Senangnya Menipu BNI...

Sabtu, 19 Juli 2008

Jakarta, KCM

Seringkali kita mendengar bahwa tanda kebijaksanaan adalah belajar dari kesalahan. Belajar untuk tidak jatuh dua kali pada lobang yang sama. Tapi entah apakah para direksi BNI ikut berkaca dari petuah itu. Sebab nyatanya, mereka kelihatan tak pernah belajar dari kesalahan....
Sepanjang 2003, nama BNI kerap disebut sebagai bank yang paling sering terjerat skandal. Baru saja mengawali 2003, misalnya, nama bank nomor dua terbesar di Indonesia ini sudah tercoreng skandal pembobolan dana sebesar Rp195 miliar di Kantor Cabang Pembantu Radio Dalam.

Dana itu, kabarnya, berasal dari Bank Pembangunan Daerah Bali, yang semula disimpan dalam bentuk deposito on call (deposito yang sewaktu-waktu bisa dicairkan-red). Jadilah Agus Salim, Kepala Cabang BNI Cabang Pembantu Radio Dalam, meringkuk di tahanan polisi.

Toh, pembobolan di berbagai kantor cabang BNI tak kunjung berhenti. BNI Cabang Pondok Indah pun ikut kebobolan Rp65 miliar, dengan modus kredit fiktif.

Menyusul kemudian, BNI Cabang Tangerang, Banten yang juga "kemalingan". Dana Rp32,5 miliar dari kantor cabang itu, raib. Kasus di BNI Cabang Tangerang itu ternyata berasal dari kucuran kredit Rp44 miliar sejak 1999 sampai 2001, yang diterima Sugianta Chandra, direktur perusahaan farmasi PT Trijaya Manggalatama Farmanindo.

Satu lagi, pembobolan Rp6 miliar dengan modus permainan valuta asing. Sialnya, ini terjadi di BNI pusat dan justru disebut-sebut dilakukan Edi Warsito, salah satu pegawainya sendiri.

Puncak yang paling dahsyat memang terjadi enam bulan menjelang tutup tahun ini. BNI ?dihadiahi? bingkisan tutup tahun yang nyaris menghentikan degup jantung. Dari Kantor Cabang Utamanya di Kebayoran Baru, Rp1,7 triliun dananya bobol lewat 156 L/C (Letter of Credit) fiktif. Yang lebih mencengangkan, skandal itu sudah terjadi sejak Juli 2002 lalu dan baru tercium setelah berjalan hampir setahun.

Pasti libatkan orang dalam

Patgulipat menguras dana bank lewat L/C bodong seperti dialami Bank BNI memang bisa dibilang cara paling sering dilakukan oleh para kriminal berkerah putih. Agar lebih lancar, kerja sama dengan orang dalam mutlak diperlukan. Alasannya, biar "pencurian" itu kelihatan wajar, otorisasi transaksi diperlukan. Sehingga, duit tidak langsung nyelonong begitu saja ke pundi-pundi para pelaku.

Secara sederhana, permohonan L/C bisa diajukan ke bank baik di pusat maupun di cabang. Dana yang dikucurkan cabang untuk L/C biasanya jumlahnya dibatasi, tidak sebesar yang bisa dikeluarkan bank pusat. Itu pun harus melalui persetujuan berlapis baik di tingkat pimpinan cabang maupun pusat.

Dalam kasus BNI, pemohon L/C mengaku ingin memanfaatkan dana bank untuk membiayai ekspor komoditas seperti pasir kuarsa dan minyak residu ke negara-negara Afrika dan Timur Tengah. Pemohon yang selanjutnya disebut debitur itu terlebih dahulu harus memaparkan kondisi bisnisnya kepada pihak bank. Dari situ, bank pemberi L/C yang selanjutnya disebut kreditor bisa menilai apakah bisnis dimaksud layak atau tidak diberi kucuran dana L/C.

Tak hanya sampai di situ, debitor pun harus memiliki jaminan kalau bisnis dengan dana L/C itu gagal. Dalam kaitan di atas, debitor menyetor sejumlah dana kepada kreditor sebagai jaminan tadi.

Pada tahap ini, ternyata ada celah yang kerap dimanfaatkan baik oleh pihak debitor maupun kreditor. Kapasitas yang dipakai biasanya adalah kedekatan personal. Kawasan "abu-abu" inilah yang rawan bercampur dengan kepentingan pribadi, memperkaya diri sendiri. Jadilah, kerja sama dengan "orang dalam" terjalin.

Kalau mau dicermati seksama, kebanyakan kasus pembobolan bank seperti pernah diungkapkan pengamat ekonomi Chatib Basri kepada KCM beberapa waktu silam, sungguh-sungguh melibatkan orang dalam, termasuk otoritas pengawasan internal. Lain tidak!

Lalu, bila sudah begitu, performance alias proses pencairan L/C bisa diatur pengucurannya. Biasanya bertahap, cuma sering. Dalam kasus BNI, gara-gara begitu lancarnya pencairan 56,1 juta euro, Divisi Treasury BNI mengernyitkan dahi menengarai kejanggalan ini. Pasalnya, transaksi euro paling banter di BNI cuma 3-5 juta tiap bulannya.

Sesungguhnya, pengucuran dana L/C juga tidak bisa begitu saja turun tanpa ada penyelidikan ketat terhadap kualitas bisnis debitor. Setidaknya, tak cuma berhenti pada penelitian dokumen belaka. Dalam kasus BNI, ternyata, debitor dalam kelompok Gramarindo tidak pernah melakukan ekspor seperti dipaparkan sebelumnya. Selain tak disertai dokumen pemberitahuan ekspor barang, ironisnya, dokumen pengapalan (bill of lading/BL) pun fiktif.

Panen tersangka

Kini, tahanan Mabes Polri pun panen tersangka. Kapala Cabang BNI Kebayoran Baru, Kusadiyowono dan Kepala Costumer Service dan Luar Negerinya, Edy Santoso, langsung masuk bui. Menyusul di belakang mereka sepuluh bos perusahaan yang menerima kucuran dana Rp1,7 triliun itu. Di antaranya Adrian Woworuntu, John Hamenda, Jeffrey Baso, Titik Tristiwanti dan Jane Iriani Lumowa, adik kandung Maria Pauline Lumowa.

Menurut Direktur II Ekonomi Khusus Brigadir Jenderal (Pol) Samuel Ismoko, Jane berperan besar dalam transaksi perusahaan-perusahaan kakaknya dengan BNI. " Ada beberapa rekeningnya. Tapi, ini makanya sedang kita telusuri untuk dibuka semua. Yang jelas, kita kan belum menangkap Maria Pauline. Jadi kita ambil dia dulu," tegas Ismoko, Jum?at (21/11).

Bola liar

Kalau saja tak ada lembar fax yang menggelinding masuk kantor Mabes Polri, empat bulan lalu, mungkin skandal Rp1,7 triliun di BNI Cabang Utama Kebayoran Baru itu cuma akan jadi dongeng pengantar tidur. Meski begitu, intensitas penyidikan polisi terhadap kasus ini cenderung tak konsisten.

Walau banyak tersangka kasus ini yang sudah ditahan, yang masih berkeliaran pun tak kurang banyaknya. Maria Pauline Lumowa, misalnya. Perempuan pemilik PT Sagared Team dan PT Oenam Marble Industry ini tampaknya akan tenang-tenang saja menyusuri pusat perbelanjaan
Singapura. Polisi seperti tak berdaya menjangkau perempuan yang disebut-sebut menjadi ?pemain utama? skandal Rp1,7 triliun ini. "Gimana mau pulang ke Indonesia kalau belum-belum sudah diancam dan dituduh sebagai pembobol?" keluh Maria selalu, ketika diwawancara beberapa media massa dalam negeri.

Bahkan, Kapolri Jenderal Pol Da?i Bachtiar yang lalu memberikan jaminan keamanan pada Maria jika mau menyerahkan diri pun, tak membuat langkah perempuan bertubuh tambun itu mau berbalik masuk Indonesia.


Padahal, kedatangannya amat ditunggu untuk membuat jelas semua liku pembobolan ini. Termasuk, menjelaskan keterkaitan nama pengusaha Steady Safe Yoppie Widjaja, Kanwil X Jaksel Heru Sardjono, Pengusaha Rudy Sutopo, Mantan Kapolda NTT Brigjen Pol Jacky Ullie, Mantan Menkop Adi Sasono sampai mantan Panglima TNI Jenderal (purn) Wiranto dalam kasus ini.

Skandal BNI Rp1,7 triliun ini memang bak bola liar. Tak heran, jika ada penyebutan sebuah nama yang dikaitkan dalam kasus itu, seketika timbul kontroversi. "Saya kan bekas menteri. Masak hanya dapat segitu?" seloroh Adi Sasono, mantan Menkop yang namanya sempat disebut-sebut dalam bank book PT. Oenam Marble dan dikucuri dana Rp150 Juta, saat dihubungi KCM Senin (15/12).

Wiranto, yang disebut-sebut oleh Edy Santoso (Kepala Costumer Service dan Luar Negeri) sempat mengadakan pertemuan dengan Maria Pauline Lumowa, bahkan serta merta membuat bantahan. "Pak Wiranto tak pernah sedikit pun ada kaitannya dengan ini (skandal BNI) dan akan mengajukan gugatan hukum jika namanya tetap dikaitkan," ujar Yan Djuanda, kuasa hukum Wiranto.

Polisi, lamban atau ikut main?

Anehnya, suasana keruh di seputar aliran dana BNI itu hanya seperti tontonan bagi polisi, tanpa inisiatif untuk memanggil Wiranto ataupun Adi Sasono guna dimintai keterangan. Padahal, Adi justru ingin polisi meneliti rekeningnya agar kasak-kusuk namanya dalam skandal ini berakhir. "Silakan periksa rekening saya kalau memang benar polisi punya bukti saya terima (uang) itu," tegas Adi kepada KCM, Senin (15/12).

"Jangan kait-kaitkan ke situ (Wiranto-red). Sama sekali nggak ada," begitu selalu bantahan Kepala Badan Reserse dan Kriminal (Kabareskrim) Mabes Polri Komjen Pol Erwin Mapasseng kepada wartawan.

Nama Wiranto memang mulai mencuat ketika Tito Sulistiyo, salah satu anggota tim suksesnya, diketahui pernah menjual rumahnya di Pasar Minggu sejumlah Rp23 Milyar pada Adrian Waworuntu, salah satu tersangka utama kasus ini.

Tak mudah untuk mengurai kerumitan skandal BNI ini, karena disebut-sebut berbagai pihak ikut terlibat. Kabarnya, para pelaku berasal mulai dari kalangan dalam BNI, para kroninya...dan juga polisi. Beberapa sumber di kepolisian sempat bercerita bahwa banyak pemain lama dan broker di seputar skandal ini yang telah punya urat akar pertemanan yang solid dengan beberapa petinggi Polri. Begitu tersamarnya keeratan pertemanan itu, kata sumber-sumber itu, sehingga sulit dibuktikan dan hanya bisa dipercaya.

Jika memang benar, bisa dimengerti mengapa polisi kelihatan tertutup hampir pada sebagian besar kasus yang berbuntut pergantian direksi BNI ini. Pemeriksaan dirut BNI Saifuddien Hasan, Kamis (11/12) lalu, hanya menghasilkan kesimpulan kecil bahwa "Menurut Pak Saifuddien , pencairan L/C itu wewenang Kepala Cabang dan itu berlaku otonom," ujar Direktur II Ekonomi Khusus Brigadir Jenderal (Pol) Samuel Ismoko, kepada KCM.

Padahal, dana sebesar itu tak pernah mungkin keluar dengan mulus dari sebuah kantor cabang tanpa sepengetahuan Direksi BNI dan Kanwil X BNI sebagai pengawas kantor-kantor cabang yang menjadi tanggung jawab mereka. Modus-modus L/C bodong, transaksi fiktif, permainan valas dan sejenisnya, mestinya sudah diwaspadai dan dipantau ketat oleh bank sekelas BNI.

Toh nyatanya, baik pihak BNI atau juga polisi nyaris setali tiga uang. Alasan pendalaman materi masih di seputar pengecekan lapangan, seringkali menjadi alasan aman untuk menghindari kejaran pers terhadap penelusuran kasus ini. Memang, kasak-kusuk adanya permainan uang dalam perjalanan skandal Rp1,7 trilyun ini pun sempat merebak. Tapi, lagi-lagi yang ada hanya bantahan.

Kita yang awam ini akhirnya hanya bisa menunggu sambil berharap semoga polisi memang fair dalam menyidik kasus ini. Jika tak serius, mungkin sebagian besar dari kita hanya bisa menyayangkan dan lalu terpaksa melupakan. Karena, nyatanya tak cukup kekuatan untuk mengurai sebuah sistem yang sudah kusut masai. Dan, para tersangka lain yang tak tersentuh itu tetap bernapas lega sambil bergumam "Senangnya menipu BNI...." (Lily Bertha Kartika/ Josephus Primus)

http://www.forum.santoaloysius.com/viewtopic.php?t=262&sid=d322fe394d1417a1da653220aea9caab

0 komentar:

Posting Komentar