Efek Domino Perang Bintang, pada kasus LC BNI Jakarta

Minggu, 27 Juli 2008

SEBAGAI bekas orang nomor satu di Badan Reserse Kriminal Markas Besar Kepolisian RI, tentu Komisaris Jenderal Suyitno Landung sudah terbiasa menetapkan seseorang menjadi tersangka. Tetapi, bagaimana rasanya menyandang status itu, baru kali ini jenderal bintang tiga itu bisa ''menikmatinya''. ''Saya menjadi stres,'' ujarnya. Pemberitaan di media massa dirasakannya sebagai sebuah vonis. Ke mana pun ia melangkah, seakan selalu ada yang menguntit.

Suyitno, yang biasanya murah bicara, pun berubah jadi tertutup. Ogah ditemui dan sangat hati-hati dalam berucap. ''Mohon pahamlah,'' katanya, mengundang empati. Perubahan sikap itu sangat terasa ketika ia harus menjalani pemeriksaan di Markas Bareskrim Mabes Polri, Jalan Trunojoyo, Jakarta Selatan, Selasa pekan lalu.

Sebelum menjalani pemeriksaan, pukul 10.00, Suyitno menyelinap ke ruang kerja Wakapolri Komisaris Jenderal Adang Daradjatun untuk menghindari wartawan. Begitu juga usai dimintai keterangan, 10 jam kemudian, teman seangkatan bekas Kapolri Jenderal Da'i Bachtiar di Akademi Kepolisian itu "kabur" lewat pintu belakang, diantar Direktur Tindak Pidana Korupsi Bareskrim Brigjen Polisi Hindarto.

Sebetulnya, status tersangka pada diri Suyitno sudah melekat sepekan sebelumnya. Menurut Inspektur Jenderal Aryanto Anang Boedihardjo, Kepala Divisi Humas Mabes Polri, tuduhan yang mengarah kepada tersangka adalah penyalahgunaan jabatan dan wewenang dalam pemeriksaan perkara pembobolan BNI 46 senilai Rp 1,7 trilyun. Berdasarkan sebuah dokumen, Suyitno telah menerima mobil Nissan X-Trail dari Ishak. "Kalau barang bukti tersebut ada kaitannya dengan kejahatan dan dipakai, itu termasuk penyalahgunaan wewenang,'' kata Aryanto.

Nama Ishak sendiri disebut-sebut sebagai konsultan hukum dan bisnis para terhukum pembobolan BNI, termasuk Adrian Waworuntu. Namun seorang terpidana lainnya, Rudi Sutopo, lebih suka menyebutnya sebagai makelar kasus. Negosiator yang menghubungkan para terpidana dengan polisi. ''Dia itu kapal keruk,'' kata terpidana 15 tahun penjara itu, sambil menyebut nama Dody Abdulkadir sebagai mitra Ishak dalam menjalankan misinya. Ishak sendiri sudah berstatus tersangka dan meringkuk di sel tahanan.

Tak hanya perkara memberi X-Trail ke Suyitno, Ishak pun disebut-sebut sebagai orang yang menghimpun duit Rp 15,5 milyar untuk disetorkan kepada penyidik. Uang itu dimaksudkan untuk kelancaran penanganan hukum orang-orang yang berperkara. Namun saat ini, menurut Aryanto, tim penyidik baru memfokuskan penelitian ihwal status X-Trail. Kata Aryanto, perlu dikaji apakah penerimaan dan kepemilikan mobil tersebut terkait dengan kepentingan dinas atau tidak. Kalaupun itu untuk dinas, harus transparan bentuk hibah dan pendataannya di bagian logistik.

Penetapan Suyitno sebagai tersangka merupakan sejarah buruk bagi jajaran kepolisian. Karena lewat dialah untuk pertama kali jenderal bintang tiga polisi terbelit kasus pidana. Setelah sebelumnya seorang jenderal bintang satu, Brigjen Polisi Samuel Ismoko, dan Komisaris Besar Irman Santoso menyandang predikat yang sama. Ketiganya tersandung perkara yang idem pula, diduga telah memainkan kasus BNI. Ketika perkara BNI bergulir di Mabes Polri, Ismoko, waktu itu Direktur II Ekonomi Khusus, adalah bawahan langsung Suyitno. Sedangkan Irman tangan kanan Ismoko yang bertindak sebagai ketua tim penyidik.

Gelindingan perkara BNI ini pun tampaknya belum mau berhenti. Tak tertutup kemungkinan bakal memakan korban perwira polisi tinggi lainnya. Malah bisa saja menyentuh jenderal polisi bintang empat. Tudingan miring ini meluncur dari bibir Irman. Ketika diperiksa pada Oktober lalu, Irman mengaku telah menerima uang dari Adrian Rp 500 juta. Namun duit itu tidak dimakannya sendiri, melainkan dialirkan ke atasannya hingga berjenjang sampai tingkat keempat.

Pengakuan tersebut sempat disampaikan Haposan Hutagalung, saat itu bertindak sebagai penasihat hukum Irman, kepada wartawan pada 18 Oktober. Malah, menurut Haposan, kliennya berjanji membuka bos-bosnya yang menerima duit itu.

Belum juga Irman buka-bukaan, tiba-tiba beredar salinan yang menyerupai berita acara pemeriksaan (BAP) Irman tertanggal 17 Oktober. Di situ disebutkan, Irman memberi kesaksian bahwa petinggi Polri juga menerima siraman sogokan dari pejabat Bank BNI. Mohammad Arsyad, saat itu Direktur Kepatutan BNI, dikatakan membagi-bagikan traveller's cheque Rp 25 juta sebagai hadiah Lebaran. Irman dan Ismoko, masih versi salinan itu, termasuk yang menerimanya.

Tak hanya itu. Yang mengejutkan, Arsyad juga dikatakan menyerahkan uang Rp 2 milyar kepada Erwin Mappaseng. Lalu setengah dari uang itu mengalir ke Da'i. Benarkah Irman bersaksi begitu? Yang namanya selebaran tentu sulit dipegang kebenarannya. Lebih-lebih Komisaris Jenderal Jusuf Manggabarani, Ketua Tim Penyidik Kasus Bank BNI, mengaku bahwa dalam BAP yang sesungguhnya tak ada kesaksian Irman semacam itu. ''Ia hanya bicara seputar keterlibatan dirinya,'' kata Jusuf, yang juga Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan.

Da'i sendiri sempat bereaksi, tak lama setelah salinan yang disebut-sebut sebagai kesaksian Irman itu beredar luas. Ia langsung menghubungi Komisaris Jenderal Makbul Padmanegara, Kabareskrim Mabes Polri. ''Menurut Pak Makbul, dalam BAP tak ada pengakuan Irman seperti itu,'' kata Da'i, seraya menyatakan siap diperiksa bila dibutuhkan. Bantahan serupa disampaikan Erwin. ''Saya paling keras untuk menuntaskan kasus BNI, masak mau menyalahgunakan wewenang,'' ujarnya.

Bantahan juga meluncur dari Arsyad, yang menghuni sel tahanan sejak 23 November lalu. Lewat Teuku Nasrullah, pengacaranya, Arsyad menyatakan tak pernah dituduh telah menyuap. "Pak Arsyad malah menantang untuk diketemukan dengan siapa pun yang bilang dia menyuap," katanya. Kalaupun sekarang kliennya meringkuk di tahanan, kata Nasrullah, itu terkait dengan tuduhan melanggar Undang-Undang Nomor 10 /1996 tentang Perbankan (lalai melaporkan adanya keterlambatan membayar L/C kepada Bank Indonesia), bukan karena suap.

Walau begitu, bukan berarti para petinggi Polri benar-benar aman. Bisa saja kejutan demi kejutan terjadi. Apalagi bila ditemukan fakta dan bukti baru, terutama setelah Suyitno ditersangkakan. ''Tak ada yang bisa mengelak untuk diperiksa apabila pekembangannya memungkinkan," kata Komisaris Besar Bambang Kuncoro, Kepala Divisi Penerangan Umum Mabes Polri. Menurut dia, pembersihan di tubuh Polri sudah menjadi komitmen Kapolri Jenderal Sutanto, tanpa pandang bulu.

Dugaan adanya keterkaitan seorang petinggi Polri meluncur juga dari Lembaga Pemasyarakatan Cipinang, tempat para terhukum kasus Bank BNI mendekam. Menurut salah satu dari mereka yang enggan disebut namanya, mereka sudah menerima sertifikat Menara Imperium di Jalan Rasuna Sahid, Jakarta, dari Haris Is'artono, Direktur Utama PT Mahesa Karya Muda Mandiri, yang kebagian ganjaran hukuman 15 tahun penjara.

Namun tuduhan itu tak sepenuhnya diakui Haris. Menurut dia, penyitaan sertifikat itu memang terjadi, tapi terlalu dibesar-besarkan. Sebab sertifikat yang dimaksud bukan untuk seluruh Menara Imperium, melainkan untuk satu ruangan saja yang sempat dipakai PT Mahesa sebagai kantor. ''Sertifikat itu pun bukan atas nama saya,'' kata Haris. Melainkan milik mitra bisnisnya, Rudi Sutopo.

Rudi Sutopo, yang berada di samping Haris, tak membantah. Kalaupun sekarang terbuka dugaan bahwa para petinggi kebanjiran duit dalam proses penyidikan perkara BNI, kata Rudi, yang paling banyak menyawer uang justru pihak Bank BNI. Rudi menuding, duit saweran itu berasal dari penjualan beberapa aset yang diagunkan dalam kasus megakorupsi ini. Ia menyebut sebuah lahan di Cilincing dan beberapa kebun yang sudah berpindah tangan. ''Aset itu telah menjadi bancakan,'' katanya. Hanya saja, Rudi belum bisa menunjukkan bukti atas tuduhannya itu.

Beberapa terhukum lainnya sebetulnya mengaku tahu banyak tentang siapa saja petinggi Polri yang kecipratan rezeki haram dari kasus Bank BNI 46 ini. Hanya saja, saat ini mereka memilih bungkam karena takut. Selama ini, mereka mengaku sering menerima teror. ''Di sini (LP Cipinang) nyawa begitu murah, Mas,'' ujar Rudi, memberi alasan. Apalagi, setelah penetapan Suyitno sebagai tersangka yang tak menutup kemungkinan merembet ke petinggi yang lain --mereka mengistilahkan sebagai perang antarbintang-- mereka khawatir bakal jadi korban.

Sikap hati-hati itu sangat tampak pada diri Adrian Waworunto, terhukum seumur hidup yang dianggap paling banyak tahu perkara ini. Setiap kali didesak, ia selalu mengelak dan menjawab pendek, ''Sudahlah!'' Ia justru berharap, dengan terungkapnya ketidakberesan dalam proses penyidikan di Bareskrim, penegak hukum mau meninjau kembali inti perkaranya. ''Kasus Bank BNI ini belum tuntas,'' katanya, diamini Aprilla Widharta, terpidana lainnya, dan Rudi Sutopo.

Perang bintang ini boleh jadi bakal seru. Rashid Harsuna Lubis, Ketua Police Watch, lembaga swadaya masyarakat yang getol menyoroti kinerja kepolisian, melihat penetapan Suyitno sebagai tersangka bakal memunculkan efek domino. Ia menduga, pada tahap berikutnya, kasus ini akan menyentuh Da'i, sohib Suyitno ketika sama-sama masih menjadi siswa di Akademi Kepolisian (lihat: Titik Balik Hubungan Baik). Alasannya, di lembaga kepolisian berlaku, atasan dua pangkat bertanggung jawab terhadap bawahannya. "Kalau memang terbukti Suyitno menerima suap, tentu sebagai atasannya, Da'i Bachtiar harus ikut bertanggung jawab," kata Rashid.

Sayangnya, setelah Suyitno menjadi tersangka, Da'i memilih diam. Saat Hendri Firzani dari Gatra berusaha menemui dia di kantornya, Yayasan Cegah Kejahatan Indonesia, di Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta, Da'i enggan keluar. Menurut seorang ajudannya, Da'i belum bisa memberi komentar. Bahkan beberapa ajudannya sedikit memaksa Gatra untuk keluar dari lantai 16 Wisma GKBI itu. "Bapak tidak mau bertemu wartawan dulu," ujar salah seorang ajudan tersebut.

Tampaknya, pengungkapan borok di balik kasus Bank BNI masih butuh waktu. Seperti diungkapkan Rashid, upaya Sutanto membersihkan kotoran di tubuh polisi hingga pangkat tertinggi tak akan semudah membalik telapak tangan. Sebab akan terbentur pada kelompok yang kontra. Penentangan, katanya, bakal muncul dari sekelompok jenderal yang tak mau kepolisian diobok-obok terlampau jauh.

Namun langkah Jenderal Sutanto itu didukung sepenuhnya oleh Inspektur Jenderal (purnawirawan) Sudirman Ail, mantan Deputi Operasi Polri yang kini memimpin Lembaga Kajian Kebijakan Kepolisian dan Hukum. "Penindakan KKN itu jangan pandang bulu," kata alumnus Akademi Kepolisian angkatan 1972 itu. Ia berharap, penegakan hukum di internal Polri bukan sekadar komentar. Melainkan benar-benar dicari akar masalahnya. Kuncinya ada pada perbaikan sistem yang akan memberikan efek deterrence (penangkal).

Sudirman, yang juga tergabung dalam Kantor Hukum Ail Amir & Associates, menyebutkan bahwa sumber KKN di tubuh Polri yang perlu dicermati meliputi dua bidang kewenangan: internal dan eksternal. Aspek internal menyangkut fungsi pembinaan personel, logistik, dan perencanaan anggaran. Sedangkan eksternal menyangkut penyalahgunaan wewenang reserse, intelijen, dan bidang lalu lintas. Jika dua fungsi pembinaan itu dibenahi, ia optimistis, tubuh Polri akan bersih dan berwibawa.

"Hilangkan kesan gusur-menggusur, like and dislike. Sebaliknya, berpegang teguh pada batas-batas sistem," ujar Sudirman. Ia tidak membantah, dengan langkah awal Sutanto itu, banyak yang tidak suka. "Sok bersih sendiri, lu," kata Sudirman, menirukan suara-suara sinis itu. Tetapi ia minta jangan berhenti. Sebab yang akan memuji bukan generasi kini, melainkan generasi yang akan datang. "Pak Hoegeng dicaci maki kala itu, tetapi kini dipuji-puji," ia mencontohkan.

Hidayat Gunadi, Alaxander Wibisono, Deni Muliya Barus, dan Elmy Diah Larasati

http://www.gatra.com/2005-12-19/versi_cetak.php?id=90730



0 komentar:

Posting Komentar