Membongkar Korupsi Direksi BNI, Cara Gampang Menggarong Bank

Minggu, 13 Juli 2008

13-Mar-2006, 02/01/THN-06



“Membobol bank ternyata memang mudah, cukup dilakukan dengan menyediakan dokumen seperti L/C, invoice, packing list, insurance, bill of lading, maupun kontrak jual-beli yang dibutuhkan untuk menerbitkan wesel ekspor. Jika sudah di tangan, wesel ekspor itulah yang didiskontokan ke bank.”



Bagi Bank BNI, kasus Gramarindo bukanlah kasus pembobolan pertama yang dilakukan dengan menggunakan instrumen letter of credit (L/C). Kasus serupa pernah pula terjadi di BNI Cabang Magelang, Jawa Tengah, meski ”hanya” berhasil menjebol dana Rp 24 miliar.



Menariknya, modus operandinya sama. Bahkan, sebagian aktornya pun orang yang itu-itu juga. Kesamaan lain: sosok yang dikorbankan dan menjadi penghuni penjara hanya pejabat di kantor cabang. Satu-satunya pembeda: tak satu pun aktor di balik pembobolan BNI Magelang yang divonis.



Pertanyaannya, semudah itukah membobol bank? Yap, faktanya memang demikian. Membobol bank ternyata memang mudah, cukup dilakukan dengan menyediakan dokumen seperti L/C, invoice, packing list, insurance, bill of lading, maupun kontrak jual-beli yang dibutuhkan untuk menerbitkan wesel ekspor. Jika sudah di tangan, wesel ekspor itulah yang didiskontokan ke bank. Untuk memperoleh dokumen-dokumen seperti itu, caranya pun mudah.



Dalam kasus Gramarindo, misalnya, dokumen diperoleh dari Moonshe Kasam Mohamed (warga Singapura) bersama Venkaseta Prasad (keturunan India warga Singapura). Keduanya adalah pemilik dan direktur Cadmus Pasific Ltd., Supreme Impex Agency, dan Capital Gain Ventures Ltd. Perusahaan tersebut menerima dana sebesar US$ 46 juta, hasil pencairan L/C Gramarindo yang ditransfer dari BNI Kebayoran Baru.



Itu belum termasuk transfer ke sejumlah rekening pribadi atas nama keduanya di beberapa bank Singapura, yang nilainya mencapai US$ 6 juta. Mengutip kesaksian Aprilla Widarta dan Olah Agam dalam persidangan, transfer tersebut merupakan fee antara 9-13 persen dari nilai L/C untuk penerbitan instrumen L/C.



Rudy Sutopo dan John Hamenda pun mengakui, sejak Juli 2002, pihaknya memperoleh instrumen L/C melalui perkenalan dengan Kassam. Pembayaran fee atas penerbitan instrumen L/C pun memang benar dibayarkan kepada Cadmus Pasific. Sebenarnya, sejak kasus Gramarindo mencuat pada Oktober 2003, saran untuk segera memblokir rekening Cadmus Pasific Ltd, Supreme Impex Agency, dan Capital Gain Ventures Ltd di Singapura sudah disampaikan kepada Direktur Kepatuhan BNI M. Arsjad.



Saran disampaikan di hadapan lawyer BNI Soehandjono, dengan cara: meminta bantuan BI menghubungi Monetary Authority of Singapore (MAS) untuk melakukan pemblokiran. MAS dipastikan akan kooperatif, karena sistem perbankan Singapura sudah meratifikasi UU Anti Pencucian Uang. Tapi, upaya ini rupanya tak pernah dilakukan.



Hal yang sama telah pula disampaikan kepada penyidik. Upaya maksimal yang dilakukan, bisa dilihat dari Nota Dinas Sekretaris NCB Interpol Indonesia No. Pol: B/ND 202/B2-8903/III/2004/Set.NCB tanggal 3 Maret 2004 kepada Direktur Eksus. Nota dinas itu menyatakan: ”Kepolisian Singapura telah menghubungi kedua orang tersebut dan mereka menolak jika dilibatkan dalam penyelidikan Polri, karena tidak mengetahui tentang dana BNI.”



Keterangan itu jelas tak wajar. Pasalnya, Kassam adalah nasabah BNI Kebayoran Baru dan direktur utama PT Jakasakti Buana, yang memperoleh fasilitas diskonto wesel ekspor sebesar US$ 12,5 juta (sekitar Rp 112,5 miliar) pada Juni 2003. Ia dinyatakan gagal bayar pada Juni 2004.



Mudahnya memperoleh uang, membuat BNI Magelang terkena getah. Sebanyak empat perusahaan, yakni: PT Prasetya Cipta Tulada, PT Gema Usaha Putra Jawa, PT Maestro Interbuana, dan PT Pan Kipros, membuka cabang di Magelang.



Keempat perusahaan itu dipegang oleh Yani Yanindra Sumarsono, Wawan Hermawan, dan Hikmat Subiadinata. Di tiap perusahaan, posisi mereka bergantian antara komisaris dan direksi. Namun, entah mengapa, berkas perkara mereka belakangan seakan raib. Hanya Tuti Andrasih (mantan pimpinan cabang) dan Indarto Kusumo (mantan kepala bagian operasional) yang tersangkut jerat hukum.



Masing-masing dijatuhi hukuman empat tahun penjara potong tahanan dan denda Rp 5 miliar atau subsider enam bulan kurungan. Padahal, Tuti menyetujui L/C itu setelah mendapat persetujuan dari Divisi Internasional Bank BNI Pusat. Nah!





http://www.investigasi.com/news_view.asp?idx=71&id=73&rubrik=1



0 komentar:

Posting Komentar