Skandal Kredit LC BNI, Kapankah akan Tamat??

Minggu, 06 Juli 2008

Hukum

Oleh : Errolwidiastama





Skandal LC BNI Kebayoran Baru, tidak pernah sepi pemberitaan…. Mengapa..?



KabarIndonesia - UU. No. 31 tahun 1999 telah cukup baik diterapkan oleh para penegak hukum terhadap pelaku pembobol Bank BNI, sehingga para pembobol dihukum cukup tinggi, dengan harapan ada efek jera untuk para koruptor.



Bahkan skandal LC inipun digunakan secara politis untuk Indonesia dapat keluar dari cap negara terkorup, dengan menghukum seberat-beratnya para terpidana, sebagai bukti keseriusan Indonesia menangani tindak pidana korupsi dan money laundering (pendapat Yunus Husein, Kepala PPATK, Kompas 20/4/2004), demikian juga para Politisi Senayan semuanya berucap agar skandal tersebut dituntaskan, tapi sejak tahun 2003 sampai dengan sekarang, rupanya belum tuntas juga kasus tersebut. Mengapa hal ini terjadi??



Para terpidana dari Pengusaha sudah dihukum berat, karyawan bank BNI demikian juga, tapi kemudian bertambah korbannya menjadi pihak penyidik dari Mabes Polri ikut masuk Hotel Prodeo ( 2 jenderal & 1 pamen ) pada tahun 2006, dan sekarang pada tahun 2007 belum juga tuntas pejabat BNI dari Kantor Pusat sedang dalam proses peradilan. Begitu hebatkah skandal LC BNI ini, sehingga mulai dari 2003 s/d sekarang belum juga tuntas? Begitu rumitkah kasus ini atau memang ada maksud lain sehingga kasus ini nampak tidak akan pernah selesai,



Presiden telah berganti, anggota DPR telah berganti, bahkan PANJA recovery BNI-pun telah berganti, tetapi kasus ini belum juga kunjung tamat. Mengapa?



Prestise Lembaga Penegak Hukum



Penulis yang kebetulan mahasiswa dan telah mewawancarai para terpidana di penjara, mendapatkan dokumen-dokumen penting yang selama ini tidak pernah diungkap dan kemudian mencoba menganalisa skandal tersebut.



Bahwasanya para penegak hukum lebih mengutamakan penghukuman dan masuk penjara daripada pengembalian Kerugian Negara. Dengan menghukum setinggi-tingginya para terpidana, maka dianggap seriuslah penegakan hukum di Indonesia, di mana pemahaman terhadap kasus ini pun tidak perlu dilakukan, bahkan penerapan pasal-pasal yang dituduhkan asal saja dan yang penting korupsi (sehingga Kepala PPATK pun sempat kecewa, mengapa kasus money laundering-nya tidak pernah diungkap). Keterangan saksi sebagai fakta hukum dalam persidangan pun diabaikan, mulai dari kepolisian sampai dengan pengadilan tingkat kasasi tidak ada yang berani melihat.



Mempelajari dan menganalisa secara adil dan bertanggung jawab, karena ada ketakutan terhadap opini masyarakat yang telah terbentuk, kuatir akan membebaskan koruptor dan meringankan koruptor, sehingga EQUALITY BEFORE THE LAW sebagai azas hukum yang manusiawi pun berani dilanggarnya.



Recovery yang Tak Kunjung Selesai



Masalah recovery untuk mengembalikan kerugian Negara cq Bank BNI sampai sekarang belum tuntas juga, padahal UU. No. 31/1999 dan UU penggantinya telah mengaturnya, Polisi menyalahkan BNI, BNI menyalahkan Polisi, Hakim dan Jaksa menyalahkan BNI dan Polisi, Panja DPR menyalahkan BNI dan Kejaksaan sebagai eksekutor penyitaan.



Di mana semua bersuara saling menyalahkan dan lebih hebat lagi BNI bersama DEPLU membentuk tim untuk mengejar asset terpidana yang di luar negeri dengan mengeluarkan biaya pengejarannya (Dirut BNI, Surya Online 13/10/06).



Tapi fakta sampai sekarang recovery asset ini belum juga tuntas, padahal terpidana telah 4 tahun mempunyai kekuatan hukum tetap (incrah), di mana menurut UU. 31/1999 pasal 18, satu bulan setelah terpidana berkekuatan hukum tetap dan tidak membayar uang pengganti, maka seluruh hartanya dapat disita.



Ssita eksekusi bukan sita administrasi, di mana dalam kasus ini, yang ada barulah jaksa melakukan sita administrasi atas penetapan pengadilan, sehingga sampai dengan sekarang belum ada nilai recovery yang ditetapkan dari penyitaan ini.



Dampak dari sita administrasi yang telah berjalan satu tahun lebih sangat mempengaruhi menurunkan nilai asset yang disita, karena belum dilakukan eksekusi dan tidak adanya biaya perawatan asset, berdasarkan data yang diberikan para terpidana pada penulis, asset yang sebenarnya nilai ekonomisnya sangat tinggi untuk mengembalikan kerugian Negara, (tambang Marmer dan pabrik Marmer di NTT, perkebunan kelapa sawit di Bengkulu), setelah disita administrasi oleh pihak kejaksaan dan kepolisian, maka dijarah oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab, sehingga terjadi penurunan nilai ekonomis yang sangat signifikan (para terpidana telah mengirim 1 bundel buku kepada Panja Recovery BNI 1 bulan yang lalu, perihal recovery asset tersebut, tapi belum mendapatkan jawaban).



Semua pihak saling menyalahkan, sehingga Panja DPR Recovery BNI harus mengultimatum pihak BNI dan Kejaksaan (Drajad Wibowo Sekretaris Panja, 23/10/2007). Mengapa ini harus terjadi, kalau semua pihak telah mengetahui aturan hukum yang ada?



Apakah ada yang salah pada aturan hukumnya, atau memang ini ulah para penegak hukum dan ketidakseriusan Direksi BNI yang baru, karena menganggap ini adalah kesalahan Direksi BNI yang lama.



Nilai Riil Kerugian BNI



Sampai dengan sekarang nilai riil kerugian BNI belum ada kesamaan nilai, para terpidana Kelompok Usaha Maria (Gramarindo Grup) mengatakan hanya menggunakan +/- 500 Milyard, selebihnya adalah perusahaan lainnya yang tidak saling berhubungan yaitu PT. Petindo, PT. Mahesa, PT. Cipta Tulada dan PT. Jakasakti Buana (dua perusahaan yang disebut terakhir belum diproses hukum) dan aliran dana keluar negeri pada PT. Cadmus dan PT. Capital Gain.



Keanehan ini makin membingungkan saja, sedangkan para terpidana sudah divonis dengan telah merugikan Negara 1,2 Trilyun (para penegak hukum menvonis berdasarkan audit investigasi dari BPKP, Juni 2004). Dalam Laporan Audit BPKP ini ada kendala yang sangat prinsipil dari sudut kebenaran perhitungan riil kerugian negara, yaitu pihak BPKP mengatakan :



1. Pihak-pihak kunci yang terlibat langsung telah menjadi tahanan pihak kepolisian/kejaksaan, sehingga beberapa hal yang harus diklarifikasikan kepada yang terkait tersebut untuk memperoleh fakta yang sesungguhnya tidak dapat dilakukan.



2. Dokumen-dokumen yang menjadi dasar pengeluaran dana dari rekening giro perusahaan-perusahaan yang terkait tidak seluruhnya dapat diperoleh.



3. Terdapat 3 buah dokumen LC yang tidak dapat diperoleh.

Terdapat 19 bukti pengiriman Schedule of Remmintance dan dokumen pendukung LC yang tidak/belum ditemukan sampai berakhirnya audit investigasi.



Kendala-kendala di atas adalah sangat prinsipiil untuk mendapatkan perhitungan kerugian Negara yang benar dan akurat. Sehingga sangat diragukan sekali kebenaran perhitungan audit investigasi BPKP ini.



Dan keanehan ini makin membingungkan saja, sedangkan Bank sekaliber BNI, apa sulitnya melakukan Rekonsiliasi perbankan dengan nasabahnya, apalagi para terpidana pernah meminta kepada pihak BNI dengan dimediasi oleh pihak kepolisian untuk melakukan perhitungan bersama, mengapa ini tidak dilakukan oleh pihak BNI, dan mengapa juga pihak BPKP tidak melakukan klarifikasi kepada para nasabah yang notabene telah ditahan, sehingga lebih mudah melakukan perhitungan, karena pasti mereka ada di tempat yaitu penjara.



Keraguan terhadap nilai riil perhitungan kerugian Negara inilah salah satu faktor yang membuat semua pihak tidak ada keberanian atau kemauan untuk segera mengeksekusi asset para terpidana sampai sekian lama.



Ada kesan asset-asset para terpidana ini akan di Golden Key-kan atau di Edy Tansil-kan, yaitu dibiarkan rusak, menurun nilai ekonomisnya dan akhirnya tidak mempunyai nilai jual, sehingga benar-benar kerugian Negara yang belum riil itu menjadi riil. Wallahu alam…….



Medio Pebruari 2008



http://kabarindonesia.com/berita.php?pil=14&dn=20080207214025

0 komentar:

Posting Komentar