PENYELAMATAN BNI PERLU TUMBAL……?????

Minggu, 06 Juli 2008

Yadi Hendriana, Riza Sofyat, Kun Wahyu Winasis, dan Budi Supriyantoro



Tak dinyana, ternyata kasus pembobolan Rp 1,7 triliun di Bank BNI jadi sensasi nasional. Banyak kalangan menganggap kasus pembobolan ini keterlaluan. Deputi Senior Gubernur Bank Indonesia (BI) Anwar Nasution, misalnya, menyatakan bahwa jajaran direksi BNI harus bertanggung jawab atas kasus besar ini. ”Ini bank dirampok. Duitnya tak sedikit,” ujar Anwar Nasution, Jumat pekan lalu.



Anwar membenarkan bahwa bukan kali ini saja BNI kebobolan. Sudah beberapa kali bank pelat merah berlogo perahu layar ini dijebol. ”Sepertinya pembobolan di BNI sudah menjadi pola,” kata Anwar. Karena itu, BI menyurati Menteri Negara BUMN Laksamana Sukardi untuk menangani kasus itu, sekaligus meminta pertanggungjawaban direksi BNI.



Pada hari yang sama, di DPR, Menteri Laksamana Sukardi juga bereaksi keras. Menurut Laksamana, tak mungkin direksi BNI tidak mengetahui kasus pembobolan bermodus pengucuran kredit ekspor itu. ”Kalau direksi tak tahu, itu berarti tak becus kerja,” ucap Laksamana.



Kalau direksi BNI ketahuan ada yang terlibat kasus itu, sambung Laksamana, pemerintah selaku pemilik saham mayoritas BNI tak segan-segan untuk mencopotnya. Tentu proses pergantian ini harus diputuskan melalui Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) Luar Biasa BNI, yang paling cepat dilakukan pada 28 hari sejak pekan ini.



Bersamaan dengan itu, diam-diam jajaran komisaris BNI melakukan investigasi. Mereka telah bekerja secara maraton. Kabarnya, tim investigasi ini akan menelurkan putusan pekan ini. Putusan dimaksud berisi rekomendasi, tindakan darurat yang harus diambil pemerintah, dan perlu-tidaknya digelar RUPS untuk merombak direksi BNI.



Sementara itu, pengusutan kasus pembobolan BNI di Mabes Polri jadi makin serius. Dua pejabat BNI Cabang Kebayoran Baru, yakni Kusadiyuwono (kepala cabang) dan Edi Santoso (kepala customer service luar negeri) sudah tiga minggu ini ditahan. Sedangkan Heru Sarjono (Kepala Wilayah X BNI Jakarta Selatan) setelah diperiksa dikabarkan sempat menginap semalam di Mabes Polri, sebelum akhirnya dilepaskan.



Menurut sebuah sumber di Mabes Polri, penyidik telah menetapkan tiga orang debitor yang menerima kucuran kredit BNI dalam pembobolan itu sebagai tersangka. Sayang, sumber ini enggan menjelaskan siapa saja ketiga tersangka. Sementara ini, baru Jeffrey Basso yang dipastikan jadi tersangka. Jeffrey adalah Direktur Utama PT Triranu Caraka Pacific, yang merupakan anak perusahaan Gramarindo Group sebagai penerima kredit tersebut.



Adapun Adrian Herling Waworuntu, Maria Pauline Lumowa, dan John Hamenda sebagai tiga tokoh yang disebut-sebut sebagai penerima kredit Rp 1,7 triliun itu hingga pekan lalu belum terdengar diperiksa polisi. Namun, Mabes Polri dikabarkan sudah meminta imigrasi untuk mencekal ketiganya. Demikian pula terhadap Ollah A. Agam sebagai Direktur Utama PT Gramarindo Mega Indonesia dan Dicky Iskandar Dinata, yang diduga menerima uang Rp 170 miliar dari dana hasil pembobolan itu melalui PT Brocolin. Sayang, Maria dan Ollah dikabarkan sudah keburu ke luar negeri.



Seperti diberitakan beberapa kali oleh TRUST sejak Edisi 10-16 September 2003, kasus pembobolan Rp 1,7 triliun dilakukan dengan modus kredit ekspor berjaminan letter of credit (L/C). Dari dana yang dibobol, belakangan bisa balik sebesar Rp 542 ke BNI. Sisanya, sebesar Rp 1,2 triliun, masih belum bisa kembali lantaran jaminan para debitor tak mencukupi.



Untuk memperoleh kredit besar itu, kabarnya tokoh-tokoh seperti Adrian Waworuntu, Ollah A. Agam, Dicky Iskandar Dinata, Maria Pauline Lumowa, dan Jeffrey Basso menyulap data-data L/C fiktif bersama Edi Santoso di kantor Sagared Team di Jalan Kebagusan Raya Nomor 37, Jakarta Selatan. Sagared Team merupakan konsorsium bisnis, yang beranggotakan PT Gramarindo.



HANYA KEPALA CABANG…….?

Kredit kemudian dikabulkan berkat bantuan Edi Santoso, juga Kusadiyuwono, Nirwan Ali (manajer operasional), Heru Sarjono, dan Bambang S. Oetomo (Wakil Kepala Wilayah X BNI Jakarta Selatan merangkap supervisor). Heru dan Bambang kini di-nonjob-kan oleh BNI dan harus bolak-balik diperiksa polisi. Kredit itu cair dalam mata uang dolar Amerika dan euro sejak Desember 2002 hingga Agustus 2003.



Tapi, sumber TRUST di Jakarta meragukan kalau pencairan kredit besar begitu, sampai sejumlah Rp 1,7 triliun, hanya melibatkan pejabat BNI setingkat Edi ataupun adiknya, Heru, yang kepala wilayah, serta Kusadiyuwono sebagai kepala cabang. Sumber ini menduga kredit itu bisa cair setelah diketahui direksi BNI. Menurut Direktur Utama BNI Saifuddien Hasan, sebagaimana dikutip Koran Tempo, tingkat cabang BNI hanya bisa memberikan kredit maksimal sebesar Rp 1,5 miliar kepada satu debitor.



Itu berarti, kredit triliunan rupiah mestinya disetujui direksi. Lantas siapa anggota direksi yang menyetujuinya? Kata sumber di atas, sedikitnya ada dua direktur BNI yang bisa dikatakan bertanggung jawab langsung. Mereka adalah Direktur Treasury BNI Eko Budiwiyono dan Direktur Internasional BNI Rachmat Wiriaatmadja.



Eko sebagai direktur treasury tentu mengetahui lalu lintas uang di BNI. Eko juga berwenang merekomendasikan penghentian pengucuran dana bila transaksinya mencurigakan. Menurut Adrian, ia dua kali bertemu Eko. Tapi pertemuan ini, masih menurut Adrian, dimaksudkan untuk mengklarifikasi namanya yang dituduh sebagai dalang pembobolan dan mengupayakan penggantian dana kredit yang telanjur mengucur.



Ketika dihubungi TRUST, Eko menolak mentah-mentah isu keterlibatannya. ”Treasury tidak harus tahu pengucuran kredit itu. Tidak benar bila saya dikaitkan dengan kasus tersebut, seolah-olah ikut meloloskan kredit itu,” katanya. Eko enggan berkomentar lagi ketika ditanyakan kemungkinan adanya sanksi pencopotan dirinya sebagai direktur BNI.



Yang pasti, sebagaimana rekomendasi BI kepada Menteri BUMN dan pengusutan oleh komisaris BNI, mestinya siapa saja yang terlibat dengan kasus pembobolan besar ini harus diusut tuntas. Hal ini pun sesuai dengan empat langkah dalam strategi yang disiapkan BNI untuk menanggulangi kasus pembobolan tersebut.



Seperti diutarakan Direktur Utama BNI Saifuddien Hasan, BNI menyiapkan empat langkah penting, di antaranya upaya represif berupa penegakan hukum dan tekanan kepada para debitor agar segera mengganti kembali uang kredit itu. Langkah lainnya adalah komunikasi, preventif, dan kontingensi. Preventif dimaksudkan dengan membenahi sistem pengawasan dan prosedur kredit agar kasus serupa tak terulang. Sedangkan kontingensi ditujukan untuk dana tambalan kalau-kalau kebocoran akibat pembobolan tak tertutup (lihat pula ”Minoritas Terpaksa Mengalah”).



Menurut beberapa sumber TRUST di BNI, pada awal Oktober 2003, setelah kasus ini mencuat, pengelola Gramarindo Group pernah bertemu dengan salah seorang direktur BNI. Pertemuan ini membahas upaya menyelesaikan masalah kredit itu, dengan cara mengalihkannya menjadi kredit komersial. Caranya antara lain dengan membeli aset murah di Badan Penyehatan Perbankan Nasional, untuk kemudian dijadikan jaminan kredit komersial di BNI.



Sumber itu menambahkan, pada pertemuan beberapa waktu lalu antara direksi BNI dan pihak Gramarindo kabarnya juga disetujui bahwa utang Gramarindo sebesar Rp 1,2 triliun akan dijamin dengan aset Gramarindo senilai Rp 1,6 triliun. Kalau ini terlaksana, selain persoalan bisa dianulir hingga hanya menjadi masalah kredit komersial, delik pidana pada kasus pembobolan itu pun akan dianggap ”tutup buku”.



Segampang itukah? Bagaimanapun penggantian kerugian tak bisa menghapuskan delik korupsi, kecuali bisa dipertimbangkan sebagai hal yang meringankan hukuman. Lagi pula, aset Gramarindo yang dijadikan jaminan itu awalnya dibeli dari uang hasil pembobolan. Berarti, uang BNI balik lagi ke BNI, tapi nilainya sudah berkurang.



http://209.85.175.104/search?q=cache:wEGXSyZasv0J:www.majalahtrust.com/fokus/fokus/413.php+sagared&hl=en&ct=clnk&cd=51

0 komentar:

Posting Komentar