Membongkar Korupsi Direksi BNI

Minggu, 06 Juli 2008

Ketika Pelanggaran Jadi Tradisi

13-Mar-2006, 02/01/THN-06



Dari sononya, Bank BNI agaknya memang tak pernah lepas dari urusan skandal. Tabiat buruk ini selalu dan terus berulang dengan beragam modus. Selain kasus pembobolan lewat instrumen letter of credit (L/C) di Cabang Kebayoran Baru Jakarta dan Cabang Magelang, BNI Cabang Radio Dalam, Jakarta Selatan, juga pernah dibobol Rp 195 miliar lewat modus deposit on call. Padahal, sebulan sebelumnya, aktor yang sama telah sukses mengeruk Rp 50 miliar lewat BNI Cabang Halim Perdanakusuma.



Masih banyak kredit BNI yang bermasalah. Mengutip Buku I Laporan Hasil Pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atas Pengelolaan Kredit pada BNI, yang dipublikasikan di Jakarta medio Februari lalu, jelas terungkap bahwa kredit macet BNI per 31 Desember 2004 tercatat mencapai Rp 862,54 miliar. Berdasarkan pemeriksaan, BPK melihat, kredit-kredit tersebut diberikan melenceng dari aturan.



Anggota BPK Udju Djuhaeri menegaskan, laporan tersebut belum memuat seluruh temuan BPK. Masih ada kasus pemberian kredit lainnya dari BNI, sebesar Rp 45 miliar, yang saat ini tengah diperdalam oleh BPK tapi masih tertutup untuk umum. Kasus tersebut sudah dilaporkan ke Jaksa Agung. ”Kalau kasusnya kami buka sekarang, bisa-bisa ada upaya melindungi diri dari para pelaku,” kata Udju, berdalih.



Dalam laporan hasil pemeriksaan BPK itu, terdapat beberapa kasus kredit macet yang cukup mencolok. Antara lain, pemberian kredit kepada PT Pelangi Cimandiri Tekstil, yang mengakibatkan BNI merugi Rp 134,1 miliar, karena telah membentuk Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif (PPAP) 100 persen atas kredit macet tersebut. Penyebabnya, analisa pemberian kredit kurang cermat.



Kasus lain adalah pemberian kredit kepada PT Adhi Karya. BNI memberikan kredit sebesar Rp 242 miliar, yang akan digunakan perusahaan BUMN ini untuk tambahan modal kerja pembiayaan pembangunan proyek jalan tol Cikampek Purwakarta Padalarang (Cipularang) tahap II paket 2. Namun, menurut penilaian BPK, proyek ini berisiko tinggi dan BNI belum memenuhi ketentuan dalam memberikan kredit.



Awalnya, BUMN ini mengajukan kredit pada 6 April 2004 sebesar Rp 214,6 miliar, dengan jaminan berupa proyek senilai Rp 209,6 miliar. Kemudian, nilai kontrak berubah menjadi Rp 238,5 miliar. Konsekuensinya, perusahaan ini minta lagi tambahan kredit sebesar Rp 27,4 miliar. Sehingga, total fasilitas kredit menjadi Rp 226,6 miliar. Kredit ini dikategorikan lancar per 30 April 2005.



Masalahnya, andil BNI melebihi ketentuan yang berlaku. Dari total proyek senilai Rp 209,6 miliar, Adhi Karya praktis cuma setor lima persen atau Rp 10,48 miliar. Sisanya, sebesar Rp 199 miliar atau 95 persen, merupakan bagian BNI. Share BNI tersebut tidak sesuai dengan aturan di lingkungan BNI, yang menyatakan: kredit untuk konstruksi, maksimum pembiayaan adalah 80 persen dari total kebutuhan pembiayaan.



Selain itu, agunan Adhi Karya juga belum memenuhi ketentuan. Sebab, fasilitas kredit sebesar Rp 214,6 miliar hanya dijamin dengan proyek senilai Rp 209,6 miliar. Sudah begitu, jaminan yang diserahkan hanya Rp 125,7 miliar atau 60 persen. Seharusnya, jaminan itu besarnya 100 persen, sehingga ada selisih jaminan yang belum diserahkan sebesar Rp 88,8 miliar.



Nah, apabila proyek yang dikerjakan telah selesai, maka utang Adhi Karya akan diambil alih oleh PT Jasa Marga. Masalahnya, BNI tidak melakukan analisa terhadap kondisi keuangan Jasa Marga. Padahal, kondisi keuangan Jasa Marga dalam audit 2003 tak memungkinkan. Kondisi ini bisa merugikan BNI. Selain itu, sumber pelunasan kredit Jasa Marga juga belum dapat dipastikan.



BNI mengakui, pemberian kredit itu tak sesuai dengan ketentuan intern yang berlaku. Namun, hal itu tak lepas dari fakta bahwa proyek tol Cipularang merupakan public service yang melibatkan negara sebagai tuan rumah Konferensi Asia Afrika. Bagian BNI sebesar 95 persen dari nilai proyek bisa diterima oleh semua bank yang ikut serta dalam pembiayaan ini (Bank BNI, Mandiri, Bukopin dan BCA). Mengenai kredit yang diambil alih Jasa Marga, BNI berharap, pihaknya bisa menguasai tagihan tiket tol setelah kredit tersebut dialihkan.



Dalam laporannya, BPK mencatat, total kredit lancar BNI mencapai Rp 46,2 triliun atau 86,28 dari target yang ditetapkan senilai Rp 53,5 triliun. Namun, Udju mengingatkan, potensi kerugian negara tidak hanya terjadi pada kredit BNI yang memiliki kolektibilitas bermasalah, tapi juga dapat terjadi pada kredit dengan kolektibilitas lancar.



Ketika dikonfirmasi, Dirut BNI Sigit Pramono mengatakan, hal-hal yang dilaporkan BPK sebenarnya sudah diungkapkan dalam laporan keuangan BNI tahun 2003 dan 2004. Sebagai perusahaan terbuka (sahamnya dipegang investor publik dan tercatat di bursa efek), laporan tersebut juga sudah disampaikan ke publik.



Sigit menambahkan, kredit yang dilaporkan belum tentu berindikasi tindak pidana. Tingginya kredit bermasalah terjadi akibat pembobolan BNI senilai Rp 1,3 triliun, yang telah ditangani polisi. ”Kami ini kan jualan kredit. Kalau ada lima dari 100 mangga (kredit) yang busuk, itu biasa,” ucap Sigit, beberapa waktu lalu.



Hasil ”Tradisi” di BNI…



1. PT Himalaya Tunas Texindo: Rp769 miliar

2. PT Pelangi Cimandiri Tekstil: Rp 134 miliar

3. PT Keramik Diamond Industri: Rp 306 miliar

4. PT Sumber Mitra Jaya: Rp 388 miliar

5. PT Suryabumi Argolanggeng: Rp 316 miliar

6. PT Filamendo Sakti: Rp 410 miliar

7. PT Starwin Indonesia: Rp 165,8 miliar

8. PT Prima Inreksa Industries: Rp 454 miliar

9. PT Industries Badja Garuda: Rp 182,9 miliar

10. PT Bosowa Berlian Motor & PT Bosowa Multi Finance: Rp 271,7 miliar

11. PT Semen Bosowa Maros: Rp 604,9 miliar

12. PT Segoro Fajar Satryo: US$ 23 ribu

13. PT Bratatex: Rp 282 miliar

14. PT Sungai Rangit: Rp 198,5

15. PT Riau Sakti United Plantation: Rp 373 miliar

16. PT Musim Mas: Rp 269,7 miliar

17. PT Riau Andalan Pulp and Paper: US$ 125 ribu

18. PT Kencana Acidindo Perkasa: Rp 179,6 miliar

19. PT Tunas Baru Lampung Tbk.: Rp 125 miliar

20. PT Florindo Makmur: Rp 40 miliar

21. PT Erna Djuliawati: Rp 301 miliar

22. PT Riau Andalan Kertas: US$104 ribu

23. PT Intibenua Perkasatama: Rp 293 miliar

24. PT Bhineka Karya Manunggal: Rp 433,9 miliar

25. PT Cikarang Listrindo: Rp 1,8 triliun

26. PT Petrokimia Gresik: Rp 640 miliar

27. PT PP London Sumatera Indonesia Tbk.: US$ 40 ribu

28. PT Duta Pertiwi: Rp 617,5 miliar

29. PT Indosat: Rp 517,6 miliar

30. PT Bukaka Singtel Internasional: Rp 129,9 miliar

31. PT Adhi Karya: Rp 242 miliar

32. PT Satyaraya Keramindoindah: Rp 70 miliar

33. PT Kresna Duta Agroindo: Rp 243,5 miliar

34. PT Sumber Segara Primadaya: US$ 200 ribu

35. PT Pupuk Iskandar Muda: Rp 427 miliar

36. PT Adira Dinamika Multi Finance: Rp 750 miliar

37. PT Pasaraya Tosersajaya: Rp 63 miliar

38. PT Austindo Nusantara Jaya Finance: Rp 650 miliar

39. PT Oto Multiartha: Rp 1,3 triliun

40. PT Astra Sedaya Finance: Rp 2 triliun

41. PT Cahaya Sakti Furintraco: Rp 197 miliar

42. PT Duta Rendra Mulya: Rp 231 miliar



Sumber: Badan Pemeriksa Keuangan (2006)

http://www.investigasi.com/news_view.asp?idx=71&id=74&rubrik=1

0 komentar:

Posting Komentar