ICW: ASSET MARIA PAULIENE ” BODONG “

Minggu, 06 Juli 2008

Jakarta, Kompas - Perusahaan marmer PT Sagared Team (juga disebut PT Sagared Pertiwi) milik Ny Maria Pauliene Lumowa, tersangka utama kasus pembobolan Bank Negara Indonesia senilai Rp 1,7 triliun lewat modus surat kredit palsu, terbukti merupakan aset bodong.



Nilai aset perusahaan yang berlokasi di Kupang, Nusa Tenggara Timur, itu sangat jauh berada di bawah nilai yang disebut-sebut Maria, yang mencapai 700 juta dollar AS.



Demikian hasil investigasi Indonesia Corruption Watch (ICW) langsung ke lokasi PT Sagared beberapa hari lalu, sebagaimana disampaikan Koordinator ICW Teten Masduki kepada pers, Rabu (14/1) di Jakarta.



Karena aset PT Sagared merupakan aset bodong yang nilainya sangat jauh berada di bawah angka yang disebutkan Maria, ICW sepenuhnya merekomendasikan kepada kepolisian, kejaksaan, dan Bank Negara Indonesia (Bank BNI) agar kasus pembobolan Bank BNI oleh Maria dan kawan-kawan tidak diselesaikan melalui assets settlement (penyelesaian kewajiban melalui penyerahan aset), tetapi harus melalui cash settlement (penyelesaian dengan membayar tunai) dan gijzeling (hukuman paksa badan).



“Melihat perkembangan saat ini, saya khawatir penyelesaian kasus pembobolan Bank BNI ini mengarah ke assets settlement. Aset milik para pelaku itu di-mark up (nilainya digelembungkan), lalu dianggap sudah mencukupi untuk mengganti L/C Rp 1,7 triliun yang mereka bobol,” kata Teten.



Jika benar kepolisian berniat menyelesaikan masalah melalui assets settlement, Teten memastikan, dengan alasan aset sudah diserahkan, para pembobol Bank BNI dibebaskan atau hanya menerima hukuman ringan.



“Akhirnya, Bank BNI yang harus mengurus aset busuk itu, soal tenaga kerjanya, soal beban dan utang aset itu, dan sebagainya. Bank BNI nantinya harus mengurusi pabrik marmer, kapal, dan sebagainya, berikut segala beban aset-aset tersebut, padahal bisnis inti Bank BNI adalah perbankan. Ingat saja kasus BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia),” katanya.



Tak bisa dipercaya



Untuk menjaga citra kepolisian dan kejaksaan, kata Teten, seharusnya penyelesaian kasus pembobolan Bank BNI yang digunakan adalah cash settlement. “Jika memakai assets settlement, proses di kepolisian dan kejaksaan tidak bisa dipercaya. Membentuk tim independen untuk mengaudit aset tersebut juga tidak akan berguna karena tim seperti itu tidak bisa dipercaya. Satu-satunya jalan, para pelaku harus mengembalikan dana Bank BNI secara tunai. Kalau mereka tidak sanggup, pakai mekanisme gijzeling,” papar Teten.



Dengan assets settlement, lanjut Teten, besar sekali peluang berbagai pihak untuk melakukan mark up. Di samping itu, assets settlement tidak akan membuat jera para pembobol Bank BNI karena mereka bisa bekerja sama dengan aparat penegak hukum.



Menurut Maria dalam wawancaranya dengan Kompas di Singapura bulan lalu, sebagai buntut dari kasus pembobolan Bank BNI yang dilakukan dia dan rekan-rekannya, PT Sagared kini telah disita. Maria mengklaim perusahaan marmernya itu beroperasi sejak 1997, telah mengantongi izin menambang marmer dan telah memotong 200 blok dari tujuh gunung, serta memiliki aset sekitar 700 juta dollar AS (setara Rp 5,6 triliun).



PT Sagared merupakan “aset utama” yang diajukan Maria sebagai bagian penyelesaian kasus pembobolan Bank BNI.



Direktur Utama BNI Sigit Pramono, ketika diminta komentarnya mengenai temuan ICW tersebut, mengatakan, itulah sebabnya dari awal ia tidak mau memublikasikan terlebih dahulu nilai pengembalian yang sudah berhasil diikat karena sangat mungkin tiba-tiba nilai asetnya tidak seperti yang diserahkan. “Itu kan menjadi berat bagi para penyidik.”



Dari pihak bank sendiri, yang dilakukan jika ada kasus seperti ini adalah mengikat aset apa pun yang bisa diikat terlebih dahulu. “Kalau ternyata bodong dan kurang, ya kami kejar terus,” kata Sigit.



Tanpa izin



Hasil investigasi ICW ke lokasi PT Sagared menunjukkan, status lahan dari gunung-gunung batu yang dimaksud Maria tidak jelas dan PT Sagared hanya melakukan eksplorasi (pengambilan sampel) untuk mengukur kadar dan kualitas kandungan marmer di gunung-gunung itu.



Eksplorasi itu pun kini terhenti. Karena status lahan gunung-gunung batu itu tidak jelas, menurut ICW, juga tidak ada izin menambang yang dikantongi PT Sagared.



“Menurut data yang dikeluarkan PT Sagared, hanya gunung batu di Desa Ohaem yang sudah ditaksir cadangan depositnya, yaitu sekitar 40,6 juta meter kubik. Tidak ada data mengenai gunung-gunung lainnya,” kata Teten.



Dari hasil pemantauan di pabrik PT Sagared di Kupang, ICW menyebutkan tidak ada kegiatan produksi apa pun di pabrik yang dibangun di atas areal 53,1 hektar tersebut.



“Tidak ada karyawan yang bekerja, tidak ada mesin pabrik yang beroperasi. Bangunan pabrik sepi tak berpenghuni, tidak ada kendaraan operasional yang lalu lalang, dan tidak tampak aktivitas apa pun. Yang ada hanya penjaga pintu gerbang pabrik,” ujarnya.



Tanah 53,1 hektar yang dijadikan pabrik itu adalah tanah bermasalah. Tanah tersebut milik bekas raja setempat (Mus Neno), leluhur marga Neno, Baaf, dan Matnay.



Tanah tersebut diserahkan secara sepihak oleh seorang anggota DPRD Kabupaten Kupang kepada PT Sagared (tanpa melalui transaksi jual beli) pada saat beberapa marga menyengketakan tanah tersebut.



Komisaris Bank BNI Dradjad Wibowo menuturkan, Bank BNI akan meminta salinan hasil investigasi ICW itu dan akan mempelajarinya.



Mengenai rekomendasi ICW agar kasus pembobolan Bank BNI diselesaikan melalui cash settlement, Dradjad menyatakan sangat setuju. (fey/anv)



http://www.kompas.com/kompas-cetak/0401/15/UTAMA/803543.htm

0 komentar:

Posting Komentar