Konspirasi Pembobolan Bank

Rabu, 24 Desember 2008

Dradjad Wibowo, Dosen tetap STIE Perbanas


BEBERAPA hari lalu, saya bertemu seorang tokoh politik nasional yang gigih memperjuangkan apa yang diyakininya benar. Kami berbincang tentang bobolnya Bank BNI senilai Rp1,2 triliun karena akal-akalan kredit dengan jaminan letter of credit (L/C).

Tokoh ini menginformasikan kasus BNI akan di-blow up dengan target penggusuran direktur utama dan sebagian anggota direksi serta komisaris
BNI. Semua rencana operasi sudah disiapkan matang. Mulai penciptaan opini publik mengenai kegagalan pengurus lama dan bahaya pembobolan bank hingga ke langkah-langkah prosedural.

Termasuk di dalamnya permintaan kepada Bank Indonesia (BI) untuk melakukan fit and proper test ulang serta rencana rapat umum pemegang saham luar biasa (RUPSLB).

Semestinya, target tersebut dilaksanakan dalam RUPS BNI beberapa bulan lalu. Namun, manuver ini gagal karena tidak memperoleh dukungan memadai.
Karena itu, BNI yang berlogo perahu layar itu dipaksa memiliki nakhoda ganda.

Jika informasi tersebut benar, saya hanya bisa mengelus dada. Semestinya, kasus BNI ini memicu seluruh pelaku, pengawas, dan pemilik bank untuk memperkukuh sistem kontrol dan pengawasan di tingkat mikro. Namun, karena hebatnya konflik kepentingan dan nafsu politik, momentum ini dikorbankan.

Yang muncul hanya rencana penggantian pemain, tanpa upaya perbaikan sistem. Jadi, jangan heran kalau kasus serupa akan muncul pula di bank lain di masa mendatang.

Secara teknis perbankan, kasus BNI jelas sebuah penyelewengan (fraud). Ceritanya, seperti diungkap sebuah majalah terbitan Ibu Kota, dua grup perusahaan (Gramarindo dan Petindo) mengajukan kredit ekspor dengan jaminan L/C dari empat bank di Kongo dan Kenya. Keempat bank itu adalah The Wall Street Banking Corp, Dubai Bank, Middle East Bank, dan Rosbank Switzerland.

Untuk Gramarindo, nilai kredit ekspor yang disalurkan adalah Rp1,643 triliun, sedangkan Petindo Rp105 miliar. Belakangan, Gramarindo sudah mengembalikan Rp542 miliar. Sehingga, kredit yang belum kembali sekitar Rp1,2 triliun. Kredit tersebut disalurkan selama Desember 2002 hingga Juli 2003 dan diakui untuk membiayai ekspor pasir kuarsa dan minyak residu.

Menurut majalah itu, penyelidikan internal BNI menunjukkan ekspor tersebut ternyata fiktif dan L/C-nya tidak terjamin. Sedangkan dana kreditnya justru disalurkan untuk proyek lain, termasuk pembelian kembali Lido Lake Resort dari BPPN. Akibatnya, walaupun L/C tersebut belum jatuh tempo, BNI mengalami potensi kerugian beberapa ratus miliar.

Padahal, per 30 Juni 2003 BNI hanya membukukan laba setelah pajak Rp1,56 triliun. Itu pun setelah memperoleh suntikan bunga obligasi dari APBN sebesar Rp2,84 triliun. Artinya, tanpa subsidi pemerintah melalui bunga obligasi, BNI sebenarnya rugi Rp1,28 triliun. Jika subsidi itu dipakai untuk membayar biaya sekolah anak tidak mampu, berapa banyak anak yang bisa ditolong?

Karena itu, tindakan Gramarindo, Petindo, dan pegawai BNI cabang Kebayoran Baru bukan hanya pidana, melainkan sangat tidak bermoral. Apalagi, unsur kesengajaan tampak kental dalam kasus ini.

Alasannya, pertama, prosedur penggunaan L/C sebagai jaminan kredit ekspor sebenarnya sangat rumit. Banyak sekali dokumen yang harus dicek dan dicek ulang. Persetujuannya pun tidak bisa dilakukan seorang saja. Ada verifikasi dari berbagai pihak sehingga tidak mungkin L/C tersebut lolos hanya karena kesalahan biasa.

[Media Indonesia]
http://solusihukum.com/berita.php?id=245

0 komentar:

Posting Komentar