Kreditor Tanda Tangani Jaminan Pribadi

Rabu, 24 Desember 2008

Selasa, 28 Oktober 2003


JAKARTA - Ada perkembangan terbaru dalam kasus pembobolan letter of credit (L/C) Bank BNI 46 cabang Kebayoran Baru senilai Rp 1,7 triliun. Meski pihak direksi BNI belum juga memberikan keterangan resmi soal kasus ini, namun beberapa kreditor sudah menandatangani sejumlah akta perjanjian dengan pihak BNI.

Menurut corporate secretary BNI Lilies Handayani, beberapa akta perjanjian yang telah ditandatangani kreditor antara lain akta pengakuan utang dan akta jaminan pribadi. ''Kreditor sudah melakukan penandatangan akta pengakuan utang hari ini (kemarin). Mereka juga sudah menandatangani surat untuk menyerahkan jaminan pribadi,'' terang Lilies kepada koran ini, kemarin.

Dari 6 kreditor perusahaan yang terlibat dalam kasus pengucuran L/C tersebut, kata Lilies semuanya sudah menandatangani akta-akta tersebut. Hanya, Lilies enggan menyebutkan siapa perorangan yang melakukan tanda tangan tersebut. Sampai saat ini, pihak BNI juga telah berupaya melakukan penagihan atas tunggakan yang macet itu.

''Semua upaya sudah dilakukan, termasuk penagihan ke kreditor. Soal ada pelanggaran di tingkat cabang, direksi memutuskan untuk menyerahkan ke pihak yang berwajib,'' kata Lilies. Jika kreditor tetap tidak mampu melakukan pembayaran, maka harta pribadi mereka (kreditor) bisa disita karena sudah melakukan penandatangan perjanjian jaminan pribadi.

Seperti diketahui, ada 6 perusahaan yang terlibat dalam kasus pengucuran L/C ini. Yaitu PT Baso Masindo, PT Bina Rekatama Pasifik, PT Gramarindo Mega Indonesia, PT Manectic Usaha Esa Indonesia, PT Pan Kipros, PT Tri Ranu Caraka Pasifik. Ada 41 L/C yang diajukan ke BNI.

Pengucuran L/C itu dari bank di luar negeri (opening bank) diantaranya World Street Bank, Dubai Bank, Middle East Bank dan Roos Bank. Keempat bank itu membuka L/C. Tapi, karena BNI tidak punya koresponden langsung dengan keempat bank tersebut, maka harus melalui bank mediator yaitu American Express Bank dan Standard Charter Bank. Setelah itu baru ada proses pengajuan L/C. Setelah dilakukan pengecekan dan dianggap sesuai dengan prosedur standar BNI, maka dana L/C tersebut dikucurkan.

Lilies juga mengatakan hingga saat ini belum terdapat kerugian (actual loss) atas transaksi L/C tersebut. Meskipun begitu katanya akan terdapat potensial loss jika terjadi wanprestasi pada pihak-pihak yang terkait dengan transaksi tersebut. Akibat belum terindikasi ada kerugian itulah, pihak Bursa Efek Jakarta (BEJ) belum melakukan suspensi (menghentikan perdagangan sementara) saham BNI.

Suspensi terhadap saham BNI, masih menunggu laporan keuangan kuartal III tahun 2003 selesai. Menurut Direktur BEJ, Harry Wiguna, , untuk sementara ini belum ada alasan untuk mensuspen perdagangan saham BNI, karena BEJ sudah mendapat penjelasan dari BNI pada 30 September lalu. Menurut dia, pihak BNI mengakui bisa saja transaksi L/C sebesar Rp 1,7 triliun tidak tertagih. ''Tapi hal ini kan belum terealisir dan masih dalam potensi rugi,'' ujarnya.

Di sisi lain, pengamat ekonomi dari INDEF, Dradjat Wibowo, memperkirakan akibat (L/C) fiktif ini, Bank BNI akan mengalami kerugian sekitar Rp 500 miliar. Namun, kasus ini tidak akan membangkrutkan BNI. Menurut dia, sangat sulit bagi BNI untuk menekan kerugian di bawah Rp 500 miliar. Karena tujuan ekspor yang disebut dalam L/C itu juga fiktif.

Dradjat juga mengungkapkan bahwa BNI pada semester I 2003 mencatat keuntungan sebelum pajak Rp 1,66 triliun. Namun, jika dikurangi dari penerimaan bunga obligasi rekap yang sebesar Rp 2,8 triliun, maka sebenarnya BNI masih rugi sekitar Rp 1,28 triliun.

''Pengaruh dari kasus L/C fiktif ini, dipastikan akan menggerus keuntungan yang sudah diraih BNI saat ini. L/C fiktif itu akan mengurangi keuntungan BNI yang tadinya 1,56 triliun pada Juni 2003 menjadi sekitar Rp 1 triliun. Tapi BNI sendiri masih akan tetap untung. Jadi, kasus ini tidak akan membangkrutkan BNI,'' tukasnya.

Dradjat juga menilai, sebenarnya fungsi pengawasan internal di BNI sudah berjalan karena L/C fiktif ini ditemukan sendiri oleh pihak BNI, bukan pihak luar. Akan tetapi, yang harus diperbaiki menyangkut tengang waktu yang saat ini masih ada gap yang sangat lama antara eksekusi kredit, pelaporan dan pengawasannya.

Dia meminta, agar kasus BNI jangan dipolitisir untuk kepentingan-kepentingan kekuasaan atau semacam penggantian direksi. Menurutnya, kasus ini harus bisa dijadikan momentum bagi BI, Men BUMN, BPPN dan Depkeu, untuk memperketat pengawasan perbankan, terutama dalam dua hal, yakni pengawasan mikro dan pengetatan disiplin pasar, terutama penerapan manajemen risiko operasional.

''Saya berharap agar pihak-pihak yang terkait dengan pembobolan BNI ini bisa dibawa ke pihak kepolisian, tidak hanya di kalangan pegawai BNI saja tapi juga dari kalangan nasabahnya. Apalagi, reputasi dari nasabah penerima L/C BNI ini juga dipertanyakan,''.

Sementara itu, Kabid Penum Humas Mabes Polri Kombes Pol Zaenuri Lubis mengatakan sampai saat ini, polisi masih meneliti 41 L/C yang diajukan 6 kreditor ke BNI 46. Namun, sampai kini belum ada penambahan jumlah kerugian yang diderita BNI. Katanya, sampai saat ini total kerugian masih Rp 1,7 triliun. ''Belum.. belum ada penambahan. Begitu juga dengan tersangkanya. Kita baru menetapkan dua orang, yaitu orang dalam BNI,'' kata Zaenuri kepada koran ini tadi malam.

Perwira dengan tiga melati di pundaknya ini tidak bisa memastikan apakah akan ada tersangka lain di luar BNI. Menurutnya, untuk membuktikan seseorang bersalah atau tidak, harus didukung bukti permulaan yang cukup. Ketika ditanya soal penandatanganan akta dan jaminan pribadi kreditor, Zaenuri mengaku belum tahu. Namun, hal tersebut tidak serta merta menghilangkan unsur-unsur pidananya.

''Kalau sewaktu-waktu ditemukan adanya tindak pidana, orang yang bersangkutan tetap akan diperiksa. Prinsipnya, Polri tidak akan pilih kasih. Siapapun yang diduga terlibat harus dimintai pertanggungjawaban,'' tegas mantan Kadispen Polda Metro Jaya ini. Hingga kini, polisi juga belum berencana memanggil para kreditor untuk dimintai keterangan soal kasus yang menghebohkan dunia Perbankan ini. ''Soal pemanggilan itu kan menunggu waktu.

Mungkin penyidik merasa belum waktunya memanggil mereka. Yang pasti, jika ada data yang dibutuhkan, siapapun bisa dipanggil untuk dimintai keterangannya,'' paparnya.(yun/riz)

http://www.radarsulteng.com/berita/index.asp?Berita=Utama&id=27337

0 komentar:

Posting Komentar