Kasus L/C Bank BNI Terkait Politik?

Selasa, 23 Desember 2008

-- Kasus pembobolan Bank BNI lewat letter of credit (L/C) akhirnya merembet ke politik. Kendati masih sangat sumir dan bersifat dugaan sementara, kasus itu dikait-kaitkan dengan kepentingan politik, khususnya para calon presiden dari Partai Golkar yang sedang berjuang di konvensi nasional partai berlambang pohon beringin itu.

Walau baru dugaan dan sudah dibantah beberapa calon presiden seperti Wiranto dan Yusuf Kalla, toh kasus itu makin menarik diperbincangkan. Yang jelas ini bukan perkara kecil karena menyangkut dana Rp 1,7 triliun. Dan sejak awal kita menduga pasti ada apa-apanya. Paling tidak pembobolan rekening yang meliputi dana sebesar itu selain perlu dilakukan secara cermat juga melibatkan banyak pihak, termasuk kalangan internal bank BUMN tersebut.



-- Tugas aparat kepolisian dan penegak hukum mengusut lebih lanjut. Kita sependapat proses hukumlah yang seharusnya lebih diutamakan. Namun bila kemudian ada dugaan ke arah lain, misalnya kepentingan partai politik atau calon presiden, hal itu justru makin mendorong untuk mempercepat pengusutan. Wajar bila kasus itu cepat mencuat ke permukaan melalui pemberitaan di media massa. Orang mungkin cepat percaya karena kasus seperti ini bukan kali pertama terjadi, walau modus operandi-nya bisa berbeda-beda. Kalaupun benar ada kaitan dengan politik, itu pun bukan sekali-dua kali terjadi. Belum lepas dari ingatan dan bahkan proses hukumnya juga belum selesai adalah kasus penyelewengan dana Bulog yang melibatkan Ketua Umum Partai Golkar yang juga Ketua DPR, Akbar Tanjung. Bukankah itu juga sarat politik?


-- Kolusi, korupsi, dan nepotisme (KKN) di Indonesia dilakukan oleh penguasa dan pengusaha. Di negara kita sedemikian erat hubungan antara politikus, pengusaha, dan pejabat pemerintah. Bahkan terkadang sulit membedakan. Maka setiap kali terjadi pergolakan politik, dampaknya dengan cepat merembet ke dunia usaha. Banyak pengusaha yang menjadi politikus dan kemudian menjadi menteri. Atau sebaliknya, banyak pejabat pemerintah dan anggota DPR yang juga berbisnis. Ketika aktor politik, pengusaha, dan pejabat nyaris sulit dibedakan, berbagai kejadian seperti selama ini memang menjadi kerawanan yang bisa muncul setiap saat. Dana politik digalang dengan berbagai cara, termasuk melakukan KKN atau membobol BUMN. Itulah yang menimbulkan patologi bisnis pada masa lalu.

-- Pada masa lalu? Apakah sekarang sudah tidak ada? Rasanya masih ada. Bagaimana mungkin mengubah struktur dan kultur yang berlangsung bertahun-tahun dalam waktu singkat? Bagaimana mungkin sebuah kekuatan kolutif yang penuh kepentingan dengan mudah dipatahkan? Maka selama kita belum banyak belajar dari pengalaman masa lampau dan mengubah sistem atau perilaku, jangan berharap kondisi berubah pula. Jangan heran bila kejadian demi kejadian yang hampir sama terus bermunculan. Kalau pada waktu dulu ada skandal BLBI ratusan triliun rupiah dan sampai sekarang belum tuntas, kini ada modus lain lewat pembobolan rekening bank BUMN. Atau bisa saja kelak dengan cara lain yang hakikatnya merupakan penyimpangan kekuasaan.


-- Tidakkah kita belajar dari pengalaman dan kesalahan sebelumnya? Betapa bodoh kita, sementara kondisi makin parah dan tertinggal dari negara lain. Sekadar mengingatkan, akar dari krisis bangsa dan keterpurukan ekonomi adalah kolusi, korupsi, dan nepotisme. Dan semua itu berkait dengan praktik politik pada masa lalu. Kehidupan politik yang belum sehat antara lain ditunjukkan oleh ketiadaan transparansi dalam penggalangan dana, memungkinan segala cara ditempuh, termasuk melakukan KKN. Atau cara lain, yakni menggerogoti dana APBN atau APBD dengan berbagai dalih dan cara. Termasuk, bersengkokol dengan pebisnis yang sama-sama memiliki kepentingan politik.


-- Kita tak bermaksud memastikan bahwa kasus L/C Bank BNI memang sarat KKN dan berkait dengan pendanaan politik partai atau salah seorang calon presiden. Karena itu harus diselidiki dan dibuktikan di pengadilan. Kita hanya ingin menunjukkan potret yang sebenarnya. Beginilah persoalan yang masih dihadapi dan nyaris membelenggu. Beginilah praktik kolusi yang masih potensial terjadi karena sistem, struktur, dan kultur belum berubah. Termasuk, kultur kekuasaan yang dimanifestasikan lewat keberadaan partai politik-partai politik, terutama partai politik besar. Tidak ada pilhan lain, kecuali segera menuntaskan kasus tersebut dan menghukum orang-orang yang bersalah. Bila terbukti ada kaitan politik pasti kelak juga ada sanksi politik dari masyarakat.

http://www.suaramerdeka.com/harian/0311/13/tjk2.htm

0 komentar:

Posting Komentar