Nakhoda Sontoloyo di Perahu BNI

Minggu, 06 Juli 2008

Kasus BNI



GELOMBANG badai yang harus dilalui “perahu layar” logo Bank Negara Indonesia (BNI) kini sungguh dahsyat. Jika tak hati-hati, layar bisa terkoyak, lambung kapal bisa bocor. Badai yang menghantam BNI tak lain kasus letter of credit (L/C) fiktif sebesar Rp 1,7 trilyun, yang membobol bank itu.



Kini, nakhoda perahu layar, para petinggi BNI, sibuk menyelamatkan perahu bisnisnya. Kamis siang lalu, mereka mengundang wartawan, berbincang tentang masalah yang sedang mengungkung BNI di Kantor Besar BNI, Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta Pusat. “Kami juga ingin memaparkan kinerja BNI per September 2003,” kata Mohammad Arsjad, Direktur Kepatuhan dan Sumber Daya Manusia BNI.



Sejak kasus pembobolan L/C bodong itu merebak, boleh dikata baru kali ini para petinggi BNI secara resmi angkat bicara. Maklum saja, bila tak hati-hati bicara, perkara ini bisa membuat perahu BNI makin oleng.



Harga saham BNI di lantai bursa mulai terpengaruh. Sejak perdagangan dibuka Selasa lalu, harga saham berkode BBNI itu turun dari Rp 105 menjadi Rp 100. Bukan tak mungkin, harganya akan terus turun.



Selain itu, tentu saja BNI bakal menerima “efek samping” kasus pembobolan ini. Lihat saja, manajemen Bursa Efek Jakarta sudah menyiapkan agenda acaranya memanggil direksi BNI, Kamis lalu. Panggilan dari anggota Komisi IX DPR-RI juga segera dilayangkan.



Beban petinggi BNI masih ditambah lagi dengan persiapan berbagai materi untuk rapat umum pemegang saham, Desember nanti. Kabar santer yang terdengar, bakal ada perombakan pucuk pimpinan BNI. “Kalau nanti laporan direksi tidak bisa diterima, tentu ada perbaikan,” kata Sekretaris Menteri Negara BUMN, Bacelius Ruru.



Karena itu, sejak pekan lalu mereka mengadakan serangkaian rapat maraton untuk menuntaskan berbagai masalah ini. Hasilnya, “Kami mengutamakan usaha pengembalian dana lebih dulu,” kata Arsjad. Syukur kalau bisa kembali semuanya.



Harapan itu sebagian bergantung pada sejumlah jalur andalan BNI. Selain bekerja sama dengan tim penyidik di kepolisian, BNI juga minta bantuan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).



Lembaga ini dikenal punya akses luas untuk mengendus jejak duit haram. Walau begitu, PPATK mengaku perlu waktu lagi untuk melacak aliran dana BNI yang dibobol. “Kasusnya baru saja diserahkan 18 Oktober lalu. Yang jelas akan kami lacak,” kata Yunus Husein, Kepala PPATK.



Bank Indonesia pun menyesalkan sikap manajemen BNI, yang tidak sejak awal melaporkan kasus ini. “Kami baru mendapat laporan 10 September lalu. Padahal jauh sebelum itu, audit internal BNI sudah menemukan adanya transaksi-transaksi yang mencurigakan,” ujar I.G. Viragura B. Oka, Deputi Direktur Direktorat Pengawasan Bank II, Bank Indonesia.



Penasihat hukum BNI, Pradjoto, mengatakan bahwa berbagai jalur aliran uang dana BNI memang sudah teridentifikasi. “Beberapa sudah ada pada kami dan sudah diserahkan kepada polisi serta PPATK,” kata Pradjoto.



Tokoh paling santer disebut-sebut terlibat kasus ini tak lain Adrian Herling Waworuntu. Pengusaha berusia 53 tahun ini sudah beberapa kali bertemu dengan manajemen BNI. Terakhir kali ia menemui Arsjad, Selasa lalu. Dalam pertemuan itu, kata Arsjad, Adrian bersedia menyerahkan dana sebesar Rp 70 milyar dari Rp 170 milyar yang diterimanya.



Sebelumnya, Adrian menggunakan dana sebanyak Rp 170 milyar itu untuk membeli PT Brocolin. “Dana yang diserahkan itu sebagian berbentuk saham perusahaan tersebut,” kata Arsjad.



Adrian disebut-sebut bekerja sama dengan Maria Pauline Lumowa dari Gramarindo, kelompok bisnis eksportir. Keduanya, di bawah bendera Gramarindo mengajukan permohonan kredit ekspor kepada BNI Cabang Kebayoran Baru sejak 20 September tahun lalu.



Rencananya, Gramarindo mengekspor pasir kuarsa dan minyak residu ke Kongo dan Kenya. Selain itu, masih ada Petindo Group, milik pengusaha John Hamenda, yang mengajukan kredit ekspor serupa.



Rupanya, permohonan kredit ekspor ini dikabulkan Kepala BNI Cabang Kebayoran Baru, Kusadiyuwono. Sejak itu, kedua kelompok usaha itu menerima kucuran dana ekspor. Lihat saja realisasi transaksi ekspor Gramarindo.



Sejak Oktober tahun lalu sampai Juli, ada 84 slip transaksi. Terdiri dari 72 slip bernilai US$ 131,6 juta (sekitar Rp 1,097 trilyun) dan 12 slip senilai Rp 516,6 milyar. Belakangan tercatat, ada 105 slip yang terkait dengan transaksi tersebut.



Total realisasi ekspor yang dikucurkan BNI dalam periode itu kepada Gramarindo mencapai Rp 1,6 trilyun. Sedangkan kepada Petindo Group, BNI mengucurkan dana mencapai Rp 105 milyar.



Maka, seluruh dana yang dikeluarkan BNI mencapai sekitar Rp 1,7 trilyun. Belakangan, ketika kasus ini merebak ke media massa, BNI hanya sempat menyelamatkan Rp 542 milyar dari keseluruhan dana. “Masih ada 39 L/C yang jatuh tempo sejak Agustus lalu senilai kurang lebih Rp 1,2 trilyun yang belum dibayar kepada BNI,” kata Lilies Handayani, Sekretaris Perusahaan BNI.



Banyak yang heran, kok duit segede itu bisa ngeluyur begitu saja? Pradjoto melihat, sebenarnya transaksi L/C normal saja dalam perbankan. “Saya tak membela siapa pun, tetapi tampaknya memang tidak ada yang tahu transaksi ini kecuali BNI Kebayoran Baru,” kata Pradjoto, yang juga pengamat ekonomi ini.



Seharusnya, kata Pradjoto, pihak bank teliti betul di mana L/C itu diterbitkan. “L/C itu kan diterbitkan bank di Kenya dan Kongo, negara yang kategorinya berisiko tinggi,” kata Pradjoto. Nah, ketika itu pejabat bank seharusnya waspada.



Selain itu, tentunya harus ada mekanisme pengawasan berlapis. Saat Edi Santoso –Kepala Customer Service Luar Negeri BNI Cabang Kebayoran Baru– melakukan transaksi L/C, kata Pradjoto, seharusnya ada pengawasan dari kepala cabang atau kepala wilayah.



Rupanya, Kusadiyuwono –Kepala Cabang BNI Kebayoran Baru– segan kepada Edi. Soalnya, kakak kandung Edi, Heru Sardiono, menjabat Kepala Kantor Wilayah X BNI Jakarta Selatan. “Maaf saja, ini namanya manajemen sontoloyo!” kata Pradjoto kepada wartawan GATRA Hatim Ilwan.



Memang belum jelas, apakah jenis manajemen seperti itu yang menyebabkan BNI kebobolan. Sejauh ini, Mabes Polri sedang sibuk mencari penyebabnya. Sampai Kamis dini hari, polisi secara resmi baru menetapkan dua tersangka. Yakni Kusadiyuwono dan Edi Santoso.



Namun, Wakil Kepala Divisi Humas Mabes Polri, Brigadir Jenderal Polisi Soenarko, tak membantah jumlah tersangka bisa saja bertambah. “Penyidikan belum selesai,” katanya.



Demi memperlancar penyidikan, polisi telah meminta Direktur Jenderal Imigrasi mencekal sembilan orang yang diduga menerima kucuran duit BNI. Menurut sumber GATRA di Mabes Polri, sembilan orang itu pun masuk dalam daftar tersangka polisi. Mereka terdiri dari manajer perusahaan di bawah bendera Gramarindo.



“Semua perusahaan itu menerima kucuran dana BNI,” kata sang sumber. Sayang, masih menurut sumber itu, beberapa manajer Kelompok Usaha Gramarindo terlanjur berada di luar negeri. “Butuh waktu lagi untuk melacaknya,” katanya.



Walau begitu, sampai sejauh ini mereka yang dituding membobol BNI ramai-ramai membantah. Adrian, misalnya, tak merasa terlibat kasus ini. “Saya hanya sebagai perantara,” kata Adrian. Ia mengaku bukan pemilik Gramarindo. “Saya hanya mencari perusahaan yang mau menerima dana dari Bu Eri (Maria Pauline),” Adrian menambahkan. Soal dari mana asal dananya, Adrian mengaku tak tahu-menahu.



John Hamenda dari Petindo Group malah merasa namanya dicatut orang. “Saya tak pernah merasa menerima dana dari BNI,” katanya. Karena itu, John segera mengajukan gugatan perdata dan pidana sekaligus pada BNI atas tuduhan pencemaran nama baik.



Para tersangka tak ketinggalan. Melalui pengacara masing-masing, mereka membela diri. “Edi merasa dia ditipu para eskportir itu. Ternyata mereka melakukan ekspor fiktif,” kata Herman Kadir, pengacara Edi Santoso.



Kusadiyuwono juga mengeluh. Melalui pengacaranya, Rivai M. Noer, Kusadiyuwono menuding Edi telah menyalahgunakan kepercayaannya. “Klien saya merasa dikerjai Edi. Padahal, dia sudah percaya sekali dengannya,” kata Rivai.



Namun, apa pun alasannya, harus ada yang bertanggung jawab atas terjadinya kasus ini. Saling lempar tuduhan hanya akan membuat perahu BNI makin oleng.



Nur Hidayat dan Hendri Firzani

[Ekonomi, GATRA, Edisi 51 Beredar Jumat 31 Oktober 2003]



http://www.gatra.com/2003-11-05/artikel.php?pil=23&id=31987

0 komentar:

Posting Komentar