Pembobolan BNI Rp 1,3 T, Polisi Terkontaminasi BNI

Kamis, 17 Juli 2008

Kamis 09/11/2004
13:10:02 |

Jakarta - Surabaya Post

Dalam kasus pembobolan dana BNI senilai Rp 1,3 triliun, polisi dinilai sudah terkontaminasi, sehingga sulit mengharapkan pengungkapan kasus ini secara objektif, sekaligus menyelamatkan kerugian BNI . “Nyanyian” para terdakwa yang kian nyaring membuat penuntasan kasus ini menjadi ruwet. Karena itu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) diharap mengambil alih kasus pembobolan BNI

"Tertangkapnya saudara Adrian Woworuntu, bukannya membuat saya gembira, namun semakin bingung dengan arah penyelesaian kasus ini. Dari hari ke hari bukannya menuju titik penyelesaian yang benar, dalam arti tersangkanya dihukum dan uang yang dibobol bisa ditarik kembali, namun malah berkembang menjadi 'nyanyian-nyanyian' yang semakin lama semakin fals kedengarannya," ungkap Pradjoto SH, kuasa hukum BNI dalam kasus Letter of Credit (L/C) bodong dengan kerugian senilai Rp 1,3 triliun ini, di Jakarta Selasa (9/11).

"Saya menilai kepolisian sudah terkontaminasi dalam kasus ini, sehingga susah diharapkan suatu penyelesaian yang obyektif. Karena itu saya pikir sudah waktunya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengambil alih kasus ini. Dengan kewenanganyang dimiliki, saya optimis KPK akan mampu mengungkapkan kasus ini secara lebih baik, jujur dan objektif dalam penyelesaiannya," tambahnya.

Ia menyatakan kekhawatiranya penyelesaian kasus BNI ini akan bernasib sama dengan kasus-kasus kejahatan perbankan di Indonesia umumnya, yang berakhir dengan tertangkapnya pelaku, tetapi uang yang dilarikan atau dikorupsi tidak berhasil diselamatkan.

"Bahkan ada juga kasus yang pelakunya bebas berikut membawa bonus dana korupsinya. Lihat saja kasus Eddy Tanzil yang membobol Bapindo (bank negara yang akhirnya merger ke dalam Bank Mandiri- Red.)," katanya.

Sejauh ini, kata Pradjoto, meski sudah menangkap sejumlah pelaku, namun kepolisian tidak mampu melakukan pengamanan terhadap aliran-aliran dana dari hasil membobol BNI itu. Padahal kemana dana mengalir itu sudah diketahui dan bisa ditelurusi secara lengkap.

"Dengan menelurusi 196 transaksi yang dilakukan para pelaku sejak Juni 2002 sampai November 2003, mestinya bisa diketahui siapa yang bertangung jawab. Namun kenyataannya, polisi malah hanya seperti mengejar layang-layang putus, bukan mencari siapa yang menerbangkan layang-layang itu," katanya mengibaratkan.

Ia memberi contoh, Adrian diketahui telah melakukan pengiriman uang (transfer) sebagian dana yang berhasil ia bobol dari BNI, ke Singapura sebesar 45 juta dollar AS, juga ke Abu Dhabi senilai 30 juta dollar AS dan ke New York sebesar 12 juta dollar AS. Namun semua itu tidak mampu diamankan oleh kepolisian RI.

Selain itu Pusat Pelaporan dan Analisa Transaksi Keuangan (PPATK) juga sudah melayangkan laporan aliran dana pembobolan itu sebanyak dua kali. Namun laporan itu tidak kunjung dipakai sebagai bahan untuk mengungkapkan kasus BNI. "Jadi kesimpulannya, tidak ada keseriusan dari polisi untuk mengungkapkan kasus ini secara obyektif, malah kasusnya menjadi ruwet dengan banyaknya 'nyayian- nyayian' dari para tersangka," katanya

Cek Rp 5 Miliar ?

Salah satu nyanyian diungkapkan oleh Rudy Sutopo, komiaris PT Mahesa, yang juga salah satu tersangka pembobol BNI. Menurut ia Adrian Herling Waworuntu diduga pernah memberikan cek senilai Rp 5 miliar kepada Ishak, konsultan penyidik Mabes Polri, untuk merekayasa kasus pembobolan BNI agar meringankan tersangka.

Ternyata ketika dicairkan cek tersebut kosong, sehingga Ishak merasa sangat malu kepada mantan Direktur II Ekonomi Khusus Badan Reserse dan Kriminal (Bareskrim) Mabes Polri Brigjen Samuel Ismoko. Hal itu diungkapkan Ishak kepada Rudy Sutopo dalam pertemuan di Hotel Sheraton Bandara, Jakarta, Desember 2003.

Ketika itu, Ishak meminta Rudy menyiapkan uang Rp 6 miliar jika ingin ditolong. Ishak menceritakan kepada Rudy ihwal kedekatannya dengan Ismoko. Dirinya juga yang mengurusi Adrian dan kawan-kawan (dkk) selama dalam tahanan Mabes Polri. Rudy yang belakangan diproses di Mabes Polri juga akan mendapat perlakuan istimewa jika berani membayar Rp 6 miliar.

'' Ishak itu pengusaha merangkap makelar kasus. Dia mengatakan kepada saya, kecewa terhadap Adrian karena cek Rp 5 miliar itu kosong. Padahal, Ishak yang mengatur sehingga Adrian dkk tidak masuk sel. Saksinya ada ketika Ishak mengatakan itu kepada saya. Walaupun dia membantah, saya dan teman saya mendengar langsung dari mulut dia,'' kata Rudy.

Ketika dikonfirmasi mengenai hal itu, Adrian yang kini mendekam di LP Cipinang langsung membantah. Dia tidak pernah memberikan uang ataupun cek kepada para penyidik, apalagi melalui Ishak. ''Ishak adalah konsultan selama kami di Mabes Polri. Saya tidak pernah memberikan cek kosong kepadanya. Kalau ada, coba buktikan,'' ujarnya.

Senada dengan Adrian, Ishak yang dihubungi melalui telepon seluler juga menepis pernyataan Rudy tersebut. Dia membenarkan selama Adrian dan Rudy ditahan, dirinya memperoleh kuasa mendampingi pemeriksaan meskipun dirinya bukan pengacara.

''Saya konsultan mereka, bukan makelar kasus. Saya masih punya surat kuasa dari mereka (Adrian dkk). Memang saya bukan sarjana hukum, tetapi saya ahli di bidang perbankan. Saya sering menangani kasus perbankan. Mengenai cek, itu semua tidak benar. Tidak ada permainan uang selama penyidik memeriksa (tersangka) kasus BNI,'' papar Ishak.

Rudy lebih jauh mengungkapkan pertemuan dirinya dengan Ishak di Hotel Sheraton Bandara disaksikan Doddy Abdul Kadir, teman Ishak. Saat itu, Ishak dan Doddy berjanji akan menghapus nama Rudy dari kasus BNI asal mau membayar Rp 6 miliar.

Kepada Rudy, Ishak mengatakan uang itu digunakan untuk menutupi rasa malunya terhadap Ismoko karena gagal mencairkan cek Rp 5 miliar. Rudy mengetahui Ishak dekat dengan Ismoko. Tetapi saat itu dia ragu meneken cek senilai Rp 6 miliar sebab punya firasat kelakuan Ishak dan Doddy bisa jadi tidak sepengetahuan Ismoko.

''Pertama kenal Ismoko, kesan saya dia orang bijaksana dan berniat menyelesaikan kasus BNI. Sayang, anak buahnya yang menjadi ketua tim tidak profesional bahkan sangat komersial. Saya memang tidak punya bukti tertulis, tetapi saya mendengar dan melihat langsung kelakuannya. Saya kasihan dengan bangsa ini,'' kata Rudy.

Ketidakprofesionalan penyidik berpangkat kombes itu digambarkan saat dirinya dipanggil sebagai saksi pada 30 Desember 2003. Begitu tiba langsung disodori surat penahanan. Namun, Rudy tidak mau menandatanganinya.

''Di saat surat penahanan diserahkan, datang Ishak dan berkata, 'abis elu nggak siapin duitnya, kan udah deal Rp 6 miliar'. Padahal, saya sudah transfer Rp 500 juta ke rekening Doddy Abdul Kadir di Lippo Kuningan,'' kata Rudy sambil menunjukkan bukti transfer senilai Rp 500 juta tersebut.

Sudah Dibagi-bagi

Dihubungi terpisah Kordinator Government Watch, Farid Faqih juga meragukan tekad polisi membongkar kasus korupsi BNI sebesar Rp 1,3 triliun. Menurut Farid Faqih tekad polisi itu hanya sandiwara semata. Alasannya, uang negara yang dikorupsi tersebut sudah dibagi-bagikan kepada beberapa pihak yang sangat berkepentingan dengan perkara tersebut.

Saya kira, apa yang dilakukan polisi ini hanya untuk menyenangkan publik saja. Karena sebenarnya kasus BNI ini ibarat sebuah segitiga yang sulit disentuh oleh siapapun. Memang banyak pejabat BNI yang ditahan. Tetapi itu pejabat-pejabat yang sengaja dikorbankan,” kata Farid Faqih kepada Surabaya Post, Selasa (9/11) siang tadi.

Farid yakin, polisi akan banyak mengalami kesulitan dalam membuka kasus BNI. Alasannya, polisi sendiri tidak serius membongkar kasus korupsi ini.
Ketidakseriusan polisi ujarnya sangat beralasan. Karena sejak awal, kasus ini merupakan rekayasa tingkat tinggi yang melibatkan aparat kepolisian, Jaksa dan Direksi BNI.

Konspirasi ini sangat jelas terlihat ketika polisi tidak menyentuh jajaran Direksi BNI. Padahal, para direksi ini ikut memberikan persetujuan (approval) terhadap pencairan dana yang jumlahnya sangat besar ini.

Sebab, tidak mungkin direksi tidak tahu pengucuran dana ini. Karena itu, seharusnya direksi BNI yang lama harus dipanggil polisi. Namun yang menjadi pertanyaan, kenapa polisi tidak memanggil mereka?” tanyanya.

Menurutnya, para pejabat BNI yang ditahan sekarang ini hanyalah korban dari sebuah permainan tingkat tinggi. Dan inilah pola yang selalu dimainkan selama ini.Padahal kalau menurut saya, Direksilah yang paling bertanggungjawab. Karena transaksi besar ini dikeluarkan atas sepengetahuan mereka. Jadi, sangat aneh kalau para direksi ini mengatakan tidak tahu, katanya.

Farid juga menyangsikan keserisusan polisi dalam membongkar kasus BNI. Kalau polisi serius, seharusnya sejak awal polisi harus melibatkan atau meminta bantuan Pusat Pelaporan dan Analisa Transaksi Keuangan (PPATK) dan BI. Karena kedua instansi tersebut bias melacak keberadaan kekayaan mereka.

Dia mensinyalir sikap polisi yang tidak berani memanggil para direksi ini terkait dengan sogok. Para direksi lama ini telah memberikan sejumlah uang kepada polisi agar tidak mengutak-atik keterlibatan mereka dalam kasus BNI ini.

Karena itu, Farid mengaku, kerugian negara dari praktik pembobolan BNI ini sulit dikembalikan. Pasalnya, uang itu sudah dibagi-bagikan kepada pelaku pembobolan, oknum polisi, oknum jaksa dan Direksi BNI.

Jadi, saya kira, sulit rasanya mengembalikan uang negara ini. Sebab, uang ini sudah dibagi-bagi. Dan ingat ada sebuah ungkapan yang ramai menjadi pembicaraan diwarung-warung kopi bahwa semakin besar perkara semakin sulit uang negara yang bisa dikembalikan ke kas negara,” sindirnya.

Lebih lanjut, dia mempertanyakan sikap BI yang tidak ikut serta dalam menelusuri aliran dana BNI itu. Padahal untuk transaksi dengan skala besar, BI harus ikut melakukan pengawasan. Namun yang terjadi di BNI sungguh sangat aneh. BI sebagai pemegang otoritas keuangan tertinggi, justru tidak mengetahui transaksi besar ini.

Sementara itu, kemarin (08/11), berkas acara pemeriksaan (BAP) Adrian diserahkan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel). Penyerahan BAP ini berlangsung singkat. Pukul 17.00 WIB Jaksa Syaiful, anggota jaksa Kejaksaan Tinggi (Kejati) DKI Jakarta tiba di PN Jaksel dan memasuki ruang panitera pidana. Syaiful menyerahkan BAP kepada Panitera Muda Pidana PN Jaksel Yunda Hasbi.(jef,mer)

http://www.surabayapost.info/detail.php?cat=1&id=2004

0 komentar:

Posting Komentar