkan ke negaranya. Mereka pun siap kembali jika sewaktu-waktu dibutuhkan manajemen Sagared Team untuk mendukung kegiatan di Takari.



Didin mengakui, skandal itu berpengaruh langsung terhadap usaha penambangan dan pembangunan pabrik marmer di Takari. Ratusan operator yang selama ini sudah menjalankan tugas utamanya terpaksa dialihkan ke kegiatan lain, seperti perawatan mesin, pembersihan saluran air, dan lokasi lain di pabrik.



Meski demikian, katanya, pihaknya masih terus menggaji karyawannya dan tidak ada pemutusan hubungan kerja. Akan tetapi, dia sendiri tidak bisa meramal sampai kapan kebijakan itu berlangsung. “Kami di sini mengharapkan agar manajemen tetap melanjutkan kegiatan di Takari sebab investasi sudah besar,” kata Didin.



Ketika ditanya apakah rencana untuk pengadaan tiga mesin serta pembangunan tiga pabrik lagi untuk memenuhi rencana awal membangun tujuh pabrik terancam macet, Didin tidak bisa menjawab pasti. Dia mengatakan, “Kami berharap pabrik ini dapat berjalan sesuai rencana.”



Dia mengakui, seluruh operator dan karyawan di Kupang kini harap-harap cemas, penuh rasa khawatir. Meski demikian, mereka tetap menjalankan pekerjaan administratif, seperti yang juga disaksikan Kompas di Kantor Perwakilan Sagared Team di Jalan WJ Lalamentik, Kupang.



Irenius Lalu Wiu, karyawan Sagared Team Kupang, juga mengungkapkan, dia dan rekan-rekan karyawan lain serta para operator di lokasi pabrik di Takari berharap perusahaan itu tidak ditutup. Meski ada guncangan akibat tuduhan pembobolan Bank BNI oleh atasannya, kiranya perusahaan bijaksana mengambil keputusan.



Kepala Dinas Pertambangan dan Energi Nusa Tenggara Timur (NTT) Ir Benny R Ndoenboey mengatakan, investasi pertambangan membutuhkan struktur kapital yang kuat dan solid. Dia tidak yakin Sagared Team berhasil melanjutkan usahanya karena struktur dananya goyah oleh skandal pembobolan Bank BNI.



Ndoenboey menjelaskan, masuknya investasi di bidang pertambangan di NTT, seperti yang dilakukan Sagared Team, sebenarnya merupakan langkah awal bagi tumbuhnya investasi di sini. Potensi tambang industri di NTT sangat besar, tetapi membutuhkan investor dengan struktur modal kuat.



Marmer atau pualam terbentuk dari batu gamping atau dolomit dengan sifat fisik keras, padat, dan berwarna putih, merah, hijau, atau hitam. Biasanya digunakan untuk dinding bangunan serta lantai dan ornamen lainnya. Lokasi marmer di Pulau Timor tersebar di Kupang, TTS, Timor Tengah Utara, dan Belu.



Ndoenboey mengatakan, sebenarnya potensi marmer tersebar di seluruh daratan Pulau Timor, termasuk hingga Timor Timur. Di Pulau Flores, potensi marmer tersebar di wilayah Kabupaten Ngada dan Manggarai. Cadangan atau deposit marmer di dua pulau tersebut seluruhnya sekitar 3,5 triliun meter kubik.



Sumber : Kompas, 18 Desember 2003



http://www2.kompas.com/utama/

Read More...

ICW: ASSET MARIA PAULIENE ” BODONG “

Jakarta, Kompas - Perusahaan marmer PT Sagared Team (juga disebut PT Sagared Pertiwi) milik Ny Maria Pauliene Lumowa, tersangka utama kasus pembobolan Bank Negara Indonesia senilai Rp 1,7 triliun lewat modus surat kredit palsu, terbukti merupakan aset bodong.



Nilai aset perusahaan yang berlokasi di Kupang, Nusa Tenggara Timur, itu sangat jauh berada di bawah nilai yang disebut-sebut Maria, yang mencapai 700 juta dollar AS.



Demikian hasil investigasi Indonesia Corruption Watch (ICW) langsung ke lokasi PT Sagared beberapa hari lalu, sebagaimana disampaikan Koordinator ICW Teten Masduki kepada pers, Rabu (14/1) di Jakarta.



Karena aset PT Sagared merupakan aset bodong yang nilainya sangat jauh berada di bawah angka yang disebutkan Maria, ICW sepenuhnya merekomendasikan kepada kepolisian, kejaksaan, dan Bank Negara Indonesia (Bank BNI) agar kasus pembobolan Bank BNI oleh Maria dan kawan-kawan tidak diselesaikan melalui assets settlement (penyelesaian kewajiban melalui penyerahan aset), tetapi harus melalui cash settlement (penyelesaian dengan membayar tunai) dan gijzeling (hukuman paksa badan).



“Melihat perkembangan saat ini, saya khawatir penyelesaian kasus pembobolan Bank BNI ini mengarah ke assets settlement. Aset milik para pelaku itu di-mark up (nilainya digelembungkan), lalu dianggap sudah mencukupi untuk mengganti L/C Rp 1,7 triliun yang mereka bobol,” kata Teten.



Jika benar kepolisian berniat menyelesaikan masalah melalui assets settlement, Teten memastikan, dengan alasan aset sudah diserahkan, para pembobol Bank BNI dibebaskan atau hanya menerima hukuman ringan.



“Akhirnya, Bank BNI yang harus mengurus aset busuk itu, soal tenaga kerjanya, soal beban dan utang aset itu, dan sebagainya. Bank BNI nantinya harus mengurusi pabrik marmer, kapal, dan sebagainya, berikut segala beban aset-aset tersebut, padahal bisnis inti Bank BNI adalah perbankan. Ingat saja kasus BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia),” katanya.



Tak bisa dipercaya



Untuk menjaga citra kepolisian dan kejaksaan, kata Teten, seharusnya penyelesaian kasus pembobolan Bank BNI yang digunakan adalah cash settlement. “Jika memakai assets settlement, proses di kepolisian dan kejaksaan tidak bisa dipercaya. Membentuk tim independen untuk mengaudit aset tersebut juga tidak akan berguna karena tim seperti itu tidak bisa dipercaya. Satu-satunya jalan, para pelaku harus mengembalikan dana Bank BNI secara tunai. Kalau mereka tidak sanggup, pakai mekanisme gijzeling,” papar Teten.



Dengan assets settlement, lanjut Teten, besar sekali peluang berbagai pihak untuk melakukan mark up. Di samping itu, assets settlement tidak akan membuat jera para pembobol Bank BNI karena mereka bisa bekerja sama dengan aparat penegak hukum.



Menurut Maria dalam wawancaranya dengan Kompas di Singapura bulan lalu, sebagai buntut dari kasus pembobolan Bank BNI yang dilakukan dia dan rekan-rekannya, PT Sagared kini telah disita. Maria mengklaim perusahaan marmernya itu beroperasi sejak 1997, telah mengantongi izin menambang marmer dan telah memotong 200 blok dari tujuh gunung, serta memiliki aset sekitar 700 juta dollar AS (setara Rp 5,6 triliun).



PT Sagared merupakan “aset utama” yang diajukan Maria sebagai bagian penyelesaian kasus pembobolan Bank BNI.



Direktur Utama BNI Sigit Pramono, ketika diminta komentarnya mengenai temuan ICW tersebut, mengatakan, itulah sebabnya dari awal ia tidak mau memublikasikan terlebih dahulu nilai pengembalian yang sudah berhasil diikat karena sangat mungkin tiba-tiba nilai asetnya tidak seperti yang diserahkan. “Itu kan menjadi berat bagi para penyidik.”



Dari pihak bank sendiri, yang dilakukan jika ada kasus seperti ini adalah mengikat aset apa pun yang bisa diikat terlebih dahulu. “Kalau ternyata bodong dan kurang, ya kami kejar terus,” kata Sigit.



Tanpa izin



Hasil investigasi ICW ke lokasi PT Sagared menunjukkan, status lahan dari gunung-gunung batu yang dimaksud Maria tidak jelas dan PT Sagared hanya melakukan eksplorasi (pengambilan sampel) untuk mengukur kadar dan kualitas kandungan marmer di gunung-gunung itu.



Eksplorasi itu pun kini terhenti. Karena status lahan gunung-gunung batu itu tidak jelas, menurut ICW, juga tidak ada izin menambang yang dikantongi PT Sagared.



“Menurut data yang dikeluarkan PT Sagared, hanya gunung batu di Desa Ohaem yang sudah ditaksir cadangan depositnya, yaitu sekitar 40,6 juta meter kubik. Tidak ada data mengenai gunung-gunung lainnya,” kata Teten.



Dari hasil pemantauan di pabrik PT Sagared di Kupang, ICW menyebutkan tidak ada kegiatan produksi apa pun di pabrik yang dibangun di atas areal 53,1 hektar tersebut.



“Tidak ada karyawan yang bekerja, tidak ada mesin pabrik yang beroperasi. Bangunan pabrik sepi tak berpenghuni, tidak ada kendaraan operasional yang lalu lalang, dan tidak tampak aktivitas apa pun. Yang ada hanya penjaga pintu gerbang pabrik,” ujarnya.



Tanah 53,1 hektar yang dijadikan pabrik itu adalah tanah bermasalah. Tanah tersebut milik bekas raja setempat (Mus Neno), leluhur marga Neno, Baaf, dan Matnay.



Tanah tersebut diserahkan secara sepihak oleh seorang anggota DPRD Kabupaten Kupang kepada PT Sagared (tanpa melalui transaksi jual beli) pada saat beberapa marga menyengketakan tanah tersebut.



Komisaris Bank BNI Dradjad Wibowo menuturkan, Bank BNI akan meminta salinan hasil investigasi ICW itu dan akan mempelajarinya.



Mengenai rekomendasi ICW agar kasus pembobolan Bank BNI diselesaikan melalui cash settlement, Dradjad menyatakan sangat setuju. (fey/anv)



http://www.kompas.com/kompas-cetak/0401/15/UTAMA/803543.htm

Read More...

Maria Pauline Bantah Pernyataan ICW

15 Januari 2004



TEMPO Interaktif, Jakarta:Maria Pauline Lumowa, salah satu tersangka pembobol BNI Cabang Kebayoran Baru yang hingga saat ini masih berada di Singapura, membantah laporan Indonesia Corruption Watch (ICW) yang menyatakan bahwa aset PT Sagared Team dan Gramarindo Group berupa tambang marmer di Nusa Tenggara Timur sebagai aset bodong.



Hal ini dikatakan pngacara Maria, Asfifudin. Ia mengaku menghubungi Maria di Singapura setelah membaca berita tersebut. “Saya kaget (setelah mendengar berita itu) lalu mengontak Maria,” katanya kepada wartawan di Mabes Polri, Kamis (15/1) siang.



Asfifudin saat ini tengah menghadap penyidik yang menangani kasus tersebut untuk melakukan cek silang cross check mengenai aset-aset Maria yang telah disita atau diserahkan ke polisi.



Asfifudin menegaskan bahwa pernyataan ICW tersebut telah melangkahi penyidikan Mabes Polri. Selain itu apa yang telah disampaikan ICW adalah berita bohong dan tidak mendasar.



Seharusnya, kata Asfifudin, ICW sebagai lembaga yang independen juga melakukan cek silang ke Mabes Polri, Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), serta ke Maria Pauline sendiri bila mengetahui ternyata aset-aset tersebut adalah bodong. “Kalau tidak, ini kan fitnah,” tandasnya.



Asfifudin mengancam akan melaporkan tindakan ICW tersebut ke polisi karena telah merugikan nama baik kliennya. “Kalau memang asetnya bodong, untuk apa Maria menginvestasikan Rp 90 miliar ke tujuh gunung itu,” katanya.



Sejauh ini, polisi telah menyita beberapa aset dan rekening milik Maria senilai Rp 100 miliar. Bahkan, menurut Asfifudin, rekening Gramarindo Grup senilai US$ 15 juta juga telah diblokir.



Sedangkan mengenai pertanggungjawaban Maria sendiri, Asfifudin menyatakan bahwa kliennya bersedia untuk bertanggung jawab asalkan BNI kembali mengaudit seberapa besar utang-utangnya.



Alasannya, karena dia mengaku hanya menerima sebesar US$ 40 juta dan bukannya Rp 1,7 triliun. “Dia tidak mau mempertanggungjawabkan kerugian yang disebabkan oleh pihak lain,” kata Asfifudin.



Sita Planasari A - Tempo News Room



http://www.tempointeractive.com/hg/nasional/2004/01/15/brk,20040115-23,id.html

Read More...

Maria Pauline Lumowa: Yang Mencuri BNI Sendiri

12 Desember 2003



TEMPO Interaktif, Singapura: Maria Pauline Lumowa yang akrab dipanggil Erry, salah seorang tersangka utama pembobolan kredit Bank Negara Indonesia (BNI) senilai Rp. 1,7 trilyun, menegaskan kesiapan dirinya untuk diperiksa kepolisian Indonesia. “Saya siap jika diperiksa di sini (Singapura). Saya tidak mencuri uang rakyat Indonesia. Yang mencuri BNI sendiri,” kata Maria ketika ditemui TNR di lantai lima Hotel Marriott, Singapura, Jum’at (12/12) malam.



Maria yang mengenakan blus lengan pendek merah jambu dipadu celana panjang hitam, mengaku tertekan dan sangat takut atas pemberitaan yang sudah memojokkan dirinya. Apalagi, katanya, keberadaannya di Singapura sejak pertengahan September 2003 adalah untuk menagih hutang. “Saya menerima surat kredit senilai US$ 50 juta di Hongkong pada 18 September,” katanya.



Merasa tidak pernah melakukan penipuan, pencucian uang dan menandatangani L/C, lagi-lagi Maria meminta untuk diperiksa di Singapura saja. Sebagai penjamin dari perusahaan Gramindo, dirinya mengaku takut lantaran disebut-sebut membiayai politisi. “Saya juga ingin pulang, tapi takut karena sudah enam bulan tidak ada audit yang jelas dari BNI,” katanya mengerutkan dahinya. Untuk itu, Maria mengutus Kees DE Vries dan Leen H. Hooites, pengacaranya untuk mengajukan permohonan agar Berita Acara Pemeriksaan (BAP) dilakukan di Singapura.



Adapun Kamis (11/12) Maria sempat bertemu Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Singapura lewat pihak ketiga. Anehnya, Maria seakan tidak tahu siapa pihak ketiga yang mempertemukannya dengan pihak KBRI. Ketika ditanya, apakah pihak kepolisian yang menjadi pihak ketiga, dirinya hanya menjawab, “saya tidak tahu dan tidak mengerti. Kalau dari polisi, saya terima kasih karena saya sudah keburu takut”.



Maria juga membantah, inisiatif pertemuan datang dari dirinya. “Saya tidak pernah menghubungi KBRI. Saya yang dihubungi,” katanya. Dalam pertemuan itu, kata Maria, dirinya menegaskan kepulangannya jika sudah ada kejelasan status. Dirinya pun meminta KBRI untuk memfasilitasi pemeriksaan. “Tadinya, saya ingin pulang karena Kapolri Da’i Bachtiar sudah menjamin. Ada SMS datang ke saya: ‘Berita sudah dipolitisir dan menjadi kompleks. Kalau pulang, saya akan sulit’. Saya bingung apa yang sebenarnya terjadi?” kata Maria lagi.



Saat ini, Maria merasa sudah tidak bisa lagi berpikir normal. “Semuanya menakutkan. Yang saya takutkan adalah salahnya persepsi orang. Saya takut karena tidak pernah berurusan dengan yang beginian. Kenapa BNI tidak fair?” tanya berulang kali kepada BNI.



Faisal A - Tempo News Room



http://www.tempointeractive.com/hg/nasional/2003/12/12/brk,20031212-55,id.html

Read More...

PENGANTAR tentang KLIPING MEDIA

Kliping ini adalah suatu kumpulan pemberitaan yang dibuat oleh media massa atau situs/website dari suatu intansi pemerintah atau swasta, yang mana pada umumnya memberitakan tentang Kasus LC BNI Kebayoran baru.



Pada Intinya pemberitaan media massa tidak berimbang dan tidak mengetahui dengan sebenar-benarnya kasus LC BNI Kebayoran baru secara utuh dan benar, sehingga banyak sekali pembelokkan berita dan selalu memojokkan GRAMARINDO GROUP secara sepihak.



Sesuai dengan tugas utama dari media, yaitu menyajikan berita dengan seimbang dengan benar, rupanya tidak diperhatikan, sehingga media yang sebenarnya dapat menjadi PENGAWAL PEMBERANTASAN KORUPSI, akhirnya menjadi pengawal dari PENEGAK HUKUM KORUP….. pokoknya korupsi atau tidak yang penting sudah diadili dengan pemberitaan yang berat sebelah dan menimbulkan ” TRIAL BY PRESS”.



Akhirnya pemberantasan korupsi yang diharapkan juga dapat mengembalikan ASSET NEGARA ( RECOVERY ASSET ), tidak terjadi, karena semua pemberitaan yang tidak utuh dan berat sebelah, sehingga asset-2 yang seharusnya dapat digunakan menutup kerugian negara setelah disita, malah dihancurkan dan dihilangkan yang kemudian tidak mempunyai nilai jual lagi, karena orang jadi takut membeli asset tersebut dan juga investor yang sedang berinvestasi pada asset-2 tersebut menjadi mundur.



Pemberitaan media massa lebih cenderung kepada FITNAH, tidak berdasarkan sumber yang benar-2 akurat dan tidak melakukan cross check atas kebenaran berita, akhirnya media massa lah yang ikut memperburuk nasib bangsa ini, dengan terjadi stagnasi PEREKONOMIAN di Indonesia saat ini.



Asal uang amplop cukup, maka pemberitaan versi ” UANG AMPLOP” itu akan dimuat, jadi kesimpulannya SIAPA SIH…… YANG SEBENARNYA KORUPSI ITU…..?



Sejak awal kasus korupsi BNI ditulis pada majalah TRUST, sudah jelas banyak yang dilanggar oleh berbagai pihak, yaitu BANK, POLISI, & MEDIA MASSA, bayangkan, hasil audit internal BNI, dapat dengan mudah dibocorkan kepada MEDIA, dimana mencakup rahasia perbankan dan jelas-2 melanggar UU Perbankan bagi orang bank yang melakukannya……., jelas orang-2 bank inilah yang membocorkan secara tidak bertanggung jawab suatu rahasia perbankan, yang sebenarnya apabila tidak dibocorkan, maka recovery kerugian BNI dapat tertutup.



Karena Apa……? karena Gramarindo Group telah menanda tangani AKTE PENGAKUAN HUTANG, dimana didalamnya ada penyerahan asset-2 milik gramarindo group kepada BNI dan ada jadwal pembayaran yang harus dilakukan oleh Gramarindo group kepada BNI.



Perlu diketahui dari 117 LC yang didiskontokan ke BNI, hampir 70% dibayar oleh issuing bank, apakah ini pernah di ekspose……? hanya tinggal 37 lembar LC yang belum jatuh tempo, pada saat hal ini diledakkan atau dijadikan tindak pidana korupsi dan diberitakan oleh media massa.



Perlu diketahui bahwa 37 lembar LC tersebut belum jatuh tempo pada saat kasus ini diledakkan, dan sesuai dengan AKTE PENGAKUAN HUTANG yang ditanda tangani oleh BNI dan NASABAH, jatuh tempo pembayaran LC adalah bulan april 2004, dimana penanda tanganan APU ini juga diketahui oleh kantor pusat, bahkan tindak lanjutnya dibuat team 9, yang diketuai oleh Direktur dari Kantor pusat BNI, dimana team 9 sedang melakukan inventarisasi asset dalam rangka tindak lanjut APU, kemudian pihak internal BNI sendiri yang sok bersih dan menginginkan jabatan direktur utama BNI meledakkan kasus ini.



Inilah Indikasi kejahatan perbankan yang dilakukan BANK kepada NASABAHnya, Gramarindo Group dilaporkan kepada polisi, uang sebesar Rp 500 Milyard diblokir, kemudian ada sekitar 9 lembar LC yg jatuh tempo berturut-2, sejak agustus 2003 s/d nopember 2003, yang seharusnya dapat dibayar dari uang yang diblokir tersebut, tetapi aneh tidak dibayarkan oleh BNI, karena dikatakan uang masih tetap ada di escrow account, tetapi ternyata BNI melakukan pembohongan publik, uang tersebut tidak disimpan diescrow account, tetapi digunakan untuk membayar SBLC yang jatuh tempo bulan april 2004.



Aneh memang…. saat itu masih bulan oktober 2003, mengapa ada LC yang jatuh tempo bulan April 2004 dibayar oelh BNI dari uang hasil pemblokiran uang nasabah, padahal berdasarkan APU yang dibuat oleh notaris BNI ( biaya notaris 180 juta rupiah ), telah tercantum jadwal dan syarat-2 pembayaran LC-2 yang telah didiskontokan…… apakah publik ini tahu, apakah pernah media massa memberitakan keanehan ini…?, apakah penegak hukum tahu… keanehan-2 yang terjadi …..?, semua sudah tertutup dengan rapi oleh kolaborasi jahat yang dilakukan oleh BNI, MEDIA MASSA, PENEGAK HUKUM….. sehingga akhirnya skandal kasus BNI ini, sudah hampir 4,5 tahun tidak pernah tamat……



Mengapa tidak pernah tamat………..,? inilah Hukum TUHAN, tidak ada atau tidak pernah suatu kejahatan itu 100% sempurna, apalagi kalau sudah diniatkan untuk merekayasa….., maka semua yang awalnya rekayasa kecil, menjadi rekayasa besar demi menutup kebohongan demi kebohongan dan akhirnya memori manusia tidak mampu lagi menampungnya…… dan akhirnya kebohongan itu menjadi terbongkar sendiri dan kesulitan untuk menutupi kebohongan atau rekayasa yang dibuat ini.



Masyarakat tidak pernah tahu apa sebenarnya yang terjadi pada kasus LC BNI, …. mereka hanya tahu dari pemberitaan yang bohong dan sesat yang berakhir juga menjadi pengadilan yang sesat bagi Gramarindo group….? semua diadili dan divonis dengan asumsi-2 subyektif dari mulai polisi, jaksa, hakim, bahkan merekayasa atau memalsukan alat-alat buktipun dilakukan oleh penegak hukum, demi hanya untuk prestise atau prestasi para penegak hukum…… audzu bilah min dhalik…..



Ini fakta, bukan suara perlawanan koruptor yang tanpa bukti atau melakukan pembenaran diri, seperti yang selama ini didengung-2kan oleh para LSM yag katanya juga anti korupsi, padahal mereka-mereka lah yang membuat hancur negara ini, karena yang dibuka atau dilawan atau yang dimasukkan penjara adalah KORUPTOR PALSU, sedangkan KORUPTOR ASLINYA sedang menegakkan hukum atau sedang menjarah uang hasil korupsi dari KORUPTOR PALSU yang dikoruptor kan….HEBAT KHAN….?



SAATNYA KAMI BERBICARA…… adalah suara lirih yang berdasarkan nurani kebenaran, tetapi YAKIN dan PERCAYA bahwa ALLAH itu Maha Adil, ALLAH itu Maha Tahu, dan dengan kekuatan ALLAH inilah KEBENARAN itu AKAN MENANG dan terungkap….. Amin Ya Allah.



Setitik cahaya didalam kegelapan dan kepengapan SEL PENJARA, akan membuat TERANG nurani kebenarannya, maka dalam DOA dan USAHA….. inilah SAATNYA KAMI BERBICARA……., hukuman penjara ataupun hukuman mati bukan akhir dari segala-galanya bagi umat ALLAH yang beriman, karena didalam kematian menuju ALLAH, tidak akan pernah ditanyakan, pernahkan kamu dipenjara…? yang selalu ditanyakan Allah, adalah iman, amal manusia itu sendiri……?



SAATNYA KAMI BERBICARA…… adalah bentuk DOA dan USAHA yang coba kami lakukan sebelum kematian menjemput kami para manusia yang telah dicap KORUPTOR oleh pengadilan sesat di Indonesia tercinta ini.



Demikian harapan dan suara kami, biar ALLAH yang membuka hati para pemimpin, penegak hukum dan media massa di Indonesia ini, sehingga yang BENAR itu adalah BENAR, dan yang SALAH itu adalah SALAH, dan semoga masyarakat indonesiapun menjadi tahu, karena memang Allah berkehendak, bahwa yang dicap KORUPTOR ini, hanyalah korban permainan politik kotor dari kolaborasi jahat para politikus, penegak hukum, banker jahat dan media massa.



Dan semoga Allah mengampuni kami dan juga-2 orang yang telah mendholimi kami… AMIN…. AMIN YA ALLAH.



Read More...

MEMBONGKAR KORUPSI pada DIREKSI BNI

13-Mar-2006, 01/01/THN-06



sepandai pandai direksi Bank BNI menyimpan bangkai, bau busuknya pasti tercium juga. Pemeo klasik ini, agaknya, tak lama lagi bakal jadi kenyataan menyusul gencarnya penyidikan ”babak kedua” terhadap kasus pembobolan duit negara Rp 1,7 triliun yang terjadi di Bank BNI Cabang Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Bukan rahasia, inilah kasus – lebih dikenal dengan sebutan kasus letter of credit (L/C) BNI – yang memecahkan rekor lantaran tercatat sebagai peristiwa pembobolan bank terbesar dalam sejarah perbankan Indonesia.



Dalam ”babak pertama”, kendati penyidiknya sendiri satu per satu ikut masuk bui karena kasus suap, sejumlah tokoh memang berhasil dijebloskan ke penjara. Namun, so pasti, itu bukan akhir cerita. Maklum, dari Rp 1,7 triliun yang amblas digondol rampok, baru Rp 1 miliar yang berhasil ditarik kembali oleh negara. Yakni, duit dari kantung salah satu tersangka: Jeffrey Basso, direktur utama PT Tri Ranu Caraka Pasifik. Padahal, sesaat setelah menyidik kasus yang mulai mencuat ke permukaan pada Oktober 2003, Mabes Polri mengklaim telah mengantungi 154 nama yang ikut menerima aliran dana.



Hal lain yang mencolok dalam penyidikan ”babak pertama”, yakni terkait fakta: tidak satu pun pejabat BNI pada tingkatan divisi dan direksi di Kantor Pusat yang tersentuh tangan hukum. Itu sebabnya, pada penyidikan ”babak kedua”, fokus dan target utama justru diarahkan ke bos-bos bank pelat merah itu. Tak kurang dari Kapolri Jenderal Polisi Sutanto sudah memberi sinyal ihwal ini. ”Akan ada tersangka baru, termasuk dari kalangan Divisi Internasional Kantor Pusat,” ujar Kapolri, akhir Februari lalu.



Jenderal Sutanto pasti tidak sedang menggertak. Pasalnya, dari penelusuran Investigasi, dugaan seputar keterlibatan jajaran Divisi Internasional dan Direksi BNI memang sangat kental. Buku Pedoman dan Tata Kerja Internal BNI, misalnya, dengan terang benderang menyatakan bahwa fungsi kontrol dan pengawasan transaksi devisa adalah tanggung jawab Divisi Internasional. Kalau fungsi ini dilaksakan secara benar dan bertanggung jawab, haqul yakin, pembobolan diskonto wesel ekspor yang merugikan keuangan BNI triliunan rupiah itu masih berpeluang dicegah.



Dokumen yang diperoleh Investigasi juga menemukan indikasi kuat, direksi sudah tahu sejak jauh-jauh hari bahwa brankasnya dibobol. Ihwal ini, antara lain, terkait dengan dilakukannya penyisihan kerugian sebelum kasus L/C Gramarindo meledak. Aparat penyidik juga harus mendalami lagi fakta bahwa instrumen L/C itu ternyata otentik, karena disampaikan dengan menggunakan sistem SWIFT melalui advising bank lembaga perbankan besar di Jakarta. Sistem ini menunjuk kerja dari suatu jaringan yang dapat menciptakan instrumen perbankan lainnya, namun berpotensi mengancam industri perbankan nasional.



Modus sederhana



Sekadar mengingatkan, kasus pembobolan bank dengan modus sederhana ini berawal dari ditemukannya penggelontoran dana sebesar Rp 1,7 triliun melalui wesel ekspor berjangka kepada Grup Gramarindo dan Grup Petindo, yang dijamin dengan L/C dari bank-bank di Swiss, Kenya, dan Cook Islands.



Modusnya memang tak rumit. Dengan surat jaminan di tangan, pengusaha kedua grup itu mendatangi Kantor Cabang Utama BNI Kebayoran Baru. Mereka lalu mengajukan permohonan fasilitas L/C untuk mengekspor pasir kuarsa dan minyak residu ke Kongo dan Kenya. Belakangan diketahui, sebagian ekspor tersebut ternyata fiktif. Celakanya, tanpa pengecekan lebih jauh, BNI Kebayoran Baru langsung mengucurkan dana triliunan itu secara bertahap selama periode Juli 2002 s.d. Juli 2003.



Dari penyidikan terdahulu, sebanyak 15 orang telah dijatuhi hukuman. Selain para pengusaha hitam dari kedua grup itu, praktis hanya pejabat BNI di kantor cabang saja yang masuk bui. Mereka, antara lain, mantan Kepala Customer Service Luar Negeri BNI Kebayoran Baru Edi Santoso, yang diganjar penjara seumur hidup; mantan Kepala Cabang BNI Kebayoran Baru Kusadiyuwono, yang divonis 16 tahun; serta mantan Kepala Cabang BNI Kebayoran Baru Nirwan Ali, yang divonis delapan tahun penjara.



Sementara dari pihak swasta, hanya Adrian Herling Woworuntu, bos PT Gramarindo, yang dijatuhi hukuman seumur hidup. Selebihnya, Rudy Sutopo (dirut PT Mahesa), Ollah Agam (dirut PT Sagared Team), dan Adrian P. Lumowa (dirut PT Magnetiq Usaha Esa), masing-masing diganjar hukuman 15 tahun penjara.



Di samping yang sudah divonis, sebenarnya masih ada Maria Pauline Lumowa. Namun, sejauh ini, warga negara Belanda yang disebut-sebut sebagai otak pembobolan itu belum berhasil dimejahijaukan. Ia bahkan masih bebas berkeliaran di sejumlah negara, utamanya Singapura, yang memang tak memiliki perjanjian ekstradisi dengan Indonesia. Jeffrey Basso, tersangka yang mengembalikan duit semiliar ke kas negara, saat ini pun masih bisa makan enak dan tidur nyenyak. Masa penahanannya telah habis, sementara penyidikan belum tuntas.



Yang tak kalah nyaman, karena sama sekali belum tersentuh tangan hukum, itu tadi: para pejabat BNI di tingkat kepala divisi hingga direksi. Ini dimungkinkan, karena penyidikan ”babak pertama” kasus ini sengaja dilokalisir hanya menjerat pejabat kantor cabang saja. Kesengajaan melokalisir kasus, antara lain terekam dari pengakuan terdakwa Rudy Sutopo yang disampaikan dalam Sidang Komisi Kode Etik dan Profesi Mabes Polri.



Dalam kesaksiannya, Rudy mengaku telah dimintai dana sebesar Rp 250 juta oleh penyidik. Kalau dia oke, penyidik berjanji akan membuat skenario bahwa otak pelaku pembobolan BNI Kebayoran Baru adalah Edi Santosa. Dalam sidang yang sama, Rudy Sutopo juga mengaku sempat diancam akan ditembak penyidik. (lihat: Investigasi, Edisi Perkenalan, Februari 2006).



Kini, tim penyidik baru Mabes Polri tampaknya sudah menemukan ”roh” dari seluruh rangkaian kejahatan pembobolan BNI yang sebenarnya. Ini antara lain bercermin dari bebasnya Jeffrey Basso, yang ditahan sejak 29 Oktober 2003. Jeffrey bebas, karena polisi – yang melakukan penyidikan pada babak pertama – menyerahkan berkas perkara kepada jaksa hanya sehari menjelang masa penahanannya habis.



Dengan waktu yang dibikin mepet, jaksa tentu tak bisa mempelajari berkas tersebut, sehingga mengembalikan ke polisi. Jeffrey pun dilepas. Hal serupa terjadi pada Judi Basso dan Adrian Waworuntu. Kita tahu, kesempatan menghirup udara bebas di luar tahanan itu kemudian dimanfaatkan Adrian untuk lari ke Amerika Serikat, meski akhirnya pulang ke tanah air untuk ”menyerahkan diri”.



Tak mau kejeblos di lubang yang sama, sebagaimana dialami penyidik babak pertama, Mabes Polri kini menjalin kerja sama dengan jaksa-jaksa andal dari Gedung Bundar Kejaksaan Agung. Kedua tim aparat penegak hukum itu saling bahu-membahu. Dimulai dengan membuka berkas-berkas lama, mereka lalu menyatukannya kembali secara menyeluruh untuk mengurai kasus yang kusut masai ini. Saking seriusnya, diskusi tim acap dilakukan hingga larut malam. ”Apakah akan mengarah ke direksi, kita lihat nanti,” cetus seorang penyidik, ketika ditemui Investigasi, pekan lalu.



Penyidik ini menambahkan, tim kepolisian yang diasisteni oleh Pidsus Kejaksaan Agung ini memang ibarat melakukan penyidikan babak kedua. Babak pertama sudah tamat, karena penyidiknya sudah jelas-jelas ”dibeli” oleh para tersangka dan petinggi BNI. Hasilnya pun sangat buruk bagi citra polisi, terlebih setelah Komisaris Jenderal Suyitno Landung, Brigadir Jenderal Samuel Ismoko, dan Komisaris Besar Irman Santosa dipenjara, lantaran dituding menerima suap.



Kerja sama Mabes Polri-Kejaksaan Agung, tentu, patut disambut dengan prasangka positif. Mudah-mudahan, tak keburu layu sebelum berkembang. Intinya, mereka harus mampu membuat adonan berkualitas, ditambah bumbu-bumbu bukti bermutu tinggi, sebelum akhirnya dihidangkan ke majelis hakim.



Berdasarkan dokumen yang diperoleh Investigasi, ada sejumlah ”jaring” yang tampaknya tengah disiapkan penyidik untuk menjerat direksi lama maupun baru. Jaring-jaring tersebut, antara lain, terkait dengan masalah pengawasan. Benar, mantan dirut BNI Saefuddien Hasan pernah beberapa kali diperiksa di Mabes Polri sebagai saksi pelapor. Namun, hingga kini, ia masih ”aman”. Selama ini, Saefuddien selalu berkelit bahwa transaksi yang dilakukan BNI Cabang Kebayoran Baru tidak terdeteksi oleh Kantor Pusat.



Saefuddien berdalih, BNI menerapkan branch banking. Artinya, cabang diberi otonomi penuh dalam pemberian fasilitas kredit dan segala fasilitas yang melibatkan cash outflow bank. Sementara, karena tak punya nasabah, peranan kantor pusat lebih difokuskan pada supporting, pembinaan, pengawasan, serta kontrol atas semua transaksi devisa, pengelolaan, dan pemantauan posisi likuiditas secara terkonsolidasi. Saefuddien bahkan menyatakan, pembobolan L/C itu tak dilaporkan ke Divisi Internasional BNI di Kantor Pusat.



Benar? Tunggu dulu. Kalau ”teori” itu tetap dipakai, bukan mustahil, pengacara para direksi lama harus sudah bersiap untuk membuat pembelaan bagi kliennya sedari sekarang. Pasalnya, branch banking kini dianggap bukan segala-galanya. Sistem ini tetap harus diimbangi dengan pengawasan secara struktural dan fungsional. Artinya, ada pengawasan yang dilakukan berjenjang.



Pada Oktober 2002, misalnya, Satuan Pengawas Internal (SPI) Bank BNI telah membentuk tim untuk mengaudit Cabang Kebayoran Baru. Dari audit tersebut diketahui, sejak Juni 2002 BNI Kebayoran Baru telah melakukan 11 transaksi diskonto wesel ekspor berjangka dengan kondisi pembayaran di muka, walaupun terdapat discrepancies dan diskonto dilakukan sebelum ada akseptasi dari bank penerbit. Masalahnya, hasil audit SPI tersebut dianggap tidak signifikan.



Kecuali itu, dalam pemeriksaan berkala yang dilakukan kontrol intern cabang pada Agustus 2002 dan Februari 2003, ditemukan 34 L/C senilai US$ 36 juta (sekitar Rp 324 miliar) yang telah jatuh tempo. Namun, tidak ada reimbursment dari bank penerbit. Padahal, menurut aturan BNI, temuan seperti itu wajib dilaporkan kepada Kepala Wilayah X, Kepala Cabang, SPI Kantor Pusat, dan Direktur Kepatuhan. Artinya, Direktur Kepatuhan pasti telah mengetahui masalah ini dan seharusnya telah membuat langkah-langkah pengamanan. Namun, dalam kenyataan, hal itu justru didiamkan.



Tak kurang dari Deputi Gubernur BI (saat itu) Anwar Nasution, pernah mengkonfirmasikan bahwa kontrol internal Bank BNI sudah melaporkan adanya kasus tersebut pada tahun 2001 dan 2003. Anwar berpikir, laporan tersebut akan ditindaklanjuti oleh Direktur Kepatuhan. Konfirmasi Anwar bisa diartikan: Direktur Kepatuhan BNI sudah menerima laporan dan mengetahui adanya L/C bodong ini sejak awal.



Selain itu, selama Juni 2003, cabang diketahui telah dua kali melakukan negosiasi wesel ekspor dalam mata uang euro, masing-masing sebesar 17 juta dan 6,5 juta. Negosiasi dilakukan dengan mengkredit rekening nasabah dalam euro dengan jangka waktu sembilan bulan. Secara teoretis, transaksi yang mencapai 23,5 juta euro itu pasti sangat berpengaruh terhadap posisi valuta asing BNI. Anehnya, kondisi ini pun dianggap hanya urusan cabang. Padahal, BNI bisa rugi besar akibat risiko kurs, jika tidak terdeteksi oleh Divisi Treasury Kantor Pusat.



Masalah lain, setiap transaksi wesel ekspor di cabang tentu terhubung dengan komputer yang on line secara realtime ke Kantor Pusat. In put data dilakukan cabang setiap hari dan ditutup pada jam 16.30. Dengan demikian, data ini bisa diakses oleh



Divisi Internasional di Kantor Pusat. Sudah begitu, Edi Santoso sendiri pernah mengakui, transaksi yang ia lakukan dilaporkan setiap hari melalui jaringan komputer yang memang sudah on line.



Metode pelaporan seperti ini sebenarnya juga lazim dilakukan oleh bank-bank lain. Pasalnya, itu tadi, sebagian besar transaksi pasti berpengaruh terhadap posisi likuiditas bank yang bersangkutan. Jadi, sekalipun konsep branch banking – yang selama ini dijadikan alasan direksi – merupakan kewenangan cabang, tapi alur proses pembukuan dan laporan menyangkut devisa dilakukan dan dilihat oleh Kantor Pusat. Dus, sulit dipercaya jika pembobolan bank ini tak diketahui oleh pejabat di atas kepala cabang.



Fakta lain yang tak kalah menarik: dari total dana Rp 1,7 triliun yang diberikan kepada Gramarindo, diketahui baru Rp 500 miliar yang dibayarkan kembali ke BNI. Itu pun bukan berasal dari bank penerbit L/C, melainkan dari kegiatan gali lubang tutup lubang. Maksudnya? Begitu ada utang dari pengucuran sebelumnya yang jatuh tempo, mereka membayarnya dengan dana BNI sendiri – yang cair pada periode Juli 2002 s.d. Juli 2003 – melalui BNI Cabang New York (BNI NY).



Aktor yang membayar tagihan wesel ekspor berjangka itu, antara lain, Cadmus Pasific, Aditya Putra Pratama, Supreme Impex, dan Oenam Marbel. Mereka membayar ke BNI NY sesuai dengan jumlah L/C yang jatuh tempo.



Seharusnya, bila ada pembayaran yang bukan berasal dari bank penerbit L/C, akan terdapat lubang pada pos rekening nostro di BNI NY. Dan, jika itu terjadi, Divisi Internasional Kantor Pusat bisa dengan segera menyelisik ke rak valas kantor pusat atau cabang, apakah ada pendebitan rekening pos tagihan wesel ekspor berjangka. Namun, metode pengecekan ini tidak dilakukan oleh Divisi Internasional.



Penyisihan kerugian



Masalah lain yang juga bisa menyeret direksi lama adalah praktik penyisihan kerugian. Praktik ini terungkap dari hasil audit Pricewaterhouse Coupers (PwC) terhadap tagihan wesel ekspor dan tagihan lainnya pada tahun 2001, 2002, dan 2003. Pos wesel ekspor dan tagihan lainnya didefinisikan dan terdiri atas tagihan dan transaksi L/C, serta dokumen-dokumen kepada nasabah importir dan eksportir. Wesel ekspor itu sendiri termasuk kategori aktiva berisiko, dan bank harus menyisihkan kerugian dengan mendebit biaya.



Menurut hasil audit PwC, tagihan wesel ekspor maupun tagihan valas BNI tercatat sebesar Rp 3,079 triliun pada 2001 dan Rp 1,181 triliun pada 2002. Menariknya, semua dinyatakan lancar. Tidak sedikit pun tagihan yang tersendat, apalagi macet. Luar biasa bukan?



Lebih luar biasa lagi, manajemen menyisihkan kerugian sebesar Rp 541,8 miliar pada 2001 dan Rp 345,4 miliar pada 2002. Padahal, berdasarkan ketentuan BI, penyisihan kerugian kategori lancar hanya satu persen atau hanya Rp 30 miliar pada 2001 dan Rp 11,8 miliar pada 2002. Dari sini, jelas terlihat, antara peraturan BI dan kebijakan manajemen terdapat selisih sebesar Rp 511,8 miliar (2001) dan Rp 333,6 miliar (2002).



Kalau dirunut ke belakang, pada periode 2002, di BNI Kebayoran Baru telah terjadi gagal bayar atas wesel-wesel PT Mahesa sebesar US$ 5,4 juta (Rp 48,6 miliar), PT Petindo US$ 8,8 juta (Rp 79,2 miliar), dan PT Prasetya Cipta Tulada US$ 1,5 juta (Rp 13,5 miliar). Besar kemungkinan, penyisihan kerugian sebesar Rp 345,4 miliar pada 2002 itu erat terkait dengan transaksi ketiga perusahaan tersebut.



Setelah ditambah dengan penyisihan kerugian pada 2003 sebesar Rp 1,2 triliun, maka total penyisihan kerugian tagihan wesel ekspor selama tiga tahun itu totalnya mencapai Rp 2,1 triliun. Penyisihan kerugian pada 2003 terjadi pada bulan Juni atau tiga bulan sebelum kasus L/C bodong Gramarindo terungkap. Artinya, direksi tahu kalau bank yang dipimpinnya bobol sebesar Rp 1,2 triliun oleh ulah Adrian Woworuntu Cs.



Selain itu, dalam laporan likuiditas perbedaan jatuh tempo (liquidy maturity gap) pada 2002, terlihat bahwa pos wesel ekspor dan tagihan lain yang jatuh tempo di bawah sebulan besarnya mencapai Rp 830 miliar dari total Rp 1,18 triliun (75 persen). Ini pun menunjukkan, manajemen BNI telah mengetahui bahwa, pada akhir 2002, ada 75 persen tagihan wesel ekspor yang telah jatuh tempo dan bersifat on demand.



Tak cukup dengan hanya menyelisik peran para direksi BNI era Saefuddien Hasan, aparat penyidik pun mengisyaratkan hendak membidik direksi baru yang dipimpin dirut Sigit Pramono. Seperti diketahui, Sigit diputuskan menggantikan Saefuddien pada Desember 2003 dalam forum rapat umum pemegang saham luar biasa (RUPSLB) BNI. Begitu ditunjuk menjadi nakhoda, Sigit memang langsung dihadang dengan sejumlah masalah. Selain motivasi karyawan yang menurun, sisi keuangan juga terpengaruh akibat skandal L/C itu. Sedemikian parahnya, keuntungan BNI pada tahun itu hanya bergerak di kisaran Rp 800 miliar.



Ketika menerima tongkat komando, di hadapan peserta RUPSLB Sigit meminta agar BNI menyisihkan kerugian sebesar Rp 941 miliar untuk menutupi pembobolan ini. Usulan Sigit disetujui. Namun, berdasarkan hasil audit keuangan tahun 2003, nilai yang disisihkan Sigit ternyata lebih besar, yakni: Rp 1,429 triliun atau ada selisih Rp 489 miliar dari yang disepakati RUPSLB. Dari jumlah itu, sebagian bahkan sudah dialokasikan untuk penyisihan pada Juni 2003 sebesar Rp 1,2 triliun, yang dilakukan direksi lama.



Penyelisikan tampaknya tak berhenti di sini. Belakangan diketahui, BNI masih menambah mencadangkan penyisihan kerugihan sebesar Rp 164 miliar. Sehingga, total penyisihan kerugian untuk wesel ekspor dan tagihan lain sejak 2001 hingga 2004 besarnya mencapai Rp 2,48 triliun.



Masalah lain yang bisa membuat Sigit sibuk diperiksa penyidik, yakni menyangkut penghapusbukuan kerugian akibat L/C bodong Gramarindo sebesar Rp 1,5 triliun pada Desember 2004. Padahal, kita tahu, kasus Gramarindo hanya membuat BNI merugi Rp 1,2 triliun. Angka yang Rp 1,5 triliun diperoleh dari hasil audit Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Sisa yang sebesar Rp 500 miliar telah dibayar lewat BNI NY.



Melihat angka-angka itu, muncul dugaan, pos akunting wesel ekspor dan tagihan lain telah dijadikan ”kendaraan” untuk mengeluarkan dana sebagai pinjaman, dengan dalih transaksi ekspor maupun impor yang menggunakan L/C maupun instrumen lainnya.



Atau, adakah selisih itu digunakan untuk membungkam penyidik? Bukan mustahil, meski tetap harus diselidiki. Sebab, bercermin pada penyidikan ”babak pertama”, penyidik Polri ketika itu benar-benar kebanjiran rezeki haram. Selaku Kepala Unit II/Perbankan dan Pencucian Uang Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Mabes Polri, Kombes Irman Santosa misalnya, diketahui telah menerima bejibun upeti dari berbagai sumber. Termasuk, dari Direktur Kepatuhan BNI Mohammad Arsjad.



Pertanyaannya, kini, mampukah tim penyidik baru menyeret direksi lama dan baru BNI sebagai tersangka? Sumber Investigasi di Mabes Polri menggeleng. Ia mengaku tak yakin bila direksi bisa diusut. Alasannya? ”Susah untuk membuka mulut Arsjad,” katanya. Sumber ini tahu pasti, banyak orang yang terlibat kasus ini. Dan, jika Arsjad mau buka mulut, rasanya, semua kekusutan ini menjadi lebih mudah diurai. Sayang, Dirut BNI Sigit Pramono belum bersedia memberikan keterangan. ”No comment-lah untuk hal ini,” ujarnya singkat, kepada Investigasi.



Soal Maria Pauline



Satu lagi pekerjaan rumah penyidik, yakni: membawa pulang Maria Lumowa ke Indonesia, agar kasus ini menjadi lebih terang. Seperti diketahui, Pauline pernah mengatakan, dirinya hanya menerima dana sebesar US$ 40 juta (Rp 360 miliar). Sisanya, ia berharap, ada keterbukaan dari pihak BNI utuk mengungkapkan.



Pauline sendiri pernah berusaha menunjukkan ”niat baik”. Antara lain, dengan menulis surat yang dikirim kepada Kapolri Jenderal Sutanto melalui pengacaranya, O.C. Kaligis. Dalam surat bernomor 1802/OCK.IX/2005 itu, Pauline meminta Kapolri untuk menyelidiki alur dana dari Gramarindo Grup ke BNI dengan memeriksa rekening BNI di BNI NY.



Untuk keperluan itu, Pauline juga menyatakan kesiapannya bertemu dua penyidik Mabes Polri: Brigjen Pol. Gorries Mere dan Kombes Benny Mamoto di Belanda. Terakhir, Pauline meminta agar kasus ini ditangani secara perdata. Ia bahkan menegaskan tak mau bekerja sama bila sifatnya pidana. Menyangkut permintaan ini, sudah pasti, sulit untuk dikabulkan. ”Ini kan kasus L/C, bukan kredit macet. Kalau kredit macet, pasti ada jaminannya dan bisa disita,” ungkap anggota DPR RI Dradjat H. Wibowo.



Menurut Drajat, masalah L/C bodong ini terlebih dulu harus dibuktikan kejahatannya di pengadilan. Artinya, harus ada keputusan pengadilan yang bersifat tetap, seperti dalam kasus orang mencuri uang. ”Kalau uangnya dipakai untuk beli televisi, itu bisa dikategorikan hasil kejahatan dan bisa disita sementara,” Drajat mencontohkan. Lantas, setelah kejahatan mencurinya divonis hakim, barang tersebut bisa dilelang.



Mengenai konsep branch banking, mantan komisaris BNI ini melihat, keputusan-keputusan sudah didelegasikan ke kantor-kantor cabang. Apakah hasilnya bisa menyeret direksi, itu tergantung hasil penyidikan polisi. ”Saya tidak tahu, apakah direksi mengetahui transaksi ini. Saya tidak ingin memberikan penilaian apakah direksi terlibat atau tidak, karena sudah masuk wilayah hukum,” paparnya.



Jadi? Apa boleh buat, rakyat kini hanya bisa menunggu keberanian aparat penegak hukum untuk mempertegas jejak-jejak korup para direksi BNI itu.



Direksi lama:



- Direksi seharusnya mengetahui masalah wesel ekspor berjangka di BNI Cabang Kebayoran Baru. Sebab, setiap transaksi selalu dimasukkan dalam komputer yang bisa dilihat oleh kantor pusat.



- Direktur Kepatuhan tidak menindaklanjuti temuan kontrol interen cabang atas 34 L/C yang jatuh tempo. Kasus ini juga tidak dilaporkan kepada Bank Indonesia.



- Transaksi dalam mata uang euro yang besar tidak diketahui.



- Tagihan wesel ekspor ditransfer ke BNI Cabang New York. Akibatnya, pos rekening nostro di BNI New York bolong-bolong. Seharusnya, divisi internasional mengecek hal ini ke rak valas kantor pusat atau cabang.



- Penyisihan kerugian pada 2001 dan 2002 lebih dari satu persen. Padahal, tagihannya lancar. Pada Juni 2003, disisihkan kerugian sebesar Rp 1,2 triliun untuk mencadangkan kerugian L/C bodong itu. Artinya, direksi tahu, L/C itu bermasalah sebelum perkara ini mencuat pada Oktober 2003.



Direksi baru



- Menyisihkan kerugian sebesar Rp 1,4 triliun. Padahal yang disetujui RUPSLB hanya Rp 941 miliar.



- Menghapus buku Rp 1,5 triliun. Padahal, kerugian hanya Rp 1,2 triliun.





http://www.investigasi.com/news_view.asp?idx=71&id=71&rubrik=1

Read More...

Membongkar Korupsi Direksi BNI

Ketika Pelanggaran Jadi Tradisi

13-Mar-2006, 02/01/THN-06



Dari sononya, Bank BNI agaknya memang tak pernah lepas dari urusan skandal. Tabiat buruk ini selalu dan terus berulang dengan beragam modus. Selain kasus pembobolan lewat instrumen letter of credit (L/C) di Cabang Kebayoran Baru Jakarta dan Cabang Magelang, BNI Cabang Radio Dalam, Jakarta Selatan, juga pernah dibobol Rp 195 miliar lewat modus deposit on call. Padahal, sebulan sebelumnya, aktor yang sama telah sukses mengeruk Rp 50 miliar lewat BNI Cabang Halim Perdanakusuma.



Masih banyak kredit BNI yang bermasalah. Mengutip Buku I Laporan Hasil Pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atas Pengelolaan Kredit pada BNI, yang dipublikasikan di Jakarta medio Februari lalu, jelas terungkap bahwa kredit macet BNI per 31 Desember 2004 tercatat mencapai Rp 862,54 miliar. Berdasarkan pemeriksaan, BPK melihat, kredit-kredit tersebut diberikan melenceng dari aturan.



Anggota BPK Udju Djuhaeri menegaskan, laporan tersebut belum memuat seluruh temuan BPK. Masih ada kasus pemberian kredit lainnya dari BNI, sebesar Rp 45 miliar, yang saat ini tengah diperdalam oleh BPK tapi masih tertutup untuk umum. Kasus tersebut sudah dilaporkan ke Jaksa Agung. ”Kalau kasusnya kami buka sekarang, bisa-bisa ada upaya melindungi diri dari para pelaku,” kata Udju, berdalih.



Dalam laporan hasil pemeriksaan BPK itu, terdapat beberapa kasus kredit macet yang cukup mencolok. Antara lain, pemberian kredit kepada PT Pelangi Cimandiri Tekstil, yang mengakibatkan BNI merugi Rp 134,1 miliar, karena telah membentuk Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif (PPAP) 100 persen atas kredit macet tersebut. Penyebabnya, analisa pemberian kredit kurang cermat.



Kasus lain adalah pemberian kredit kepada PT Adhi Karya. BNI memberikan kredit sebesar Rp 242 miliar, yang akan digunakan perusahaan BUMN ini untuk tambahan modal kerja pembiayaan pembangunan proyek jalan tol Cikampek Purwakarta Padalarang (Cipularang) tahap II paket 2. Namun, menurut penilaian BPK, proyek ini berisiko tinggi dan BNI belum memenuhi ketentuan dalam memberikan kredit.



Awalnya, BUMN ini mengajukan kredit pada 6 April 2004 sebesar Rp 214,6 miliar, dengan jaminan berupa proyek senilai Rp 209,6 miliar. Kemudian, nilai kontrak berubah menjadi Rp 238,5 miliar. Konsekuensinya, perusahaan ini minta lagi tambahan kredit sebesar Rp 27,4 miliar. Sehingga, total fasilitas kredit menjadi Rp 226,6 miliar. Kredit ini dikategorikan lancar per 30 April 2005.



Masalahnya, andil BNI melebihi ketentuan yang berlaku. Dari total proyek senilai Rp 209,6 miliar, Adhi Karya praktis cuma setor lima persen atau Rp 10,48 miliar. Sisanya, sebesar Rp 199 miliar atau 95 persen, merupakan bagian BNI. Share BNI tersebut tidak sesuai dengan aturan di lingkungan BNI, yang menyatakan: kredit untuk konstruksi, maksimum pembiayaan adalah 80 persen dari total kebutuhan pembiayaan.



Selain itu, agunan Adhi Karya juga belum memenuhi ketentuan. Sebab, fasilitas kredit sebesar Rp 214,6 miliar hanya dijamin dengan proyek senilai Rp 209,6 miliar. Sudah begitu, jaminan yang diserahkan hanya Rp 125,7 miliar atau 60 persen. Seharusnya, jaminan itu besarnya 100 persen, sehingga ada selisih jaminan yang belum diserahkan sebesar Rp 88,8 miliar.



Nah, apabila proyek yang dikerjakan telah selesai, maka utang Adhi Karya akan diambil alih oleh PT Jasa Marga. Masalahnya, BNI tidak melakukan analisa terhadap kondisi keuangan Jasa Marga. Padahal, kondisi keuangan Jasa Marga dalam audit 2003 tak memungkinkan. Kondisi ini bisa merugikan BNI. Selain itu, sumber pelunasan kredit Jasa Marga juga belum dapat dipastikan.



BNI mengakui, pemberian kredit itu tak sesuai dengan ketentuan intern yang berlaku. Namun, hal itu tak lepas dari fakta bahwa proyek tol Cipularang merupakan public service yang melibatkan negara sebagai tuan rumah Konferensi Asia Afrika. Bagian BNI sebesar 95 persen dari nilai proyek bisa diterima oleh semua bank yang ikut serta dalam pembiayaan ini (Bank BNI, Mandiri, Bukopin dan BCA). Mengenai kredit yang diambil alih Jasa Marga, BNI berharap, pihaknya bisa menguasai tagihan tiket tol setelah kredit tersebut dialihkan.



Dalam laporannya, BPK mencatat, total kredit lancar BNI mencapai Rp 46,2 triliun atau 86,28 dari target yang ditetapkan senilai Rp 53,5 triliun. Namun, Udju mengingatkan, potensi kerugian negara tidak hanya terjadi pada kredit BNI yang memiliki kolektibilitas bermasalah, tapi juga dapat terjadi pada kredit dengan kolektibilitas lancar.



Ketika dikonfirmasi, Dirut BNI Sigit Pramono mengatakan, hal-hal yang dilaporkan BPK sebenarnya sudah diungkapkan dalam laporan keuangan BNI tahun 2003 dan 2004. Sebagai perusahaan terbuka (sahamnya dipegang investor publik dan tercatat di bursa efek), laporan tersebut juga sudah disampaikan ke publik.



Sigit menambahkan, kredit yang dilaporkan belum tentu berindikasi tindak pidana. Tingginya kredit bermasalah terjadi akibat pembobolan BNI senilai Rp 1,3 triliun, yang telah ditangani polisi. ”Kami ini kan jualan kredit. Kalau ada lima dari 100 mangga (kredit) yang busuk, itu biasa,” ucap Sigit, beberapa waktu lalu.



Hasil ”Tradisi” di BNI…



1. PT Himalaya Tunas Texindo: Rp769 miliar

2. PT Pelangi Cimandiri Tekstil: Rp 134 miliar

3. PT Keramik Diamond Industri: Rp 306 miliar

4. PT Sumber Mitra Jaya: Rp 388 miliar

5. PT Suryabumi Argolanggeng: Rp 316 miliar

6. PT Filamendo Sakti: Rp 410 miliar

7. PT Starwin Indonesia: Rp 165,8 miliar

8. PT Prima Inreksa Industries: Rp 454 miliar

9. PT Industries Badja Garuda: Rp 182,9 miliar

10. PT Bosowa Berlian Motor & PT Bosowa Multi Finance: Rp 271,7 miliar

11. PT Semen Bosowa Maros: Rp 604,9 miliar

12. PT Segoro Fajar Satryo: US$ 23 ribu

13. PT Bratatex: Rp 282 miliar

14. PT Sungai Rangit: Rp 198,5

15. PT Riau Sakti United Plantation: Rp 373 miliar

16. PT Musim Mas: Rp 269,7 miliar

17. PT Riau Andalan Pulp and Paper: US$ 125 ribu

18. PT Kencana Acidindo Perkasa: Rp 179,6 miliar

19. PT Tunas Baru Lampung Tbk.: Rp 125 miliar

20. PT Florindo Makmur: Rp 40 miliar

21. PT Erna Djuliawati: Rp 301 miliar

22. PT Riau Andalan Kertas: US$104 ribu

23. PT Intibenua Perkasatama: Rp 293 miliar

24. PT Bhineka Karya Manunggal: Rp 433,9 miliar

25. PT Cikarang Listrindo: Rp 1,8 triliun

26. PT Petrokimia Gresik: Rp 640 miliar

27. PT PP London Sumatera Indonesia Tbk.: US$ 40 ribu

28. PT Duta Pertiwi: Rp 617,5 miliar

29. PT Indosat: Rp 517,6 miliar

30. PT Bukaka Singtel Internasional: Rp 129,9 miliar

31. PT Adhi Karya: Rp 242 miliar

32. PT Satyaraya Keramindoindah: Rp 70 miliar

33. PT Kresna Duta Agroindo: Rp 243,5 miliar

34. PT Sumber Segara Primadaya: US$ 200 ribu

35. PT Pupuk Iskandar Muda: Rp 427 miliar

36. PT Adira Dinamika Multi Finance: Rp 750 miliar

37. PT Pasaraya Tosersajaya: Rp 63 miliar

38. PT Austindo Nusantara Jaya Finance: Rp 650 miliar

39. PT Oto Multiartha: Rp 1,3 triliun

40. PT Astra Sedaya Finance: Rp 2 triliun

41. PT Cahaya Sakti Furintraco: Rp 197 miliar

42. PT Duta Rendra Mulya: Rp 231 miliar



Sumber: Badan Pemeriksa Keuangan (2006)

http://www.investigasi.com/news_view.asp?idx=71&id=74&rubrik=1

Read More...

Nakhoda Sontoloyo di Perahu BNI

Kasus BNI



GELOMBANG badai yang harus dilalui “perahu layar” logo Bank Negara Indonesia (BNI) kini sungguh dahsyat. Jika tak hati-hati, layar bisa terkoyak, lambung kapal bisa bocor. Badai yang menghantam BNI tak lain kasus letter of credit (L/C) fiktif sebesar Rp 1,7 trilyun, yang membobol bank itu.



Kini, nakhoda perahu layar, para petinggi BNI, sibuk menyelamatkan perahu bisnisnya. Kamis siang lalu, mereka mengundang wartawan, berbincang tentang masalah yang sedang mengungkung BNI di Kantor Besar BNI, Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta Pusat. “Kami juga ingin memaparkan kinerja BNI per September 2003,” kata Mohammad Arsjad, Direktur Kepatuhan dan Sumber Daya Manusia BNI.



Sejak kasus pembobolan L/C bodong itu merebak, boleh dikata baru kali ini para petinggi BNI secara resmi angkat bicara. Maklum saja, bila tak hati-hati bicara, perkara ini bisa membuat perahu BNI makin oleng.



Harga saham BNI di lantai bursa mulai terpengaruh. Sejak perdagangan dibuka Selasa lalu, harga saham berkode BBNI itu turun dari Rp 105 menjadi Rp 100. Bukan tak mungkin, harganya akan terus turun.



Selain itu, tentu saja BNI bakal menerima “efek samping” kasus pembobolan ini. Lihat saja, manajemen Bursa Efek Jakarta sudah menyiapkan agenda acaranya memanggil direksi BNI, Kamis lalu. Panggilan dari anggota Komisi IX DPR-RI juga segera dilayangkan.



Beban petinggi BNI masih ditambah lagi dengan persiapan berbagai materi untuk rapat umum pemegang saham, Desember nanti. Kabar santer yang terdengar, bakal ada perombakan pucuk pimpinan BNI. “Kalau nanti laporan direksi tidak bisa diterima, tentu ada perbaikan,” kata Sekretaris Menteri Negara BUMN, Bacelius Ruru.



Karena itu, sejak pekan lalu mereka mengadakan serangkaian rapat maraton untuk menuntaskan berbagai masalah ini. Hasilnya, “Kami mengutamakan usaha pengembalian dana lebih dulu,” kata Arsjad. Syukur kalau bisa kembali semuanya.



Harapan itu sebagian bergantung pada sejumlah jalur andalan BNI. Selain bekerja sama dengan tim penyidik di kepolisian, BNI juga minta bantuan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).



Lembaga ini dikenal punya akses luas untuk mengendus jejak duit haram. Walau begitu, PPATK mengaku perlu waktu lagi untuk melacak aliran dana BNI yang dibobol. “Kasusnya baru saja diserahkan 18 Oktober lalu. Yang jelas akan kami lacak,” kata Yunus Husein, Kepala PPATK.



Bank Indonesia pun menyesalkan sikap manajemen BNI, yang tidak sejak awal melaporkan kasus ini. “Kami baru mendapat laporan 10 September lalu. Padahal jauh sebelum itu, audit internal BNI sudah menemukan adanya transaksi-transaksi yang mencurigakan,” ujar I.G. Viragura B. Oka, Deputi Direktur Direktorat Pengawasan Bank II, Bank Indonesia.



Penasihat hukum BNI, Pradjoto, mengatakan bahwa berbagai jalur aliran uang dana BNI memang sudah teridentifikasi. “Beberapa sudah ada pada kami dan sudah diserahkan kepada polisi serta PPATK,” kata Pradjoto.



Tokoh paling santer disebut-sebut terlibat kasus ini tak lain Adrian Herling Waworuntu. Pengusaha berusia 53 tahun ini sudah beberapa kali bertemu dengan manajemen BNI. Terakhir kali ia menemui Arsjad, Selasa lalu. Dalam pertemuan itu, kata Arsjad, Adrian bersedia menyerahkan dana sebesar Rp 70 milyar dari Rp 170 milyar yang diterimanya.



Sebelumnya, Adrian menggunakan dana sebanyak Rp 170 milyar itu untuk membeli PT Brocolin. “Dana yang diserahkan itu sebagian berbentuk saham perusahaan tersebut,” kata Arsjad.



Adrian disebut-sebut bekerja sama dengan Maria Pauline Lumowa dari Gramarindo, kelompok bisnis eksportir. Keduanya, di bawah bendera Gramarindo mengajukan permohonan kredit ekspor kepada BNI Cabang Kebayoran Baru sejak 20 September tahun lalu.



Rencananya, Gramarindo mengekspor pasir kuarsa dan minyak residu ke Kongo dan Kenya. Selain itu, masih ada Petindo Group, milik pengusaha John Hamenda, yang mengajukan kredit ekspor serupa.



Rupanya, permohonan kredit ekspor ini dikabulkan Kepala BNI Cabang Kebayoran Baru, Kusadiyuwono. Sejak itu, kedua kelompok usaha itu menerima kucuran dana ekspor. Lihat saja realisasi transaksi ekspor Gramarindo.



Sejak Oktober tahun lalu sampai Juli, ada 84 slip transaksi. Terdiri dari 72 slip bernilai US$ 131,6 juta (sekitar Rp 1,097 trilyun) dan 12 slip senilai Rp 516,6 milyar. Belakangan tercatat, ada 105 slip yang terkait dengan transaksi tersebut.



Total realisasi ekspor yang dikucurkan BNI dalam periode itu kepada Gramarindo mencapai Rp 1,6 trilyun. Sedangkan kepada Petindo Group, BNI mengucurkan dana mencapai Rp 105 milyar.



Maka, seluruh dana yang dikeluarkan BNI mencapai sekitar Rp 1,7 trilyun. Belakangan, ketika kasus ini merebak ke media massa, BNI hanya sempat menyelamatkan Rp 542 milyar dari keseluruhan dana. “Masih ada 39 L/C yang jatuh tempo sejak Agustus lalu senilai kurang lebih Rp 1,2 trilyun yang belum dibayar kepada BNI,” kata Lilies Handayani, Sekretaris Perusahaan BNI.



Banyak yang heran, kok duit segede itu bisa ngeluyur begitu saja? Pradjoto melihat, sebenarnya transaksi L/C normal saja dalam perbankan. “Saya tak membela siapa pun, tetapi tampaknya memang tidak ada yang tahu transaksi ini kecuali BNI Kebayoran Baru,” kata Pradjoto, yang juga pengamat ekonomi ini.



Seharusnya, kata Pradjoto, pihak bank teliti betul di mana L/C itu diterbitkan. “L/C itu kan diterbitkan bank di Kenya dan Kongo, negara yang kategorinya berisiko tinggi,” kata Pradjoto. Nah, ketika itu pejabat bank seharusnya waspada.



Selain itu, tentunya harus ada mekanisme pengawasan berlapis. Saat Edi Santoso –Kepala Customer Service Luar Negeri BNI Cabang Kebayoran Baru– melakukan transaksi L/C, kata Pradjoto, seharusnya ada pengawasan dari kepala cabang atau kepala wilayah.



Rupanya, Kusadiyuwono –Kepala Cabang BNI Kebayoran Baru– segan kepada Edi. Soalnya, kakak kandung Edi, Heru Sardiono, menjabat Kepala Kantor Wilayah X BNI Jakarta Selatan. “Maaf saja, ini namanya manajemen sontoloyo!” kata Pradjoto kepada wartawan GATRA Hatim Ilwan.



Memang belum jelas, apakah jenis manajemen seperti itu yang menyebabkan BNI kebobolan. Sejauh ini, Mabes Polri sedang sibuk mencari penyebabnya. Sampai Kamis dini hari, polisi secara resmi baru menetapkan dua tersangka. Yakni Kusadiyuwono dan Edi Santoso.



Namun, Wakil Kepala Divisi Humas Mabes Polri, Brigadir Jenderal Polisi Soenarko, tak membantah jumlah tersangka bisa saja bertambah. “Penyidikan belum selesai,” katanya.



Demi memperlancar penyidikan, polisi telah meminta Direktur Jenderal Imigrasi mencekal sembilan orang yang diduga menerima kucuran duit BNI. Menurut sumber GATRA di Mabes Polri, sembilan orang itu pun masuk dalam daftar tersangka polisi. Mereka terdiri dari manajer perusahaan di bawah bendera Gramarindo.



“Semua perusahaan itu menerima kucuran dana BNI,” kata sang sumber. Sayang, masih menurut sumber itu, beberapa manajer Kelompok Usaha Gramarindo terlanjur berada di luar negeri. “Butuh waktu lagi untuk melacaknya,” katanya.



Walau begitu, sampai sejauh ini mereka yang dituding membobol BNI ramai-ramai membantah. Adrian, misalnya, tak merasa terlibat kasus ini. “Saya hanya sebagai perantara,” kata Adrian. Ia mengaku bukan pemilik Gramarindo. “Saya hanya mencari perusahaan yang mau menerima dana dari Bu Eri (Maria Pauline),” Adrian menambahkan. Soal dari mana asal dananya, Adrian mengaku tak tahu-menahu.



John Hamenda dari Petindo Group malah merasa namanya dicatut orang. “Saya tak pernah merasa menerima dana dari BNI,” katanya. Karena itu, John segera mengajukan gugatan perdata dan pidana sekaligus pada BNI atas tuduhan pencemaran nama baik.



Para tersangka tak ketinggalan. Melalui pengacara masing-masing, mereka membela diri. “Edi merasa dia ditipu para eskportir itu. Ternyata mereka melakukan ekspor fiktif,” kata Herman Kadir, pengacara Edi Santoso.



Kusadiyuwono juga mengeluh. Melalui pengacaranya, Rivai M. Noer, Kusadiyuwono menuding Edi telah menyalahgunakan kepercayaannya. “Klien saya merasa dikerjai Edi. Padahal, dia sudah percaya sekali dengannya,” kata Rivai.



Namun, apa pun alasannya, harus ada yang bertanggung jawab atas terjadinya kasus ini. Saling lempar tuduhan hanya akan membuat perahu BNI makin oleng.



Nur Hidayat dan Hendri Firzani

[Ekonomi, GATRA, Edisi 51 Beredar Jumat 31 Oktober 2003]



http://www.gatra.com/2003-11-05/artikel.php?pil=23&id=31987

Read More...

PABRIK MARMER SAGARED SULIT BEROPERASI KEMBALI

Kupang, Senin

Usaha pabrik marmer PT Sagared Team di Takari yang terhenti sementara terkait dengan kasus pembobolan Bank BNI 46, kemungkinan kecil untuk bisa bangkit dan beroperasi kembali.



“Perkiraan ini berdasarkan pengalaman sebelumnya, di mana perusahan mengalami kesulitan untuk beroperasi kembali seperti semula, karena kapitalnya sangat besar,” kata Kepala Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), Ir. Benny R. Ndoenboey, MSi, di Kupang, Senin (15/12).



Dia mengemukakan hal itu sehubungan dengan harapan PT. Sagared untuk bisa beroperasi kembali dalam waktu yang tidak terlalu lama, menyusul kasus yang dihadapi perusahan yang mendapat kucuran dana dari pembobolan dana Bank BNI sebesar Rp1,7 triliun itu.



“Menurut saya, agak susah bangkit kembali karena perusahan membutuhkan dana besar, sementara kran dana untuk perusahan itu sudah ditutup. Aset perusahan pasti akan disita untuk menutup utang perusahan,” katanya seraya menambahkan kredibilitas perusahan itu juga sudah jatuh akibat kasus yang menimpah perusahan itu.



Usaha penambangan dan pabrik marmer di Takari, Kupang itu saat ini dihentikan untuk sementara waktu. Pembangunan empat dari tujuh pabrik dihentikan. Begitu pun dengan kegiatan penambangan di sejumlah lokasi juga dihentikan.



Dia mengemukakan, persoalan yang dihadapi perusahan itu sangat kompleks. Sehingga, kalau pun bisa bangkit dibutuhkan waktu dan biaya yang besar.



Deposit marmer alam di pulau Timor seperti di Timor Tengah Selatan dan Kupang tersedia lebih 100 tahun. Mutu batu pualam ini terbaik di dunia, mengalahkan produksi Italia, katanya.



Benny mengatakan, Dinas Pertambangan NTT tidak mengetahui persis persoalan yang dihadapi perusahan itu, karena izin bagi perusahan itu dikeluarkan pemerintah Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) dan Kabupaten Kupang.



Pemerintah Kabupaten TTS mengeluarkan surat izin pertambangan daerah (SIPD). Sementara, Pemerintah Kabupaten Kupang mengeluarkan izin pembangunan industri pengolahan marmer. (Ant/prim)



http://www2.kompas.com/utama/news/0312/15/171013.htm

Read More...

Pemulihan Kinerja BNI Dipertanyakan

Selasa, 14 Desember 2004 | 03:06 WIB



TEMPO Interaktif, Jakarta:Mantan Kepala Pelayanan Nasabah Luar Negeri BNI Cabang Kebayoran Baru Edi Santoso mempertanyakan kinerja bank pemerintah itu dalam mengembalikan dana negara yang bobol.



“Sepertinya masalah BNI tidak diselesaikan secara profesional, buktinya dalam sidang sebelumnya recovery nol,” kata Edi dalam sidang perkara Adrian Wawuruntu di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin (13/12).



Edi yang menjadi saksi pada kasus Adrian ini mengaku tidak puas dengan apa yang dilakukan pihak direksi BNI terhadap kasus pendiskontoan 41 LC yang bermasalah. Dia dan tim sembilan yang dibentuk belum bekerja ketika akhirnya pihak direksi melaporkan kasus ini kepada polisi. “BNI mau mengejar recovery uang yang telah keluar atau mau memenjarakan orang?” tanya Edi dengan nada kecewa.



Dalam kasus tidak terbayarnya (unpaid) 38 dari 41 LC yang didiskonto Gramarindo Grup, menurut Edi, BNI tim penyelamatan (tim sembilan). Tim lantas meminta Edi untuk menunjuk orang yang dapat bertanggungjawab penuh atas masalah tersebut.



Kepada tim Edi menyebut nama Maria Paulina dan Adrian Wawuruntu sebagai key person. Maria dianggap bertanggungjawab penuh karena dia yang memiliki seluruh perusahaan yang mendiskonto LC. Sedangkan Adrian diikutsertakan karena berdasarkan pengetahuan Edi, Adrian turut membantu mengelola perusahaan Maria dan sebagai konsultan investasinya.



Sebagai key person, Maria dan Adrian diminta kesediaannya untuk membuat akta pengakuan utang (APU). Keduanya setuju, dan penandatanganan APU dilakukan atas sepengetahuan direksi BNI. Berhubung Maria berkewarganegaraan Belanda, maka atas permintaan pihak BNI, Adrian membuat personal guaranty (jaminan pribadi) atas semua hutang Gramarindo Grup.



Edi secara pribadi sangat menyayangkan masalah bobolnya uang negara ini dibawa ke polisi sebelum jatuh tempo. Ia yakin bahwa Maria dan Gramarindo grupnya sebenarnya berusaha untuk menyelesaikan masalah LC unpaid ini.



Menurut Edi lagi, Maria sempat pergi ke luar negeri untuk mencari solusi penyelesaian pembayaran. Apalagi aset Gramarindo yang menjadi jaminan sangat besar. Aset-aset tersebut di antaranya adalah pabrik marmer, perkebunan, dan bisnis jalan tol.



Nilai aset perusahaan Gramarindo, kata Edi, mencapai Rp 847 miliar, belum bila ditambah aset pribadi Maria. “Andai saja nasabah diberi kesempatan untuk menyelesaikan masalah, bukan hanya LC terbayar tetapi mereka menjadi nasabah primadona,” ujar Edi.



Edi menambahkan, bahwa dirinya memang sangat berkepentingan terhadap recovery dana BNI. Alasannya, pidana seumur hidup atas dirinya saat ini karena adanya kerugian negara. Tetapi dengan belum terjadinya pemulihan kinerja dan BNI masih menderita kerugian, “Kemana saja aset-aset itu, jangan-jangan menguap di tengah jalan?” katanya curiga.



Sidang yang dipimpin hakim Roki Panjaitan ini berakhir malam sekitar pukul 19.15 WIB. Sidang dilanjutkan Kamis depan. Tim jaksa yang diketuai Syaiful Tahir akan menghadirkan empat orang saksi. Mereka adalah Alimin Hamdi, Imanuel Wiryono, Koeshadiyono, dan Yoke Yola Sigar.



Khairunnisa-Tempo News Room

http://www.tempo.co.id/hg/nasional/2004/12/14/brk,20041214-03,id.html

Read More...